dapatkah komunitas literasi di ntt mendukung gerakan literasi nasional klub buku petra ruteng

Dapatkah Komunitas Literasi di NTT Mendukung Gerakan Literasi Nasional?

Komunitas literasi di NTT tumbuh dengan baik. Pada saat yang sama, melakukan evaluasi diri adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan setiap saat.


Sebelum Gerakan Literasi Nasional dikampanyekan secara luas, geliat ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ telah dilakukan dengan banyak tagline. Baik sebagai agenda bangsa, maupun kegiatan-kegiatan kelompok—tanpa pernah sadar bahwa yang dilakukan itu sesungguhnya berhubungan dengan agenda nasional, konsentrasi terbesar dari geliat ini adalah meningkatkan kemampuan calistung (baca, tulis, hitung) atau dalam bahasa paling familiar adalah memberantas buta aksara.

Dari sekian banyak alasan, kenyataan bahwa penyandang buta aksara berkorelasi dengan kualitas sumber daya manusia, yang pada bagian berikutnya berhubungan erat dengan pembangunan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana diungkapkan Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Hubungan Pusat dan Daerah Dr. James Modouw MMT, adalah alasan yang paling utama mengapa kegiatan ini gencar dilaksanakan beberapa tahun silam.

Namun harus diakui bahwa usaha membangun literasi calistung sebagai bagian dari lima dimensi literasi untuk meningkatkan kesejahteraan, justru berhadapan dengan kondisi lain (untuk tidak menyebutnya sebagai ironi) yakni kemiskinan sebagai satu dari tiga kendala pemberantasan buta huruf, selain lokasi yang tidak terjangkau dan motivasi belajar yang kurang. Tiga kendala ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kemendikbud, Harris Iskandar tahun 2016 silam.

Pada titik inilah komunitas-komunitas yang ada di tengah masyarakat saat ini diharapkan hadir sebagai salah satu alternatif.

Komunitas Literasi di NTT dan Soal-Soal di Sekitarnya

Agar catatan ini dapat dibaca dari sudut pandang yang sama, baik rasanya jika kita mengenal lebih dahulu apa itu komunitas? Ada banyak tautan yang muncul di search engine result page (SERP) jika kata kunci ‘pengertian komunitas’ kita pakai dalam pencarian menggunakan mesin pencari google. Dalam setiap tautannya, tertera lebih banyak lagi jawaban atas pertanyaan itu.

Pengertian komunitas menurut McMillan dan Chavis berikut ini adalah salah satunya. Dalam Sense of Community: A Definition and Theory (1986), McMillan & Chavis  menjelaskan bahwa komunitas merupakan kumpulan dari para anggota yang memiliki rasa saling memiliki, terikat di antara satu dan lainnya, dan percaya bahwa kebutuhan para anggota akan terpenuhi selama para anggota berkomitmen untuk terus bersama-sama.

Community is “a feeling that members have of belonging, a feeling that members matter to one another and to the group, and a shared faith that members needs will be meet through their commitment to be together” – McMillan & Chavis (1986).

Jika (hanya) mengacu pada pengertian ini, membacanya sepintas saja, maka usaha meluaskan kecerdasan literasi melalui komunitas akan dengan mudah dianggap sebagai kegiatan ‘orang-orang dalam’ saja; mereka yang bergiat atau menjadi anggota komunitas.

Baca juga: Memori Penderitaan dan Karya Sastra

Adalah terma ‘kebutuhan para anggota’ dan ‘komitmen untuk terus bersama’ yang dapat memicu pandangan demikian, selain beberapa situasi yang kerap menjadi ‘masalah’ cukup banyak komunitas seperti: 1) ketergesaan melaksanakan kegiatan yang ‘menyenangkan diri sendiri’, 2) merasa telah ikut berkontribusi menyelesaikan persoalan namun tanpa tidak memiliki cukup alat ukur untuk menilai dampak kontribusi, 3) ketergantungan pada pihak lain (sumber dana dan kontribusi lain) yang besar—menjadi mudah putus asa karena perasaan ‘kami tidak didukung’, 4) semangat baru untuk mengerjakan ‘hal-hal lama’, dan lain sebagainya.

Namun sesungguhnya justru dua hal tersebut seharusnya menjadi kunci sukses komunitas, mengandaikan hal-hal berikut ini diperhatikan.

BACA JUGA
Kita, Anti-Asing Tetapi Tetap Cinta

Pertama, bahwa mewujudkan masyarakat yang memiliki atau meningkat kecerdasan literasinya adalah alasan dibentuknya sebuah komunitas, mestilah didahului oleh penguatan kapasitas personal para (calon) anggota. Yang dibutuhkan pada tahap ini adalah memastikan bahwa komunitas itu dibangun atas kesadaran yang sama: anggota atau calon anggota sama-sama membutuhkan ‘masyarakat yang memiliki kecerdasan literasi yang mumpuni. Namun sebelumnya, yang harus ditambah (diberi bekal cukup) adalah anggota dan para calon anggotanya.

Poin ini tentu saja selalu menjadi perhatian setiap komunitas sejak pertama kali dibentuk, meski dalam perjalananannya, entah karena mudah lupa atau merasa ‘yang penting kami sudah buat’, banyak anggota komunitas—bukan hanya yang bergerak di bidang literasi tetapi semua—yang tidak cukup paham alasan keterlibatan mereka, dan karenanya tidak mampu melakukannya dengan baik. Situasi rentan dari kondisi seperti ini adalah pelaksanaan kegiatan asal jadi, dan, ketika berhadapan dengan tekanan (kritik) menjadi cenderung emosional dan mulai membangun tembok pertahanan diri yang tebal.

Akibatnya, kegiatan yang semula ditujukan untuk melayani publik menjadi berjarak. Penguatan kapasitas internal juga mencakup menetapkan visi dan misi komunitas, membuat aturan-aturan tegas tentang apa yang harus dan tidak harus dilakukan agar tujuan itu tercapai.

Baca juga: Cukup Sudah Bagi Bagi-Bagi Buku Gratis, Maria

Kedua, proses menjadikan hal tersebut viral (menularkan virus kepada masyarakat luas) hanya boleh dilakukan jika seluruh anggota komunitas telah siap menghadapi konsekuensi; membuka diri pada kritik dan rendah hati pada pujian. Tanpa kesiapan pada dua hal minimalis itu, seluruh niat baik di awal pembentukan komunitas dapat berujung pada situasi yang kurang menyenangkan. Poin ini berhubungan dengan kecenderungan penggunaan media sosial saat ini:

  • Setiap kegiatan disiarkan segera;
  • Setiap pengguna media sosial dapat dengan leluasa memberikan penilaian (pujian, kritik, bully);
  • Kecenderungan mudah puas setelah mendapat publikasi.

Ketiga, memastikan bahwa yang dilakukan bukanlah pengulangan atas hal-hal lama atau hal-hal yang sudah dilakukan oleh komunitas lain. Pada titik inilah kemampuan melebur dan berjejaring dengan komunitas lain yang searah menjadi sangat penting.

Dalam banyak pengalaman, komunitas-komunitas yang tumbuh di berbagai kota sesungguhnya memiliki kemiripan bahkan sama dengan komunitas yang sudah ada. Bahkan dalam beberapa kerja komunitas, di mana para pegiatnya merasa bahwa yang dilakukannya adalah sesuatu yang baru, yang sesungguhnya terjadi (dibaca publik) adalah pengulangan utuh dari program-program ‘resmi’ yang sudah ada. Diharapkan hadir dengan kekhasan baru, banyak komunitas yang tanpa sadar justru sedang mengulang hal-hal lama, sesuatu yang sesungguhnya ingin diperbaiki; untuk tidak menyebutnya sebagai hanya beda nama saja.

Mengapa situasi seperti ini terjadi? Sejauh yang saya alami, ketergesaan pada saat merancang kegiatan atau agenda komunitas adalah alasan terutama. Tanpa riset yang memadai atau evaluasi atas kegiatan sejenis yang sudah lebih dahulu ada, kegiatan berikutnya hanya mengulang ‘yang sudah-sudah’.

Ini yang terjadi ketika beberapa tahun silam kami mendirikan taman baca gratis di Paroki Katedral Ruteng. Karena dilaksanakan dengan “modal semangat semata”, taman baca itu hanya hidup di tahun pertama. Selanjutnya, seperti yang kerap kita dengar tentang taman baca di berbagai tempat, taman baca di LG Corner itu perlahan hilang, dan saat ini benar-benar mati. Bahwa kemudian muncul dalam wajah lain dengan model yang lebih sederhana (peminjaman langsung di rumah), ‘kematian’ taman baca yang berdiri tahun 2013 silam itu seolah melanjutkan tradisi ‘kematian’ taman baca di berbagai tempat.

BACA JUGA
Anda Kritik Karya Saya, Karya Anda Sudah Bagus?

Padahal modal berupa ketersediaan buku dengan mudah diperoleh melalui jaringan-jaringan. Pada tiga bulan pertama saja telah terkumpul hampir 2.000 judul buku, sesuatu yang membuat kami merasa sangat puas dan lupa merancang dengan serius bagaimana kelanjutan pengelolaannya. Dalam evaluasi setelah taman baca itu benar-benar mati, ditemukanlah hal-hal yang sudah diurai di atas tadi sebagai penyebabnya selain yang paling klasik yakni masalah finansial.

Mencari Jalan Menghindar dari Matinya Komunitas Literasi

Ada banyak model yang dapat dipakai oleh komunitas-komunitas literasi jika ingin terlibat dalam GLN. Tiga di antaranya adalah seperti yang ditawarkan Sandiah (2017) berikut ini:

Pertama, komunitas literasi sebagai gerakan kolektif yang dikelola sepenuhnya sebagai komunitas literasi. Bentuk kegiatan yang umumnya dipakai adalah rumah baca, perpustakaan jalanan, ekoliterasi dan kampanye literasi urban, literasi jalanan, dan lain-lain. Komunitas literasi jenis pertama ini terbentuk oleh praktik baru akvitisme tetapi bersifat non-LSM (lembaga swadaya masyarakat).

Komunitas literasi semacam ini aktif memproduksi sendiri isu-isu literasi yang dianggapnya relevan sehingga tidak selalu bergerak berdasarkan isu-isu formal yang dikelola negara atau media massa.

Baca juga: Membaca Norwegian Wood, Mendengar Dongeng Murakami dan Kritiknya bagi Para Aktivis

Bentuk ini telah dipakai oleh cukup banyak komunitas literasi di NTT, seperti: Buku Bagi NTT, Dusun Flobamora (Kupang), Lakoat.Kujawas (Kapan), Komunitas Leko (Kupang), Taman Baca Lalong Beo (Manggarai Barat), Komunitas Saeh Go Lino (Ruteng), Komunitas Huruf Kecil dan Komunitas Kahe (Maumere), Pondok Baca Wathan Lamahala (Flores Timur), dan lain-lain melalui advokasi dunia perbukuan, hibah buku, membuat penerbitan, mengelola media literasi, kegiatan ekoliterasi, sekolah literasi, perpustakaan bergerak, seni, hibah buku, serta membentuk kegiatan kolaborasi pendirian gerakan literasi lain.

Kedua, lembaga baca masyarakat atau lembaga edukasi masyarakat, seringkali bersifat informal sekaligus non-formal, atau salah satunya. Jenis komunitas literasi kedua ini pada umumnya berbentuk Taman Baca Masyarakat (TBM) atau TBM sekaligus institusi penyelenggara pendidikan anak semacam PAUD atau TK. Jika komunitas literasi itu berbentuk TBM, maka termasuk ke dalam pendidikan informal, sedangkan jika digabung atau dikelola bersama dengan TK atau PAUD termasuk non-formal.

Pola ini telah lama dikembangkan oleh Wahana Visi Indonesia di Manggarai dan beberapa NGO yang, selain menyelenggarakan perpustakaan masyarakat, juga mengelola aktivitas pendidikan sebagai respons atas tersedianya kesempatan membangun institusi pendidikan non formal yang terbuka luas, baik dengan dukungan negara melalui APBN maupun sumber-sumber lain. TBM yang mengelola perpustakaan masyarakat juga mempermudah mengakses bahan bacaan untuk perpustakaannya melalui program-program kerjasama dengan pihak swasta. Sesungguhnya, Gerakan Buku Bagi NTT akan dapat berkembang ke arah ini melalui pembangunan jaringan (kolaborasi) dengan perpustakaan kampung, kemudian berkolaborasi dengan sekolah dasar untuk mengelola perpustakaan sekolah.

Ketiga, terdiri dari beragam model inisiasi apresiasi literasi, dikelola secara individual atau berkelompok. Komunitas literasi semacam ini disebut sebagai model “apresiasi literasi” karena sangat fleksibel menunjukkan sikap partisipasinya atas literasi. Aktivitas literasi komunitas ketiga ini sangat fleksibel; warung makan yang membuka barter makanan dengan buku, pojok baca di tempat potong rambut, perpustakaan jalanan, apresiasi seni dan sastra, gerakan poster, layanan situs peminjaman buku antar pembaca, kegiatan diskusi di alun-alun, sanggar melukis, dan banyak lainnya.

BACA JUGA
Pencatat Meteran PDAM Tidak Disiplin, Pelanggan Tanggung Akibatnya?

Komunitas Leko di Kupang melalui Kencan Buku di Tamnos dan Komunitas Sastra Hujan di Ruteng melalui perpustakaan jalanan adalah contoh penerapan model ini. Yang sedang dikembangkan oleh Klub Buku Petra (Ruteng) melalui penggabungan pemanfaatan teknologi dengan peminjaman buku dalam konsep perpustakaan bergerak adalah contoh yang lainnya.

Baca juga: Perjalanan Mencari Ayam dan Cinta yang Rahasia

Namun, tiga model tersebut atau model-model lainnya yang dapat dicoba atau dicari bersama, akan selalu berhadapan dengan soal konsistensi. Pertanyaan terutama yang harus dijawab dengan serius dan jujur adalah apakah setiap pegiat komunitas melakukannya untuk visi yang tepat atau sekadar mengisi waktu luang atau sebagai sarana pansos/social climbing—sesuatu yang tanpa disadari menjadi dasar kegiatan atau pembentukan komunitas atau sekadar ingin mengalahkan komunitas lain atau karena ingin menjadi caleg?

Saya khawatir, jika yang terjadi adalah komunitas literasi di NTT bergerak tanpa visi dan misi yang jelas melainkan alasan-alasan remeh tadi, maka setiap tahun kita akan menemukan ratusan komunitas baru didirikan. Jumlahnya akan menjadi ribuan jika ada stimulus finansial dari negara atau pihak-pihak lainnya.

Selain beberapa komunitas yang telah disebutkan di atas, sesungguhnya ratusan komunitas di NTT yang juga bergerak di pengembangan literasi. Dalam skala kecil, kegiatan dilakukan di berbagai tempat namun tidak terekam, atau bertahan. Kendala finansial dan masalah-masalah lain yang telah diuraikan tadi umumnya menjadi penyebab utama. Pada saat yang sama, peletakan dasar dan arah (visi) yang jelas dalam pembentukan komunitas–hal yang umumnya diabaikan akibat kebiasaan instan–menjadi penting untuk dipikirkan.

Berkomunitas seharusnya dilakukan untuk: (1) meningkatkan kemampuan anggota, (2) mempererat hubungan demi komitmen bersama antaranggota, dan (3) berdampak pada perubahan di sekitar kita. Untuk yang terakhir ini, yang harus segera dilakukan oleh komunitas-komunitas literasi adalah menyiapkan alat ukur yang tepat agar setiap kegiatan dirancang dengan benar, berkelanjutan, dan mencapai tujuan/cita-cita bersama.

Kecerdasan literasi tentu tidak semata diukur dari meningkatnya jumlah peminjam buku, tetapi berhubungan dengan Indeks Pembangunan Manusia. Dengan kesadaran ini, setiap pegiat komunitas literasi tidak akan membentengi dirinya sebagai ‘telah berjasa’ ketika berhadapan dengan statistik IPM yang (mungkin akan tetap) rendah, tetapi bergumul dengan sungguh-sungguh, memakai indikator-indikator universal sebagai pedoman gerakan.

Pekerjaan ini akan panjang. Jika siap, silakan bentuk komunitas. Jika belum terlampau siap, mengapa tidak memperkuat komunitas-komunitas yang sudah ada? (*)

28 April 2019

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Tulisan ini adalah keseluruhan materi yang saya sampaikan pada kegiatan Diseminasi Gerakan Literasi Nasional di Ruteng tanggal 23 Maret 2019 silam.

Bahan Bacaan

  • McMillian, David W. and Chavis, David M. 1986. Sense of Community: A Definition and Theory. Jurnal of Community Psychology. Diakses dari: https://onlinelibrary.wiley.com, tanggal 19 Maret 2019 pukul 11.30 Wita.
  • Sandiah, Fauzan A. 2018. “Komunitas yang Memperluas Makna Membaca”. Dalam pustakamu.id 27 Februari 2018. Diakses dari https://pustakamu.id/komunitas-yang-memperluas-makna-membaca/, tanggal 18 Maret 2018 pukul 15.00 Wita.
  • Indriani. 2018. “Pendidikan Solusi untuk Kesejahteraan Masyaraka Papua”. Dalam www.antaranews.com 9 Desember 2018. Diakses dari  https://www.antaranews.com/berita/776129/pendidikan-solusi-untuk-kesejahteraan-masyarakat-papua,  tanggal 19 Maret 2019 pukul 12.00 Wita.
  • Taufik Ismail. 2016. “Tiga Kendala Pemberantasan Buta Huruf di Indonesia”. Dalam www.tribunnews.com 9 September 2016. Diakses dari http://www.tribunnews.com/nasional/2016/09/09/tiga-kendala-pemberantasan-buta-huruf-di-indonesia tanggal 19 Maret 2019 pukul 12.00 Wita.

Gambar: Dokumentasi Yayasan Klub Buku Petra.

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *