lipooz dan mukarakat dan percakapan tentang perantau digital

Lipooz dan MukaRakat dan Percakapan tentang Para Perantau Digital

Lipooz dan MukaRakat sedang jadi percakapan. Setiap video baru mereka di Youtube akan mendapat ribuan viewers hanya dalam hitungan menit. Apakah mereka adalah perantau digital (digital nomad?)


3 April 2019

Satu malam jelang akhir Desember 2018 lalu, Lipooz mampir ke Kedutul. Ya. Lipooz yang itu. Yang 16 Bar The Rap Series-nya di Youtube itu sangat menginspirasi, yang MukaRakat-nya itu jadi idola baru di negeri ini, yang membawa hip-hop ke Ruteng beberapa tahun silam itu.

Di tengah waktu liburannya yang pendek, Lipooz menyempatkan diri berkunjung dan berbuat baik. Ke rumah kami. Iya. Ke gang kedua rumah sakit belok kanan nanti ada plang dokter gigi pas di pertigaan mau ke kuburan umum, begitu biasanya alamat rumah kami dijelaskan. Karena nama jalan adalah sesuatu yang masih asing di kota ini apalagi untuk orang baru.

Tapi Lipooz bukan orang baru di Ruteng. Orang lama. Kan dia anak Ruteng. Yang pernah jatuh cinta pada perempuan berbaju merah di tengah guyuran hujan ketika bersama penjual bawang dia terkaget-kaget dengan hujan yang deras di suatu siang setelah malam sebelumnya dia ikut pesta di Watu. Halaaah. Itu hanya ada di lagu to? Tahu lagu itu kan? Molas Baju Wara. Salah satu komposisi paling kuat (menurut saya) dari sekian banyak lagu tentang Ruteng yang pernah diciptakan.

Kembali soal dia mampir ke rumah. Sebelumnya sempat kontak. Di WA atau facebook kalau saya tidak salah. Saya tunggu. Karena dia pasti tiba dengan selamat. Kalau toh dia kesulitan menemukan alamat rumah, itu karena dia sudah agak lama meninggalkan kota ini dan saya sudah beberapa kali pindah rumah.

Namun Lipooz tidak tersesat, Fernanda. Karena ada Kaka Ited dan Daeng Irman dan Orind Vitroz yang menemani rapper kenamaan itu. Tiga orang ini sudah khatam melintasi jalanan Kedutul sehingga saya pernah menduga bahwa mereka bisa tiba di rumah saya dengan tepat waktu dan arah bahkan jika jalan tutup mata atau jungkir balik atau muka ke belakang. Tentu saja mereka tidak bisa jalan dengan kaki di kepala karena yang seperti itu hanya ada di lagunya Peter Pan yang berjudul Di Atas Normal padahal teman-teman saya ini jarang sekali berada di atas normal. Sesekali. Kalau sedang ingin menangis bersama. Halaaaah.

Ada Zlo Flores juga malam itu. Ikut hadir dengan sumbangan terbaik yang bisa dibawa oleh orang yang hidup di daerah penghasil sopi. Sebotol akua besar sopi. Bingung dengan istilah ini? Sopi di Ruteng itu terbagi dalam beberapa takaran. Botol akua kecil, botol akua besar, dan botol palpi orens. Yang terakhir ini kalau Guru Don yang bawa dari Paurundang. Lebih sedikit dari akua kecil. Hemat sekali Guru Don ini. Zlo bawa yang botol akua besar (in fact, malam itu dia isi di botol sperait plastik).

BACA JUGA
Pencatat Meteran PDAM Tidak Disiplin, Pelanggan Tanggung Akibatnya?

Zlo Flores ini adalah rapper dengan karakter vokal yang kuat sekali. Saya biasa menyebutnya demikian karena tidak terlampau tahu istilah teknis dalam dunia hip hop itu. Saya mengenalnya sejak dia masih SMA dan tetap mengenalnya ketika sekarang dia jadi Guru. Dan tetap sebagai rapper. Anak Rapublic Ruteng Clan .

Baca juga: Lomba Foto Pariwisata NTT 2018, Mengulang Kesalahan?

Dan kami bicara banyak hal. Dari kenangan-kenangan ketika Lipooz masih di Ruteng dan merintis tumbuhnya hip hop di kota ini (bagian ini diisi juga oleh Kaka Ited yang dengan senang hati membongkar aib-aib masa lalu), ke bagaimana Lipooz membangun profil dirinya di Youtube dan panggung hip hop melalui 16 Bar dan MukaRakat, hingga ke (apa yang saya sebut) usaha membangun sentra baru dalam industri musik.

“Selama ini kiblatnya selalu ke pusat, Kae. Kalau bisa kuasai Jakarta atau kita datang dari Jakarta, baru diakui. Dengan media teknologi informasi sekarang ini, pusat bisa ada di mana saja,” cerita Lipooz. Mungkin kalimatnya tidak persis begitu tetapi kira-kira begitulah yang saya ingat. Kalau ingatan saya tidak jernih, hubungkan dengan bagian akua besar tadi. Obrolan tentang “pusat baru di mana saja” itu mengisi bagian terbesar percakapan.

Perantau Digital atau Digital Nomad

Ketika menulis catatan ini, saya sedang ingat soal digital nomad. Pernah dengar soal itu? Di voxpop.id ada artikel menarik tentang itu. Tautannya saya sertakan di bagian akhir catatan ini, tetapi beberapa bagiannya saya kutip saja.

“Digital nomad bisa diartikan sebagai perantau digital. Maksudnya, tipe orang yang memanfaatkan teknologi telekomunikasi ketika bekerja mencari nafkah. Mereka kerap bekerja secara nomaden, semisal dari rumah, kedai kopi, perpustakaan umum, ruang kerja bersama (coworking space), atau bahkan dari tempat rekreasi.”

“Menurut survei IWG, sekitar 70% pekerja profesional di seluruh dunia kini bekerja remote (dari mana saja) setidaknya sehari dalam seminggu. Dan, sekitar 53% dari bagian tersebut bekerja secara remote setidaknya 3-4 hari dalam seminggu.”

Yup. Dua keterangan di atas adalah bagian yang penting untuk kita ketahui tentang perantau digital ini. Lipooz tentu saja adalah bagian dari masyarakat digital nomad di Indonesia karena membangun hidupnya dari kamarnya di Bali. Tetapi lebih dari itu, melalui pilihannya sebagai perantau digital tadi Lipooz mewujudkan cita-citanya yang lain: mengurai pusat industri–agar tidak lagi Jakartasentris atau televisisentris.

Begini. Beberapa tahun lalu (sebagian orang menganggapnya tetap berlaku hingga kini) tampil di Jakarta dan disiarkan stasiun televisi nasional adalah penanda keartisan atau kebesaran seseorang. Sebagai akibatnya, pentas-pentas panggung lokal di daerah baru akan dianggap bergengsi kalau ada artis ibukota-nya. Bahkan jika kemunculannya di televisi sesungguhnya adalah sebuah jalan pembuka semata (mis: tampil di ajang pencarian bakat), masih banyak yang merasa bahwa mereka lebih artis dari artis. Halaaah.

BACA JUGA
Jogja yang Murah dan Sudut-Sudut Kota yang Merindukanmu

Tanpa bermaksud mengecilkan para jawara yang berasal dari NTT di panggung pencarian bakat tadi, rasanya penting untuk diingat bahwa mereka sedang di tahap awal (saja). Perlu ada usaha yang konsisten setelahnya agar keartisan itu layak disandang; perlu juga mereka diingatkan bahwa popularitas via ajang pencarian berbakat tadi harus dijaga melalui penciptaan/karya yang berkualitas. Pada titik inilah pilihan menjadi perantau digital dapat digunakan.

Baca juga: Sejarah Hashtag atau Tagar

Maksud saya, bukan televisi yang menciptakan keterkenalan tetapi karya. Dan karena akses menyiarkan karya menjadi sangat luas saat ini, maka setiap orang wajib memanfaatkannya agar namanya tetap dibicarakan bertahun-tahun setelah mereka menjadi juara di sebuah perlombaan.

Ada yang tahu di mana Kia, Very, Mario Klau, dan beberapa nama lain lagi sekarang? Kita sedang asyik bicara tentang Aldo dan Rambu yang baru saja menang di ajang pencarian berbakat. Ada yang tahu di mana mereka beberapa tahun kemudian?

Jika tidak berani keluar dari pusat yang lama (Jakarta dan televisi) dan bertempur di jalur digital nomad, mereka akan diganti oleh pemenang baru karena televisi akan tetap berjuang mengadakan acara serupa. Acara tersebut, selain sebagai mesin uang, juga sebagai satu-satunya alasan para penonton duduk di depan pesawat televisi mereka lebih lama. Jika tidak, pilihan banyak masyarakat saat ini adalah mengakses Youtube atau media-media daring (untuk berita).

Apakah Lipooz adalah seorang artis sekarang? Tidak. Dia artis sejak dulu. Sejak konsisten melahirkan karya dan memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan platform paling baru. Lipooz pernah ada di friendster, pindah ke facebook, main di soundcloud, ada di reverbnation, ngoceh di twitter, mengelola akun youtube-nya dengan sangat serius, dan entah apa lagi beberapa tahun kemudian. Tidak hanya agar namanya dibicarakan, dia sedang berjuang untuk “mengurai pusat” tadi ke berbagai titik; bahwa pusat bisa ada di mana saja sepanjang kau berkarya.

Menjelaskan Digital Nomad ke Guru Don

Guru Don lahir dua tahun setelah Proklamasi. Maka saya maklum saja ketika saya cerita soal Lipooz adalah salah satu musisi hebat dari Manggarai, dia bilang: “Pernah muncul di tivi?”

Guru Don dan orang-orang segenerasinya tentu saja masih menganggap Jakarta dan televisi dan segala antena parabola-nya adalah standar kehebatan seseorang. Namun jika generasi yang lahir berpuluh-puluh tahun setelah Guru Don masih memperlakukan Jakarta dan televisi dengan cara yang sama, saya agak sulit maklum. Sekali lagi, it’s not a TV, Dude. It’s you who can make us believe that you are someone.

BACA JUGA
Penetrasi Digital pada Generasi Milenial dan Urgensi Pendidikan Kritis

Menciptakan sentra baru seperti yang Lipooz lakukan mungkin terlampau besar. Yang kecil saja dulu. Konsisten berkarya. Menampilkannya ke publik melalui berbagai platform teknologi informasi yang berkembang pesat, tumbuh di sana, belajar dari kritik dan maki-makian yang niscaya menyertainya, dan meletakkan dasar untuk generasi berikutnya.

Beberapa orang Ruteng mulai melakukannya. Di youtube, di blog, di instagram. Apakah akan segera mendapatkan banyak uang? Ah… Begini. Dengan serius menelusuri dan bermain di dunia digital tadi, itu barang akan datang. Barangkali tidak serentak banyak, tetapi konsistensi berkaryamu akan diperhatikan, lalu beberapa tawaran kerja sama akan datang. Uangnya mungkin ada di situ.

Di dunia tulis menulis, “pusat” sesungguhnya telah terurai lama. Kehadiran beberapa website populer di luar Jakarta adalah contohnya. Mojok dan Basabasi itu ada di Jogja. Kemunculan penerbitan indie di berbagai kota adalah contoh lainnya. Mereka dikenal melalui kerja-kerja digital, promo dan jualan di berbagai platform daring.

Apakah itu berarti bahwa kerja kantoran tidak lagi penting? Tergantung bagaimana kita melihat kantor. Selain di daring, kerjaan luring (sebut saja begitu) juga penting. Sebagian besar perantau digital melakukannya. Kerja siang di kantor, kerja malam di cafe. Mereka rajin. Semua orang bisa. Kalau percaya. Kalau tidak percaya ya sudah. Urusan saya apa?

Setelah malam itu, lebih tepat pagi itu, kami tidak tahu apa yang kami bicarakan. Tetapi rasanya beberapa di antara kami meyakini bahwa setiap orang yang mau belajar pasti akan baik-baik saja di hari-hari selanjutnya. Saya dan Daeng kemudian bergabung di Yayasan Klub Buku Petra yang sedang mengembangkan website literasi: Bacapetra.co. Akankah ini jadi pusat baru? Perlu kerja yang rajin untuk dapat mewujudkannya tetapi sudah dimulai.

Ketika melihat Lipooz dan MukaRakat tampil di banyak panggung di banyak kota, saya semakin yakin bahwa digital nomad adalah salah satu pilihan terbaik setelah fotokopian ijazah kita yang sudah dilegalisir telah habis dititipkan di tempat-tempat yang membuka lowongan kerja.

Saya tidak ingat persis jam berapa obrolan kami berakhir. Sopi dari Coal sisa sedikit. Zlo berjanji akan membawanya lagi ke Kedutul. Tapi lebih sering, titipan itu habis di Watu, markas kami yang lainnya. Sedih sekali.

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Bacaan tentang digital nomad dapat dilihat di: https://voxpop.id/tren-menjadi-perantau-digital-dan-alasannya-kalau-ditanya-macam-macam/

Bagikan ke:

14 Comments

  1. Artikelnya mantap Pak guru,,Mungkin nanti ada tulisan tentang salah satu musisi Manggarai,master blues asal Ruteng(menurut saya)Om Ilo djeer…hehe

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *