surat terbuka tentang flashdisk untuk budi dari ruteng untuk najwa shihab

Surat Terbuka dari Ruteng untuk Najwa Shihab

Najwa Shihab adalah presenter yang hebat. Memulai karirnya sebagai tim berita di Metro TV, Mbak Nana, demikian dia disapa orang-orang dekatnya, kini dikenal luas ‘sebagai’ Mata Najwa.


Di luar pekerjaannya sebagai jurnalis dan presenter, Najwa Shihab aktif di berbagai gerakan sosial. Terakhir Najwa Shihab ikut dalam kampanye gerakan 1.000 flashdisk bernama KirimBudi. Gerakan KirimBudi ini membuat saya bertanya lagi tentang bagian terpenting dari kepedulian; membantu menyelesaikan dengan cara yang tepat. Ada cukup banyak pertanyaan. Yang terbesar adalah seberapa efektif gerakan ini membantu menyelesaikan soal pendidikan di kampung-kampung; tempat-tempat yang jauh dari Najwa Shihab dan seluruh campaigners serta para donatur berada.

Saya tinggal di tempat di mana flashdisk belum menjadi kebutuhan utama karena sebagaian besar orang masih berkutat dengan kebutuhan elektrifikasi. Saya merasa, Najwa Shihab mengetahui soal ketersediaan listrik ini. Melihatnya ikut dalam gerakan KirimBudi membuat saya terkejut. Lalu memutuskan untuk menulis surat terbuka ini.

Hemat saya, ada beberapa soal dasar pada gerakan ini. Ini narasi tim kerja KirimBudi di laman kitabisa.com: “Keterbatasan informasi membuat referensi mimpi anak-anak ini terbatasi. Salah satu penyebab keterbatasan informasi adalah karena penyebaran koneksi internet yang belum merata di sekolah-sekolah Indonesia.”

Mereka juga bilang, “Melalui gerakan #KirimBudi, kami ingin berbagi inspirasi kepada mereka bahwa ada banyak mimpi di luar sana yang dapat mereka raih.” Selengkapnya dapat dibaca di laman mereka.

Secara singkat, KirimBudi adalah donasi flashdisk untuk anak-anak di kampung. Penggalang donasi menjelaskan, Flashdisk Budi tak hanya berisi mengenai video profesi yang dapat memotivasi anak-anak untuk bermimpi namun juga video edukasi dari para kontributor yang pastinya bermanfaat bagi mereka. Biaya yang dibutuhkan cukup banyak. Untuk 10.000 Flashdisk, rancang anggarannya adalah lima ratus juta rupiah. Beberapa selebriti ikut mendukung program ini.

Saya tidak mendukungnya karena merasa kegiatan ini mendasarkan dirinya pada asumsi bahwa anak-anak membutuhkan flashdisk yang isinya (menurut mereka) bermanfaat. Maka saya menulis surat berikut.

Surat Terbuka dari Ruteng untuk Najwa Shihab

Ruteng, 16 Mei 2018

Mbak Nana yang baik,

Maafkan kedatangan surat ini sekiranya dia telah mengganggu. Bukan salah surat ini, tetapi salah saya yang mengirimnya di waktu yang barangkali kurang tepat. Surat tak pernah salah. Karena kalau surat pernah salah, bagaimana nasib Starla yang menerima rayuan itu beberapa bulan silam?

Mbak Nana kenal Starla? Mungkin tidak. Saya juga tidak mengenalnya tetapi Enno, Sintus, Dodo, Mozakk, Kojek dan pria-pria lainnya di sekitar saya seperti sangat mengenalnya. Karena itulah mereka menyanyikan lagu itu berulang-ulang; Surat Cinta untuk Starla.

Starla tentu saja tidak mengenal mereka. Juga tidak sedang membutuhkan rayuan melalui surat cinta. Tetapi mereka, pria-pria jagoan saya itu, merasa Starla memerlukannya. Mungkin mereka berpikir, Starla akan lebih bahagia setelah mendapat rayuan: tetap cantik rambut panjangmu meski nanti tak hitam lagi.

Tetapi tidak begitu kan, Mbak? Maksud saya, tidak persis begitu. Kita makhluk yang berpikir. Kemudian kita tidak peduli apakah pada saat merayu, Starla sesungguhnya sedang memerlukan keheningan. Agar dia bisa berdoa. Tetapi Enno dan kawan-kawan ngotot. Mereka memakai asumsi kelompok. Starla harus dirayu agar merasa bahagia.

BACA JUGA
Ketika Tuhan Campur Tangan pada Kisah Pius Lustrilanang

Baca juga: Hidup dan Kisah Cinta H.C. Andersen, Pengarang Gadis Korek Api

Itulah soalnya, Mbak. Kita–betapa mulianya manusia–selalu ingin membuat orang lain bahagia. Dan, kita–betapa sedihnya kemalasan–selalu enggan melakukan riset. Akibatnya, kita bergerak membahagiakan orang lain atas dasar asumsi kita, entah pribadi atau kelompok.

Mbak Nana mungkin pernah nonton The Cosby Show. Pada satu episodenya, Claire istrinya, dan anak-anak mereka Sondra, Denise, Theo, Vanessa, dan Rudi ingin memberi hadiah Hari Ayah kepada Pak Cosby. Mereka berunding dan memutuskan membelikan Mr. Cosby sebuah dasi dan beberapa hadiah lagi. Hadiah yang mereka duga akan membuat Ayah bahagia.

Surpiseeee! Kata mereka. Pak Cosby terkejut. Semakin terkejut karena dia mendapatkan sesuatu yang tidak dia butuhkan. Lalu dia pura-pura bahagia. Sebuah laku yang baik, bukan? Bahkan ketika kita tidak tahu manfaatnya, kita harus tetap bahagia dengan pemberian orang lain. Cuma-cuma ini. Iya, kan?

Mbak Nana tentu ingin banyak anak bahagia sebab mereka mendapat kiriman flashdisk yang berisi video-video inspiratif dan edukatif. Karena itulah Mbak Nana ikut mendukung program KirimBudi itu. Saya kaget, Mbak. Apa? Mbak  Nana ikut dukung program ini? Nggak salah? Itu reaksi saya waktu timeline facebook saya mengabarkan itu.

Maka saya lalu menulis surat ini, Mbak. Mbak Nana sudah baik sekali menjadi inspirator di banyak kegiatan, memrakarsai berbagai aksi, tetapi KirimBudi adalah program yang menurut saya harus mendapat cukup banyak pertanyaan.

Kenapa saya kirim surat ini kepada Mbak Nana? Karena saya tidak perlu mengirimnya kepada Vidi Aldiano, Mbak. Atau ke Glenn Fredly, Andien, Kemal Pahlevi, atau beberapa nama yang tidak terlampau saya kenal. Dari sekian banyak yang ikut kampanye ini di kitabisa.com, saya percaya Mbak Nana akan lebih baik jika diminta menjelaskan. Vidi Aldiano? Ah, sudahlah. Tiada yang hebat, dan mempesona ketika kau lewat, eh… Lagipula, dari sekian campaigners, Mbak Nana yang paling tinggi meraup donasi selain panitia inti pemilik kampanye ini.

Mbak Nana ye-te-ka-es-ha.

Pada kesempatan yang penuh rahmat ini, izinkanlah saya menanyakan beberapa hal berikut.

Pertama, Flashdisk yang dikirim itu, apakah akan ada gunanya untuk anak-anak yang tidak memiliki akses ke komputer, televisi multimedia, dan terutama listrik? Pertanyaan ini pernah diajukan juga oleh cukup banyak orang, dan beberapa Admin KirimBudi menjawabnya dengan tenang.

Mereka bilang, flashdisk akan dipakai dengan menggunakan komputer di sekolah secara bergantian. Begitu kira-kira. Mereka tenang sekali ketika menjawab pertanyaan ini, dan lupa bahwa proses belajar mengajar di sekolah itu sebaiknya dilakukan bersama. Ruang interaksi dalam proses KBM itu terbuka, dan untuk itu mereka lebih membutuhkan satu flashdisk, satu laptop, satu proyektor, dan satu dinding sekolah yang putih bersih. Dan tentu saja aliran listrik.

Baca juga: Ivan Nestorman, Musisi Aneh dari Flores

Maksud saya begini, Mbak. Kalau flashdisk itu isinya sama, dimiliki oleh beberapa anak, dan untuk bisa menggunakannya mereka harus meminjam laptop atau komputer sekolah, bukankah mereka sesungguhnya hanya membutuhkan satu flashdisk?

Kedua, kalau yang akan diisi dalam video itu adalah untuk menambah dunia referensi anak tentang pekerjaan dan lain-lain sebagaimana diceritakan Farli di laman fund rising KirimBudi, sudah separah itukah keputusasaan kita membangun dunia imajinasi anak lewat cerita, buku, dan media lapangan lainnya? Ataukah kita harus menggunakan video agar orang-orang percaya? Seperti Thomas saja rasanya. Harus lihat baru bisa percaya. Dengan demikian, masuk akallah sudah bagaimana kita memiliki persepsi yang seragam tentang cantik karena di televisi, yang cantik adalah kulit putih, rambut lurus, bla bla bla. Mbak Nana mau ikut membatasi ruang imajinasi anak dengan video?

BACA JUGA
Saya Tidak Jadi Pindah Agama

Saya yakin, tidak. Najwa Shihab itu tukang baca buku. Tukang dengar cerita Abah. Maka Mbak Nana bisa jadi sehebat sekarang. Rasanya tidak adil kalau kemudian Mbak Nana berpandangan bahwa video akan lebih banyak membantu. Ada soal kearifan lokal, dan hal-hal lain yang tidak akan tercapai melalui video, Mbak. Hanya akan tercapai melalui cerita lisan, dan bacaan. Kenapa? Karena lebih imajinatif. Mbak Nana pasti tahu maksud saya. Saya tidak perlu merincinya.

Ketiga, soal struktur berpikir, Mbak. Flashdisk dulu atau komputer dulu? Komputer dulu atau listrik dulu? Listrik dulu atau ruang belajar yang memadai dulu? Dan seterusnya dan seterusnya. Jangan potong tidur itu alur, Mbak. Tidak bisa instan begitu.

Atau karena flasdisk lebih murah? Makanya Mbak Nana pikir ini langkah paling mudah? Agar yang di kampung bisa lihat sesuatu yang mewah? Apakah bekerja di sawah tidak lagi indah sehingga kepada anak-anak harus diceritakan tentang Jakarta? Wow, saya pakai rima ini, Mbak. Mbak Nana banget, kan?

Ini bahaya, Mbak. Bukan rimanya. Tetapi ketika orang-orang seperti Mbak Nana dan kawan-kawan di Jakarta yang akan hadir di video flashdisk itu akan menjadi lebih terkenal dari sawah, petani, kerbau, dan bulir-bulir padi. Semua anak akan berniat merantau. Lalu mereka tidak punya biaya. Lalu mereka ke Malaysia. Lalu pulang dalam peti mati.

Ah, bagian ini barangkali berlebihan, Mbak. Tetapi poin saya tetap sama. KirimBudi, yang menggalang dana dari orang-orang baik itu, yang seorang Najwa Shihab terlibat mendukungnya, adalah program yang tidak menjawab soal-soal pendidikan di kampung. Ya, itu tadi. Flashdisk tanpa komputer, komputer tanpa listrik, video pembatas imajinasi, inspirasi yang tidak tepat karena tidak berakar lokal, adalah seumpama potongan puzzle yang tidak tepat. Akan ada lubang yang mengintip dan puzzle akan selamanya tak mampu menampilkan gambar yang utuh.

Saya percaya, Mbak, bahwa niat program ini baik adanya. Tetapi saya juga percaya bahwa apa saja, termasuk kebaikan, yang landasannya adalah asumsi personal atau kelompok, hanya akan membuat Pak Cosby pura-pura bahagia. Agar istri dan anak-anaknya senang. Lalu dasi itu dipakai untuk mengikat berkas-berkas kantor. Berguna juga, sih. Tapi tidak tepat. Flashdisk dari KirimBudi mungkin akan dipakai sebagai gantungan kunci. Atau dijual lagi karena tidak tahu bagaimana memakainya. Berguna juga. Tetapi tidak tepat. Dan melukai hati orang-orang yang telah ikut berdonasi.

Bayangkan ini. Saya ikut mengirim seratus ribu di KirimBudi. Uangnya dipakai membeli flashdisk. Flashdisk dikirim kepada Asmi di Paurundang. Asmi menjual flashdisk itu kepada saya ketika saya pulang libur lebaran besok. Wow sekali, bukan? Sampai kapan, Mbak? Sampai kapan kita memanfaatkan kebaikan orang-orang untuk sesuatu yang tidak tepat sasaran? Sampai kapan orang-orang di kota besar merasa bahwa apa yang mereka pikirkan pasti menjadi solusi yang baik untuk orang-orang di pinggiran?

BACA JUGA
Berhentilah Mengadili Judul, Tambah Jumlah Bacaan Anda

Presiden Jokowi mulai gencar membangun dari pinggir, Mbak. Tetapi akan tetap sia-sia kalau solusinya disiapkan oleh pemikir-pemikir yang lebih senang berasumsi daripada mengunjungi anak-anak kami. Ayolah… Mbak Nana kenapa ikut yang begini-begini? Mbak Nana itu hebat. Di rumah kami, suatu ketika, ada program Mata Najwa di televisi. Istri saya menonton lalu nyeletuk, “Sa rasa ka, sa mirip Najwa Shihab.” Kalimat itu, Mbak, adalah tanda bahwa Mbak Nana hebat.

Tetapi sesungguhnya saya mengagumi istri saya sepenuh hati. Dia menggalang seribu sikat gigi. Pakai crowd-funding. Lengkap dengan pasta giginya. Plus demo sikat gigi yang baik dan benar. Karena banyak anak di kampung tidak punya sikat gigi, Mbak. Ada yang memakai sikat giginya secara gotong royong. Satu sikat gigi untuk seluruh keluarga. Istri saya dan teman-temannya merasa itu tidak baik untuk kesehatan.

Maka dibuatlah program 1000 Sikat Gigi itu. Saya ikut bantu desain posternya. Kegiatannya berhasil. Setiap anak memiliki sikat gigi masing-masing. Biayanya tidak sampai seratus ribu per anak. Sepuluh ribu sudah cukup. Mereka senang. Bukan pura-pura senang.

Glentoz Sareng, Tommy Hikmat, dan kawan-kawannya juga pernah bikin crowd-funding. Mereka ingin membantu pembangunan sebuah kapela. Anak-anak muda hebat di Ruteng itu mengumpulkan semen, dan beberapa bahan bangunan lain. Umat senang. Bayangkan kalau mereka memutuskan memutar video inspiratif tentang pembangunan piramida Mesir. Baik sih. Bisa bikin kita dapat tambahan pengetahuan. Tetapi apakah bisa bikin kapela? Rasanya tidak.

Baca juga: 10 Plus 1 Hal Paling Diingat tentang Ruteng

Maksud saya begitu, Mbak. Berbagai kebaikan akan sangat baik kalau bisa tepat sasaran. Jika tidak, beberapa niat baik harus direndam, dipikirkan lagi, dan dicari keluaran yang tepat. Hanya dengan cara itu kita akan mampu tampil sebagai pembawa solusi. Diana, teman saya di Sumba, mencoba melakukannya beberapa waktu terakhir. Mencari jalan yang tepat. Kalau tidak, kita hanya akan hidup di televisi (atau merasa semua yang divideokan selalu lebih hebat).

Tetapi apakah ini akan jadi kecenderungan? Melihat orang-orang di tempat jauh lalu merasa mereka tidak beruntung karena tidak menjadi seperti kita? Tidak heran kalau akhirnya film-film yang mengambil NTT sebagai lokasi syutingnya, hanya menghasilkan cerita-cerita yang jauh. Sedih sekali, Mbak.

Akhirnya, salam hangat buat keluarga. Tetap jadi orang hebat. Saya janji, besok akan bilang ke Enno, Sintus, Dodo, Mozakk, Kojek dan pria-pria lainnya di sekitar saya agar tidak lagi menulis surat cinta untuk Starla. Mungkin Venan lebih membutuhkannya.

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

NB:

  • Kenapa Budi, Mbak? Bukankah bacaan tentang Keluarga Budi akan membuat kita teringat-ingat pada Bapak membaca koran dan Ibu menanak nasi? Saya tunggu balasannya. Empat kali empat sama dengan enam belas, sempat tak sempat harus dibalas. Ini pantun pemaksaan. Maafkan saya.

Gambar dari HerStory.co.id.

Bagikan ke:

6 Comments

  1. Cerdas!Flasdisk dulu atau komputernya?Komputer dulu atau listriknya?Listrik dulu atau ruang belajarnya..Ah cerdas!Salam kenal dari Wamena

  2. Sekarang jamanjyang terbalik. Kota ingin kedesa-desaan dan ada upaya membuat desa menjadi kekota-kotaan. Kalau tidak salah di Bali justru ada sekolah alam. Dan itu justru merangsang imajinasi yang baik untuk anak-anak. Saya bayang kalau bawa ke kami punya kampung itu flash disk, deee ndeee

  3. Surat ini sudah dibalas, Ucique. Balasannya juga sudah diunggah ke ranalino.co. Bagus kalau semakin banyak orang terlibat mendiskusikannya. Tentu berdasarkan balasan tim KirimBudi. Yuk…

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *