penetrasi digital dan urgensi pendidikan kritis milenial mantovanny tapung

Penetrasi Digital pada Generasi Milenial dan Urgensi Pendidikan Kritis

Penetrasi Digital pada Generasi Milenial dan Urgensi Pendidikan Kritis adalah Orasi Ilmiah dalam rangkaian Wisuda Sarjana dan Ahli Madya STKIP dan STIKes St. Paulus Ruteng 6 Oktober 2018.


Oleh: Marianus Mantovanny Tapung

Dewasa ini, interseksi antara ruang daring dengan kehidupan orang muda sudah sangat masif. Dari 7,6 miliar penduduk dunia ada 4 miliar yang bisa mengakses internet, dan 3,2 miliarnya adalah kaum milenial. 57% (143,3 juta) penduduk Indonesia sudah terkoneksi internet, 34,45% (90 juta) adalah kaum milenial. Sedangkan untuk data politik, 65 juta adalah pemilih milenial.

Rata-rata orang Indonesia habiskan tiga jam sehari untuk mengakses internet. Begitu kuatnya penetrasi digital ini sampai ahli media digital Marc Prensky dalam artikel On the Horizon menyebut generasi zaman now atau generasi Z sebagai generasi ‘digital sejak lahir’ atau ‘generasi yang fasih berjejaring’.

Data Badan Pusat Statistik Pemuda 2016 menunjukkan tingkat penetrasi internet pemuda, tertinggi pada kelompok umur 16 – 18 tahun, yaitu sebesar 62,32%; disusul kelompok umur 19 – 24 tahun sebesar 56,88 %, dan kelompok umur 25 – 30 tahun sebesar 41,00%. Sementara itu, telepon seluler menjadi primadona utama pemuda untuk mengakses internet.

Sebanyak 94,07% pemuda mengakses internet melalui telepon seluler, 35,63% melalui laptop, 26,51% melalui komputer, 3,16 % melalui media lain. Ada 88,35% orang muda mengakses internet dengan tujuan bersosial media seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain, dan 75,02% untuk mendapatkan informasi/berita.

Angka-angka ini tentu menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Bila dikaitkan dengan banyaknya permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat, penggunaan media sosial menjadi salah satu penyebabnya. Dapat disimpulkan, sekitar 82% permasalahan sosial seperti bunuh diri, perselingkuhan, ujaran kebencian, tawuran, persekusi, pornografi, pornoaksi, dan lain-lain yang terjadi di kalangan orang muda disebabkan karena penggunaan media sosial.

Data BPS ini sejalan dengan penelitian Petrus R. Jaya & Ambros L. Edu (2018) berjudul Media Literacy and Critical Ability of Students at Manggarai Regency. Penelitian ini menarasikan, tingkat kepercayaan orang muda Manggarai terhadap internet menembus hingga 86%. Orang muda Manggarai memiliki frekuensi berselancar dengan internet pada kategori sangat aktif, yakni sebesar 83%. Dari irisan besar ini, yang mengakses konten-konten seputar diskusi, analisis, opini, dan artikel sebesar 36%, yang mengakses berita-berita aktual sebesar 41%, dan sebesar 16% bermedia sosial.

Dari hasil analisis, meskipun ceruk akses bermedia sosial kecil, tetapi sangat signifikan berdampak negatif pada kehidupan sosial orang muda. Banyaknya kejahatan maya dan dampak negatifnya justru muncul dari ceruk yang kecil ini. Hal ini disebabkan karena intensitas bermedia sosial ternyata tidak diimbangi dengan sikap kritis.

Sebanyak 69% mahasiswa ketika mengakses informasi di media sosial langsung membagikan informasi tersebut tanpa melakukan analisis kritis terkait kebenaran informasi. Mereka cenderung mengabaikan konten informasi yang diakses, dan kurang mampu membedakan kualitas dan kredibilitas sumber. Mereka terjebak dalam keinginan menyimpulkan suatu berita dari judul saja (clickbait), dan bahkan begitu cepat menelan berita-berita bernarasi palsu (fake news) dan informasi-informasi palsu (hoax).

Tak sedikit juga, karya-karya ilmiahnya dikutip dari sumber-sumber anonim, seperti blog/web, yang sebenarnya perlu dipertanyakan identitas publikasi, orisinalitas dan kebenaran akademis-intelektualnya.

Baca juga: Media Massa, Politisi, dan Khalayak yang Pasrah

Jaya & Edu menambahkan, dampak turunan dari rendahnya sikap kritis di kalangan para pengguna media daring adalah tingginya kejahatan maya (cyber-crime). Kejahatan ini merupakan akibat dari berita atau isu provokatif, aksi saling hujat dengan sebutan tak pantas, share video kekerasan, dan berbagai ujaran kebencian/tak elok (contoh dalam ekskalasi politik nasional, muncul sebutan ‘cebong’ untuk pendukung Jokowi, dan ‘kampret’ untuk pendukung Prabowo).

Mirisnya, bentuk-bentuk kejahatan media ini kerap dipertontonkan secara vulgar di hadapan publik, dan bahkan anak-anak kecil dapat dengan mudah meniru. Hal ini menyebabkan garis demarkasi antara yang pantas dan tidak pantas, yang baik dan tidak baik, yang menjadi urusan privat dan publik, menjadi hilang.

Orang bisa melakukan apa saja dan di mana saja tanpa merujuk pada batasan usia, moralitas, norma dan hukum yang berlaku. Namun pada pada sisi lain, hilangnya limitasi privat dan publik justru menciptakan bias segregasi kehidupan sosial kemasyarakatan.

BACA JUGA
Jadi Petani, Bermula dari Pertanyaan Guru Martha

Misalnya dalam kasus unggahan video ‘Laos’ dan ‘Bela’ yang menjadi viral beberapa bulan yang lalu, masyarakat Manggarai menjadi ‘terpecah’ dalam menyikapinya karena dibebani oleh polemik yang tak berkesudahan, baik di udara maupun di darat. Tentu ini sangat menyita waktu dan energi dan secara tidak langsung mengakibatkan segregasi horisontal.

Selain itu, viralnya dua video ini menarasikan secara terang benderang tentang minimnya peradaban kritis. Begitu cepat kita menggerakkan digit atau jari jempol untuk meng-upload video-video tersebut, lalu membagikan dan menanggapinya di media sosial, tanpa mempertimbangkan legacy¸ berikut dampaknya bagi kehidupan sosial. Sepertinya, kinerja kinestetik jempol kita lebih cepat beberapa langkah dari presisi kognisi dan kesadaran. Kita baru sadar dan menyesal setelah ‘semuanya’ menjadi viral, heboh, dan sangat menganggu kenyamanan bermasyarakat.

Menurut Kartono, seorang pakar psikologi sosial, mereka yang terlibat aktif dalam skenario meng-upload, membagikan dan menanggapi video tersebut, sudah masuk dalam jejaring patologi sosial yang akut, dan secara hukum mereka bisa dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Konon, Plato dan Aristoteles pernah mengatakan, bila kerja anggota tubuh lebih cepat dari kerja akal, maka peradaban manusia tersebut masih terbilang mentah (improvisasi). Psikoanalis, Sigmund Freud menambahkan, bila keinginan ‘kerja’ badan (id) lebih dominan menjajal kerja rasionalitas dan moralitas (ego, superego) maka akan menyebabkan peradaban kembali ke titik nadir.

Peradaban nihil ini menjadi jembatan untuk berbagai kecenderungan merusak (thanatos) dan secara bawah sadar menghidupkan budaya kematian (death culture). Semuanya akan kembali menjadi barbar dalam bentuk dan manifestasi yang baru, karena dikuasai oleh keinginan-keinginan yang bersifat hewani.

Video ‘Laos’ dan ‘Bela’ hanyalah penggalan kecil dari narasi besar tentang mulai terajutnya kembali peradaban yang degradatif, tercecer, kumuh dan barbar. Karl R. Popper dalam The Open Society and Its Enemies menegaskan, musuh yang membuat peradaban tercabik-cabik bukanlah perkembangan yang begitu pesat, namun karena belum penuhnya kapasitas rasional dan moral dalam mendukung perkembangan tersebut.

Baca juga: Information Overload dan Wartawan yang Mati di Media Sosial

Sebenarnya, musuh yang paling ditakuti untuk peradaban adalah rasionalitas dan moralitas yang murahan. Oleh karena itu, perlu diperangi tanpa henti. Popper optimis dan menyakini bahwa dengan berpendidikan, bersekolah, berdiskusi, bermusik, bersastra, berolah raga, belajar agama, berlatih perang, membangun pertemanan/komunitas yang positif, menyebar informasi dan pengetahuan yang konstruktif, akan membantu memerangi bentuk-bentuk rasionalitas dan moralitas rendahan tersebut.

Sementara jika ditilik dari sisi kesehatan, rendahnya sikap kritis terhadap intensitas penggunaan internet menyebabkan kecanduan yang berdampak psikis, fisik maupun psiko sosial seseorang. Secara psikis, kecanduan internet akan membuat seseorang menjadi kurang empati, cepat depresi, gampang emosi, cepat mengambil keputusan, dan tak sabar menunggu hasil karena terbiasa berinteraksi dengan sesuatu yang instan. Secara fisik, kecanduan ini menyebabkan sel-sel otak menurun kinerjanya karena rangsangan yang berlebihan. Sel-sel otak yang kelelahan ini mengakibatkan turunnya konsentrasi dan berkurangnya memori.

Penelitian di Cina tahun 2012, bahkan menyebutkan otak pecandu internet ada kemungkinan mengalami perubahan kimia serupa dengan pecandu alkohol dan pecandu narkotika. Kesimpulan ini dibuat oleh para peneliti Akademi Ilmu Pengetahuan Cina yang mengamati otak 35 laki-laki dan perempuan berusia antara 14-21 tahun.

Mereka menemukan ada hubungan abnormal antara serabut saraf pada otak kelompok pecandu internet yang mirip dengan otak pecandu alkohol dan narkotika. Meski secara fisik mirip, tetapi menurut para ahli, kecanduan internet lebih susah ditangani ketimbang kecanduan narkotika/alkohol (narkolema: narkotika lewat mata).

Zat narkotika yang sudah terlanjur bersarang di tubuh bisa dihilangkan dengan memberikan obat, tetapi kalau kecanduan internet, tak ada zat yang bisa diluruhkan karena efeknya langsung pada memori. Obat-obatan yang diberikan dokter umumnya hanya untuk menurunkan dopamin dan depresi.

BACA JUGA
Hurami Nacy Hendak Menyembelih Babi

Mungkin karena efeknya yang berat dan sulitnya pengobatan, maka Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan kecanduan internet ini sebagai penyakit internasional ke-11. Dari sudut psiko-sosial, kecanduan internet menyebabkan terbentuknya konstruksi sosial yang negatif, gaya hidup konsumptif dan instan. Ada fenomena yang disebut fear of missing out. Fenomena ‘takut ketinggalan’.

Takut ketinggalan membuat status atau postingan dalam sehari atau sejam, takut ketinggalan menanggapi suatu berita yang lagi heboh, takut ketinggalan memberi like atau sekadar komentar pada posting-an atau status seseorang, takut ketinggalan gaya hidup yang lagi tren yang disebarkan di media sosial seperti berbelanja di mall, makan di restoran, bepergian ke luar negeri, dan lain-lain.

Pertanyaannya, bagaimana kita menghadapi situasi ini? Bagaimana pendidikan kita menghadapi penetrasi digital yang masif ini?

Saya coba menjawabnya dengan merujuk pada temuan hasil penelitian yang saya lakukan bersama Dr. Marsel Payong tahun 2017. Dalam penelitian ini kami hubungkan beberapa variabel antara permasalahan sosial, media sosial, dan berpikir kritis. Temuan penelitian adalah kondisi pembelajaran di Kota Ruteng belum sepenuhnya berbasis berpikir kritis yang resultan pada munculnya berbagai permasalahan sosial di kalangan siswa.

Misalnya, survei yang dilakukan pada bagian kegiatan inti pembelajaran di SMP menunjukkan bahwa 42% dari 450 siswa dari 8 sekolah berpendapat bahwa guru “tidak pernah” melaksanakan kegiatan pembelajaran yang mampu merangsang keterampilan berpikir kritis, 34 % siswa berpendapat “jarang” dan 24% siswa berpendapat “kadang-kadang”. Sementara di pihak guru, 37% dari 38 orang mengatakan bahwa “tidak pernah” melaksanakan kegiatan pembelajaran yang dapat merangsang keterampilan berpikir kritis, 27% mengatakan “jarang”, dan 36% mengatakan “kadang-kadang”.

Data penelitian ini berkorelasi dengan fenomena timbulnya berbagai penyimpangan sikap dan moral yang terjadi di kalangan siswa SMP. Informasi tentang banyaknya kejadian penyimpangan sikap dan moral ini merupakan hasil dari FGD bersama beberapa guru mata pelajaran SMP se-kota Ruteng.

Menurut para guru, ada 5 dari 10 siswa dari setiap kelas pada sekolah di kota Ruteng yang terlibat dalam tindakan-tindakan destruktif seperti ujaran kebencian, kekerasan verbal, tawuran, persekusi, pornografi, pornoaksi, tindakan radikal, dan lain-lain. Menurut mereka, sekitar 82-84%–sejalan dengan data BPS 2016–tindakan-tindakan destruktif ini disebabkan karena pengaruh perkembangan teknologi informasi, seperti fasilitas media sosial.

Dinarasikan bahwa kontribusi negatif dari media sosial terhadap kehidupan orang muda di kota Ruteng, didorong oleh gamangnya keterampilan berpikir kritis. Orang muda begitu mudah tergiring, terprovokasi, dan bahkan teragitasi oleh informasi yang tersebar di media sosial. Mereka bahkan melakukan tindakan-tindakan fatalistik, melampaui batas-batas etika dan moral yang telah digariskan dalam masyarakat, sekolah dan agama.

Bertolak dari data empiris tentang pengaruh negatif penetrasi media digital ini, maka sebagai orang yang bertanggung jawab dalam dunia pendidikan, saya hendak kembali menggagas adanya rekonstruksi tentang pendidikan kritis. Rekonstruksi gagasan ini bertujuan agar para pemangku pendidikan dan para pelakunya dapat menyadari tentang pentingnya pendidikan berbasis berpikir kritis untuk diintegrasikan dalam sistem kurikulum dan konsep/praksis pendidikan.

Dari segi psikologi usia belajar, kurikulum, dan materi pembelajaran, sekolah yang ada di Indonesia menjadi tempat yang potensial dan relevan dalam mengintegrasikan pendidikan berbasis berpikir kritis ini, terutama ketika dihubungkan dengan banyaknya permasalahan yang muncul sebagai akibat penggunaan media sosial.

Karena alasan sangat mendasar bahwa berpikir kritis merupakan salah satu keterampilan belajar abad 21 yang harus dimiliki seseorang, selain keterampilan berpikir kreatif, berkolaborasi dan berkomunikasi, maka beberapa negara kawasan Amerika, Eropa dan Asia, telah intensif membahas pendidikan berbasis berpikir kritis dalam konteks transformasi digital.

Di satu pihak mereka sudah bertransformasi intens dalam berteknologi media, tetapi pada pihak lain mereka telah menetapkan perspektif kurikulum berbasis berpikir kritis dalam kegiatan pembelajarannya demi memberdayakan keterampilan berpikir kritis dan meningkatkan kecerdasan alamiah dalam diri peserta didik.

Bahkan sekolah-sekolah di Taiwan sudah mendorong adanya transformasi digital terutama dalam membangun kecerdasan buatan (artificial intelligence) melalui penggunaan smartphone dan smart-tv. Kecerdasan buatan melalui media digital ini semata-mata untuk mendukung dan mempercepat pembentukan kecerdasan alamiah dalam diri peserta didik.

BACA JUGA
Menjadi Blogger Tidak Akan Buat Seseorang Mendadak Keren Bagian Kesepuluh

Kurikulum pembelajaran di negara ini sudah menggunakan fasilitas kecerdasan buatan ini dalam skema-skema seperti augmented reality dan virtual reality, sehingga peserta didik seakan-akan berada pada situasi yang autentik. Dengan menggunakan fasilitas internet mereka mendekatkan siswa pada sumber belajar yang menyerupai realitas atau peristiwa aslinya.

Contoh: memperlihatkan secara detil bagaimana terjadinya gempa, tsunami, erupsi gunung api, memperlihatkan secara keseluruhan isi tata surya dan sistem peredarannya, atau memperlihatkan siswa secara detil sistem diastolik dan sistolik peredaran darah dalam tubuh manusia. Semua ini direkayasa untuk mempercepat berkembangnya kecerdasan asli, sehingga membuat manusia lebih memahami realitas keduniaan, dan selanjutnya bisa berkreasi, berinovasi dan berproduksi.

Kecerdasan buatan ini bahkan sudah dimanfaatkan untuk membantu memberdayakan keterampilan berpikir kritis ketika berhadapan dengan ancaman bencana alam melalui informasi mitigasi bencana dan sistem peringatan dini (early warning system).

Peserta didik kemudian diikutsertakan secara aktif dalam mengambil keputusan dan melakukan tindakan-tindakan praktis untuk mencegah dan menyelesaikan berbagai permasalahan sosial. Sehingga mereka bukan lagi menjadi pembuat masalah (trouble maker) tetapi pemecah masalah (problem solver).

Kecerdasan buatan bahkan sudah membantu dirupsi cara berdagang atau berbisnis dari kepemilikan pribadi menjadi saling berbagi peran dan kolaborasi sumber daya, berjualan online, dan lain-lain, yang keuntungannya berlipat ganda dibandingkan cara berbisnis/berdagang konvesional.

Selain itu kecerdasan buatan ini juga bahkan sudah membantu pemerintah dan kegiatan pendidikan dalam membuat e-budgeting, e-controlling, e-book, e-journal, smart city dan smart campus sehingga menumbuhkan efisisensi, efektivitas, produktivitas, aksesibilitas, akuntabilitas, transparansi dan demokrasi.

Pandangan saya, pembelajaran yang dimulai dengan mengajukan pertanyaan dasar seperti ‘apa’, ‘siapa’, ‘kapan’, ‘dimana’, ‘mengapa terjadi begini-begitu’, ‘bagaimana kejadiannya’, ‘tindakan-tindakan apa yang harus dilakukan untuk mencegah atau meningkatkanya’, ‘apakah pantas saya melakukan ini atau itu’, mesti dipertimbangkan bila merujuk pada permasalahan akibat penetrasi digital yang masif di atas (bandingkan dengan konsep ‘mengamati’, ‘menanya’, dan ‘menginformasikan’ pada pendekatan Saintifik kurikulum 2013).

Sebab pertanyaan-pertanyaan dasar ini menjadi pemicu bangkitnya keterampilan kritis dalam diri peserta didik. Memulai sebuah kegiatan belajar dengan bertanya adalah embrio dari konstruksi berpikir kritis dan berpeluang untuk membentuk sistematika berpikir yang jelas dan terang.

Baca juga: Media Massa Daring dan Masalah Akut Bernama Penyuntingan

Bila dalam pembelajaran dewasa ini tidak dibudayakan kegiatan bertanya, maka kita masih terjebak dalam budaya positivisme dan sedang menghidupkan kembali rasionalitas murahan, yang secara perlahan memenjarakan dan merajam kritisitas dan kreativitas dalam diri siswa.

Di atas segalanya, sebagai bagian dari transformasi digital, kegiatan literasi media sosial harus terus digagas untuk diintegrasikan ke dalam kegiatan pendidikan atau pembelajaran, baik di sekolah-sekolah, keluarga, masyarakat maupun tempat-tempat kursus/pelatihan. Transformasi dan literasi ini menjadi penting untuk mecerdaskan peserta didik dalam menyikapi perkembangan teknologi informasi dan penggunaan media digital yang kritis, cerdas, arif dan bijaksana.

Unsur-unsur literasi dapat dielaborasi dalam sistem kurikulum, konten materi ajar, model dan strategi pembelajaran, sumber dan media pembelajaran, dan sistem evaluasi belajarnya. Untuk mendukung ini, penting adanya sinergisitas peran keluarga, masyarakat, agama dan sekolah dalam membuat sosialisasi, promosi, edukasi dan advokasi tentang dampak-dampak penetrasi digital ini.

Sebagai penutup dari orasi ini, saya ingin bertanya: Tulisan apa yang tertera di dinding Facebook ketika hendak membuat sebuah status? Yah…Mark Zuckerberg meminta kita untuk selalu berpikir sebelum membuat status atau postingan. (*)

penetrasi digital, penetrasi digital, penetrasi digital

8 Oktober 2018

Dr. Marianus Mantovanny Tapung, Ketua LPPM STIKES St. Paulus Ruteng. Artikel-artikelnya dapat ditemukan di berbagai media, seperti Media Indonesia, Pos Kupang, Flores Pos, dan lain-lain. Menulis beberapa buku, di antaranya berjudul: Narasi Bangsa yang Tercecer (Cendikia Press, 2018) dan Dialektika Filsafat dan Pendidikan (Parhesia Institute Jakarta, 2018).

Orasi Ilmiah ini disiarkan di Blog Ranalino atas izin penulis.

Gambar dari Tempo.co.

Bagikan ke:

2 Comments

  1. Baru baca sampai selesai ini opini e. Dalam. Banyak referensinya.Tapi, sy membacanya sebagai bagian dari seruan etis dr kelompok digital immigrants. Beberapanya saya setuju.Om Manto juga singgung soal kasus “Laos”. Sebagian besar opini lebih melemparkan kekeliruan pada pengguna (user). Kenapa hanya user? Apakah hanya user yang harus punya sisi etis? HeheHari2 ini, kelompok digital natives kini mulai ramai2 kritik platform penyedia layanan, spt facebook, youtube, instagram, dsb. Kritik mereka karena sebagai penyedia layanan, hoax, fakenews, konten kekerasan, konten sadistis justru menghasilkan keuntungan yang banyak. Semakin konten itu dibagikan, semakin besar pula keuntungan bagi penyedia layanan.Sama dengan Youtube yang meraup keuntungan dari video kekerasan dan video sexual karena ditonton oleh lebih dari satu juta pengguna. Di tiap konten itu bahkan ada iklan yang dipajangkan Youtube.So, sy pikir, pendidikan literasi digital, khususnya di Manggarai, harus sampai ke mengasa kemampuan teknis: memahami cara kerja platform penyedia layanan. Latih siswa PHP, coding, belajar phyton, digital marketing, facebook ads, Youtube ads, dsb. Kritis saja tidak cukup untuk mengantisipasi efek negatif dari kemajuan digital saat ini. Kritis kalau belum bisa masuk ke ruang-ruang teknis begitu, tetap saja jadi kelompok kalah. TabeSalam ke Ruteng.

  2. Saya kutip ini e. “Kritis saja tidak cukup untuk mengantisipasi efek negatif dari kemajuan digital saat ini. Kritis kalau belum bisa masuk ke ruang-ruang teknis begitu, tetap saja jadi kelompok kalah.” Nah, sepertinya ini sudah darurat dan sebaiknya segera dilakukan usaha bersama. Semoga bisa dimulai dari STKIP.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *