kita anti-asing tapi tetap cinta xenophobia armin bell blogger ruteng

Kita, Anti-Asing Tetapi Tetap Cinta

Sejak zaman dahulu kala, anti-asing sering sekali dibicarakan. Sebagai narasi perlawanan, kata berdikari digelorakan. Belum berhasil.


Ruteng, 2 Juli 2019

Ketika tahu bahwa dalam materi gugatannya ke Mahkamah Konstitusi, Prabowo bersama tim kuasa hukumnya mengutip pendapat Tom Power seorang kandidat doktor dari Australian National University, netizen serentak bersatu padu dalam paduan suara bernada miring. Mereka  mengkritik narasi anti-asing yang jadi jargon kampanye Prabowo dalam dua helat Pilpres terakhir.

“Katanya anti-asing. Kenapa untuk bilang bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo mempunyai gaya pendekatan otoritarian seperti Orde Baru, Bapak mesti mengutip pendapat orang asing? Di dalam negeri kan banyak yang bisa bilang begitu. Fadli Zon, misalnya. Atau Mas Rocky Gerung. Amin Rais yang sudah jelas-jelas doktor juga. Merasa kurang afdol dengan produk dalam negeri, Pak?” Begitu kira-kira kritik sindiran itu dikumandangkan.

Tom Power memang akan tetap dianggap sebagai seorang asing karena dia berasal dari luar negeri, meski risetnya adalah soal situasi politik di Indonesia, termasuk gaya pemerintahan Joko Widodo. Ketika Tom Power yang seorang asing itu melayangkan protes karena pernyataannya dikutip sebagian saja—membuat hasil risetnya digerakkan ke arah yang sama sekali berbeda dengan maksud tulisannya secara keseluruhan, semua yang bersuara miring tadi semakin gembira. Merasa memiliki alasan lebih untuk mengolok-olok orang lain. Aduh… kita ini e aeh!

Beberapa penyair barangkali berada di pihak Tom. Mereka merasa, tulisan Tom telah bernasib sama dengan puisi-puisi mereka, yang ditulis tinta emas di sejumlah undangan pernikahan—puisi-puisi itu secara keseluruhan berkisah tentang cinta yang berakhir getir atau kasih tak sampai. Kenapa dirayakan sebagai puisi cinta?

Para penyair itu, seperti kandidat doktor di nganu ANU itu, merasa sedih karena tak berhasil dimengerti secara utuh. Semakin sedih karena kisah cinta nan membara di ruang resepsi pernikahan, berdiri di atas satu-dua larik puisi patah hati. Kaka nona e. Pikir-pikir dulu ka sebelum pake orang pu puisi di undangan nikah!

BACA JUGA
Ketika Tuhan Campur Tangan pada Kisah Pius Lustrilanang

Ketika menghubung-hubungkan peristiwa-peristiwa itu, saya lalu merasa bahwa tagline “Jokowi adalah Kita” yang populer di tahun 2014 silam, sudah waktunya diganti menjadi dua tagline yang harus segera viral: (1)Anti-Asing Tetapi Tetap Cinta adalah Kita; (2)Lagu Patah Hati di Pesta Kawin adalah Kami.

Untuk yang pertama, begini ceritanya:

Seorang teman seangkatan di bangku kuliah dulu adalah aktivis kampus yang masuk dalam kategori siap-sedia-setiap-saat. Maksudnya, untuk demonstrasi apa saja, dia turun ke jalan. Asal seseorang berhasil meyakinkan bahwa bangsa ini sedang dalam keadaan bahaya karena kecurangan sedang terjadi di mana-mana, dia siap pegang spanduk berisi tulisan-tulisan protes.

Karena kami kuliah di masa presiden negeri seribu pulau ini sedang gemar melepas aset bangsa dan isu privatisasi sedang begitu seksi semlohai untuk dielus-elus, maka para aktivis mahasiswa kerap turun jalan dan berseru-seru tentang anti-asing. Si aktivis-siap-sedia-setiap-saat itu juga bersemangat ikut.

Suatu ketika, dia tak sadar bahwa baru saja keluar dari restoran fried chicken yang justru dipakai sebagai simbol asing yang sedang ditolak. Sambil sesekali membersihkan cuil daging ayam yang nyempil di sela-sela gigi, dia ikut demo sampai selesai. Lalu mengajak teman-temannya makan siang. Bukan di restoran yang tadi, tetapi di restoran lain yang kentang gorengnya enak sekali, yang kemasannya baru saja dibakar bersama ban sebagai simbol anti-asing tadi.

Merasa bingung dengan narasi super-ribet tadi? Saya bikin jelas saja. Dua restoran itu adalah KFC dan McD, sedangkan tahun kuliah kami adalah di zaman Presiden Megawati. Su lama skali to? Iya! Sudah lama sekali. Dan sepanjang rentang waktu itu, sikap warga di negeri rayuan pulau kelapa ini tetap tak berubah. Anti-asing tetapi tetap cinta. Makanya saya tidak heran-heran amat dengan keputusan Prabowo mengutip pendapat seorang asing meski dia telah sukses mencitrakan dirinya sendiri sebagai anti-asing. Prabowo dan seluruh relasinya dengan narasi anti-asing adalah kita. Prabowo adalah kita, Kakak. Anti-asing tetapi tetap cinta adalah kita. Dan ini adalah waktu yang tepat untuk mendeklarasikannya.

BACA JUGA
Arie Hanggara

Jangan malu-malu. Semua juga begitu, to?

Menolak wacana maskapai asing boleh masuk agar harga tiket penerbangan domestik semakin murah, tetapi merasa harga diri kita naik satu tingkat kalau berhasil foto dengan some random tourist di Labuan Bajo. Kurang bodoh apa itu? Membangga-banggakan prestasi anak negeri di pentas internasional, tetapi lebih nyaman kalau yang kerja proyek besar itu adalah perusahaan luar negeri. Mendorong ibu-ibu di NTT melestarikan tenun ikat, tetapi parfummu dari Paris, sepatumu dari Itali, kau bilang demi gengsi semua serba luar negeri… manalah mungkin mengikuti caramu yang penuh pura-pura ta-ra-ram ta-ra-ram…

Karena itu, janganlah terlampau nyaring berseru-seru anti-asing. Sebentar juga, kalau berhasil beli barang branded, kamu akan tertawa mengolok-olok Pak Salim yang bilang: cintai ploduk-ploduk eindonesa! Sama seperti kita menertawai Pak Amin atau Mas Rocky yang mengkritik pemerintah—menganggapnya sebagai tak berdasar kuat selain kebencian—tetapi serentak diam ketika membaca riset ‘orang asing’ tentang kecenderungan yang sama. Iya, to?

Bukankah kita baru bisa tertawa setelah materi riset Tom Power dikutip sebagian oleh Prabowo dan oleh karena itu Prabowo mendapat protes? Kita tetap gugup kalau asing berhasil menunjukkan kelemahan kita dan menuduh orang dalam sebagai pembenci ketika menyampaikan hal yang sama.

Mau tipu lagi? Aeh… Kau bisa tipu sama Indonesia. Macam penguasa-penguasa itu saja!

Begini. Kalau benci, jangan terlalu. Kalau cinta, juga jangan terlalu. Selalu ada peluang bahwa apa yang kau benci sungguh, akan kau peluk di kemudian hari. Juga berlaku sebaliknya. Oleh karena itu, saya sungguh ingin memopulerkan tagline kedua: Lagu Patah Hati di Pesta Kawin adalah Kami!

Di Ruteng yang dingin ini, selalu ada yang begitu. Di tengah kemeriahan resepsi pernikahan, entah wedding band atau keluarga pengantin, selalu ada yang menyanyikan lagu-lagu patah hati. Dan pengantinnya berdansa dengan lagu My Broken Souvenirs. Seperti isyarat kepada mantan yang duduk mengkerut di sudut aula: kalau sedih jangan terlalu, kalau ada sumur di ladang, kita akan mandi sama-sama lagi.

BACA JUGA
Kita Punya Pesta Demokrasi itu Begitu; Tidak Perlu Umbar Pujian atau Cari Muka

Toh, tak ada yang perasaan yang benar-benar abadi, entah cinta atau benci (pada asing sekalipun). Yang penyair isyaratkan sebagai puisi patah hati saja kita pahami sebagai puisi cinta nan membara. Iya, to? Yang abadi barangkali adalah keinginan untuk selalu menang dan menjadi penguasa alam raya. Bukankah kita semua begitu, Bapak?

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *