Untuk Bahagia, Kita Hanya Butuh Orang Lain Menderita

Abraham Maslow melupakan satu hal ketika merumuskan apa yang kini kita kenal sebagai Maslow’s Hierarchy of Needs atau hirarki kebutuhan menurut Maslow. Hirarki tambahan untuk Maslow’s: melihat orang lain menderita.

untuk bahagia kita hanya butuh orang lain menderita
Ilustrasi Orang-orang Bahagia | Foto: Frans Joseph

Untuk Bahagia, Kita Hanya Butuh Orang Lain Menderita

Psikolog asal Amerika Abraham Harold Maslow (1880 – 1970) membuat urutan lima kebutuhan manusia. Dimulai dari kebutuhan fisiologis, kemudian rasa aman dan perlindungan (fisik dan psikologis), lalu rasa cinta, beranjak ke harga diri dan perasaan dihargai oleh orang lain serta pengakuan dari orang lain, sampai ke yang kelima bernama aktualisasi diri.

Hirarki kebutuhan menurut Maslow (Maslow’s hierarchy of needs) tersebut dipakai sebagai bahan ajar di hampir setiap pertemuan belajar mengajar yang berhubungan dengan psikologi. Lalu kita menjadi percaya bahwa kalau kelima hal itu telah terpenuhi dalam porsi yang benar, kita menjadi manusia yang bahagia.

Saya setuju. Manusia yang telah sampai pada tahap aktualisasi diri biasanya memang terlihat hidup sangat bahagia. Penyanyi dangdut koplo tentu bahagia sekali kalau sudah bisa bergoyang heboh dan membuat banyak lelaki pulang dengan sesuatu yang harus dituntaskan sendiri. Dia telah berhasil aktual malam itu.

Preman pasar tentu sangat gembira hatinya ketika saat dia melintas, ibu-ibu penjual sayur menghentikan obrolan mereka dan mendadak menguncup. Preman itu merasa diakui; dia ada. Lalu preman itu pergi nonton dangdut koplo, halaaah.

Pokoknya begitu. Saya percaya dengan apa yang Maslow sebut sebagai kebutuhan tertinggi manusia dalam daftar hirarki kebutuhannya: diakui ada. Saat berkunjung ke rumah pacar, eh bapaknya si pacar sedang ngobrol dengan temannya di ruang tamu. Lalu si bapak mengenalkan kita kepada temannya sebagai: ini nona punya pacar.

Baca juga: 10 Situasi Saat Orang Menyampaikan Kritik

Kita bahagia. Diakui ada. Meski sesungguhnya sebelumnya sempat berharap semoga calon mertua sedang tidak ada di rumah agar kita ‘lebih bebas’. Hayooo, ngaku! 

Tetapi apakah aktualisasi diri adalah yang terakhir dari daftar kebutuhan manusia, saya agak tir terlalu setuju. Ada daftar lain sesungguhnya yang bernama: orang lain menderita. Sebut saja itu kebutuhan keenam. Lebih tinggi dari merasa diakui ada, melihat orang lain menderita membuat kita jauh lebih bahagia. Diakui ada saja tidak cukup. Diakui ada di saat orang lain dianggap tidak ada, itu baru tepat. Iya to?

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Ini nona punya pacar yang baru. Yang kemarin itu bajingan. Yang ini luar biasa baiknya. Bayangkan kau mendengar itu dari si bapak tadi. Bahagia ka tida? Ah, sudahlah. Itu cerita yang lain. Sesungguhnya yang mau saya ceritakan hanya pengalaman melihat. 

Cukup banyak di antara kita yang saya lihat–untuk tidak menyebut diri sendiri–memandang kegagalan orang lain sebagai keberhasilan kita. Padahal kita yang kemudian bersenang atas peristiwa itu tidak pernah melakukan apa pun yang berkaitan langsung selain menjadi penonton.
Rumit? Itu sudah. Kadang saya serumit itu, cie cieee. Jadi begini. Saya pernah ada di situasi bersama beberapa orang yang sedang menonton sebuah peristiwa. Kami adalah orang-orang yang ada di luar garis. Tidak ada kaitannya dengan peristiwa itu.

Pertarungan politik. Dua orang berlaga dan salah seorang di antara mereka kebetulan didukung oleh orang yang tidak kami sukai. Yang menjadi lawannya, tidak kami kenal. Ya, sejauh itu posisi kami dari peristiwa. Tetapi kami lantas bersorak kegirangan ketika yang kalah dalam pertarungan itu adalah yang didukung oleh orang yang tidak kami sukai. 

Kami bersukacita bukan karena kami kenal dengan sang pemenang, tetapi karena kami membayangkan bahwa orang yang tidak kami sukai akan bersedih atas kekalahan politisi yang dia dukung. Sepanjang waktu kami mengenang peristiwa itu dengan bahagia. Terus mau bilang bahwa kami aneh? Please, Dude! Jan kau tipu saya e. Kita semua begitu. Atau paling tidak pernah ada di posisi itu; bahagia karena melihat orang lain menderita. 
Bahkan dalam situasi paling dasar dari Maslow’s Hierarchy of Needs, misalnya saya benar-benar tidak aman secara fisik, saya akan tetap bahagia ketika ada yang lebih tidak aman lagi posisinya. Kadang kita sesederhana itu. Untuk bahagia, kita hanya butuh orang lain menderita. Sa miiiinta maap dengan teman-teman saya yang sedang bergelut dengan diskusi serius tentang Maslow dan seluruh hal berkaitan dengan psikologi.

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Ulasan ini barangkali sejauh timur dari barat dengan apa yang sedang kalian gumuli. Tetapi percayalah. Tulisan ini ada benarnya juga, halaaah *pujidiri.

Ketika kemarin Ahok unggul di putaran pertama Pilkada DKI, banyak orang bahagia bukan karena peristiwa keunggulan itu tetapi karena melihat (atau membayangkan) Pepo menderita. Jujurlah. Iya to? Tentu saja itu sah, meski saya sebenarnya sedang berusaha percaya bahwa perilaku itu tidak cukup baik–untuk tidak menyebut tidak dewasa. Tetapi kita sedang ada di level itu, Bro
Di level seumpama seorang penggemar Barcelona begitu menikmati peristiwa kekalahan Manchester United di Liga Inggris hanya karena salah seorang penggemar berat MU adalah pacar dari mantannya.

Mantannya begitu bahagia dengan pacar barunya itu dan dia ingin mantannya itu menderita, lalu menemukan alasan tepat itu melalui kekalahan MU di Liga Inggris padahal dia sendiri adalah penggemar Barcelona yang baru saja menderita kekalahan besar. Ckckck… Luar biasa, aeh… 

Hidup kadang se-kakusbau itu. Barangkali si preman pasar tadi tidak merasa bahagia karena dianggap ada tetapi karena dia melihat wajah-wajah ibu-ibu penjual sayur yang menderita. Penyanyi dangdut koplo tadi juga merasa lebih bahagia karena membayangkan para penontonnya pulang dengan derita menahan gejolak yang tak jadi tumpah. Mau bilang apa?

Toh, hampir setiap hari kita merasa bahagia melihat orang lain menderita. Kalau kau bilang sa karang-karang, co kau liat ke dalam kau pu diri. Lihat dengan jernih. Sebagai penggemar Ahok, yang sesungguhnya kau inginkan itu kemenangan Ahok atau kekalahan Anis? Diakui calon mertua sebagai nona punya pacar, atau nona punya pacar yang terbaik?

Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores

Catatan:
Tulisan ini diolah dari status facebook dua tahun silam. Saya lupa persis situasi di seputar pembuatan status itu. Kadang saya semenyedihkan itu #eh. 

Blogger Ruteng

2 komentar untuk “Untuk Bahagia, Kita Hanya Butuh Orang Lain Menderita”

  1. Saat bertemu calon mertua, bapaknya suka banget ngejailin si calon mempelai prianya dengan pertanyaan yang aneh-aneh wkwk. Biasanya ada di adegan sinetron cielah :DSalam kenal mas rana.

Tanggapan Anda?

Scroll to Top
%d blogger menyukai ini: