Anda kritik karya saya, memangnya karya anda sudah bagus? Itu adalah reaksi paling umum yang kita dengar jika seseorang merasa kritik atas karyanya datang dari orang yang tidak punya karya serupa.
Begini. Jangan heran kalau dunia kritik karya, mulai dari seni (sastra, film, teater, musik, dan lain-lain) sampai politik, tidak berkembang baik di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Kita sudah telanjur memeluk agama pro dan kontra. Menjadi anak-anak yang gemar berkelahi. Melupakan substansi.
Akibatnya? Ketika satu kritik muncul, katakanlah kritik puisi, yang pro langsung pakai itu sebagai bahan sindiran. Menyerang yang dikritik. Habis-habisan. Pakai meme jika perlu. Biar lebih milenial. Yang kontra? Tersinggung berat. Langsung pakai senjata pamungkas: “Receh banget sih. Bisanya cuma kritik. Situ sudah bikin puisi berapa ribu?”
Katakanlah yang mengkritik bernama Umar Bakrie. Dia kaget sekali bahwa orang-orang tak lagi membicarakan substansi kritiknya tetapi lebih asyik saling serang. “Kenapa jadi begini?” Tanya Pak Umar di atas sepedanya. “Berkelahi, Pak!” Jawab murid seperti jagoan. Bapak Umar Bakrie kaget bukan kepalang. Itu sepeda butut dikebut kalang kabut, cepat pulang. Standing dan terbang.
Setibanya di rumah, Pak Umar coba menulis puisi agar nantinya ‘dianggap layak’ membedah puisi orang. Tak berhasil. Karena sesungguhnya, ilmu yang dia pelajari adalah tentang kritik sastra dan bukan tentang cara mudah menulis puisi a la Narudin. Pak Umar memutuskan berhenti menulis kritik. Dan dunia kritik menjadi sepi, dunia puisi jalan di tempaaaat grak!
Akibat selanjutnya adalah seumpama apa yang telah dipotres Pamusuk Eneste berpuluh-puluh tahun silam. Di majalah Budadja Djaja edisi 60 tahun keenam, Mei 1973, Pamusuk menulis: Ada pula gejala yang kini terlihat dalam dunia kesusastraan Indonesia, bahwa banyak pengarang-pengarang kita yang bergantian saling menyoroti karya sesama pengarang, bak yang sifatnya cuma pemujaan dan pemujian maupun yang bersifat “kritik sastra”.
Ya, karena itu tadi. Kita lebih cenderung percaya kalau kritik harus datang dari seseorang yang berpengalaman menghasilkan sesuatu seperti objek yang dikritikannya, dan sangat bagus.
Sesungguhnya yang begitu juga baik-baik saja. Tetapi dampak berikutnya adalah sebagaimana pandangan Ajip Rosidi dalam artikel Pamusuk Eneste itu: Penyair-penyair muda kita banyak yang kemudian menjadi ‘kritikus’ menghakimi karya temannya penyair yang lain. Saling menghakimi.
Adooo, Tuan Deo e. Kita berkelahi lagi. Pak Umar kaget lagi. Standing dan terbang lagi. Nasiiip, nasip. Maavkan kami, Pak Umar.
Baca juga: Jeff Goins: Penulis Tak Boleh Puas dengan Karyanya
Tidak hanya di urusan seni. Pola yang sama ada di seluruh sendi kehidupan di negeri ini. Di kampus, di dusun-dusun, di senayan, di sana dan di sini. Urusan kritik-mengkritik ini berujung pada: “Emang kalo situ jadi saya, situ bisa?” Yaelaaah, Kakaaaak. Kalau untuk mengkritik Presiden Amerika kita harus (pernah) jadi Presiden Amerika juga, kapan tempo? Jadi Presiden Indonesia saja susahnya minta ampun. Tidak percaya? Berarti Anda tidak lihat pengalaman beberapa tahun terakhir.
Jadi ya, begitu. Perdebatan-perdebatan kita di segala lini menjadi tidak substansial. Kritik karya yang kita coba sampaikan juga demikian. Termasuk di urusan pemilihan presiden dan wakil presiden. Pemeluk agama pro dan kontra terjun bebas dalam “perkelahian”.
Kalau paslon nomor satu dikritik, pendukung paslon nomor dua menari-nari, dan pendukung paslon nomor satu mencari-cari. Yang dicari adalah bahan serangan balik. Alih-alih memperbaiki diri, tema baru dimunculkan. Begitu sebaliknya, dan berlaku seterusnya. Bagaimana ini, Pak Umar?
Rasanya, atas dasar itulah, kelompok-kelompok intelektual yang diharapkan hadir dengan wacana kritis menjadi malas berpikir. Ada yang malah memilih menikmati sorotan kamera: para ‘intelektual’ social climber, yang sadar bahwa pernyataan kontroversi nirsubstansi akan membuat mereka lebih terkenal. Daripada lelah-lelah membaca segala macam teori dan melakukan riset untuk sebuah kajian kritis, bukankah kita bisa belajar dari meme?
Demikianlah basis kritik kita adalah meme. Membalasnya dengan meme pula. Lalu menjadi lupa, apa seharusnya yang harus diperbaiki? Gelombang lain yang pasti muncul adalah kebencian yang mengalir deras kepada kritikus yang keukeuh mendasarkan narasinya pada metode-metode yang kuat.
Baca juga: Belajar Menulis pada William Forrester
Pamusuk Eneste menulis: Alangkah tidak lucunya jika seseorang membenci seorang kritikus, hanya karena karyanya dikritik. Sebab, yang paling penting bukanlah orangnya, tetapi sampai sejauh mana kritik sastra yang ditulis itu bisa kita terima.
Ya, memang tidak lucu. Justru menyedihkan. Apalagi kalau kebencian itu terjadi karena kita sudah punya junjungan masing-masing. Atau karena kita grasa-grusu. Memangnya kita atau junjungan kita itu sudah jadi benar sejak lahir? Aneh-aneh saja. Berharap bisa tampil semakin baik, tetapi justru berjuang memaksimalkan potensi antikritik.
By the way, siapa pun yang berniat mengkritik tulisan ini, saya cuma mau tanya: Anda kritik karya saya, karya Anda sudah bagus? Halaaaah.
–
6 Januari 2019
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
Sepakat. Daripada sibuk berdebat (hanya karena tersinggung), bukankah sebaiknya setiap kritik dipakai untuk berbenah/membenah diri? Terima kasih sudah mampir.
Satu lagi, jangan cepat baper kalau dikritik. Mantap Om Armin.
Dan ini penting sekali. Yang mudah baper itu bikin kritikus jadi malas bekerja.
Penutupnya ngeri sekali ini Kk Armin🤣 mau kritik takut dibilang “Kritikus Pasar” sama Bob Itok🤣
Hahaha… terima kasih sudah mampir 😀
Sama2 Kaka Armin… selalu ditunggu tulisan-tulisannya.
Siap. Heheheh …
Menyikapi kritik itu masalah kedewasaan. Mungkin anak-anak perlu dibiasakan menerima dan memberikan kritik dari kecil di sekolah.
Setuju! Tanpa pembiasaan seperti itu, suatu saat negeri ini mungkin akan penuh dengan orang-orang dengan mekanisme pertahanan diri yang tinggi hihihi
Tapi sesunguhnya kritik dan komentar itu hak semua orang. Sebagai seorang 'pencipta' kita tidak bisa mencegahnya, tapi kita bisa memfilter mana kritik yang membangun, mana kritik yang bernada cibiran. keduanya, baik positif maupun negatif bisa kita jadikan sebagai input dan motivasi untuk mencipta karya yang lebih baik lagi. Salam…
Sepakat! Terima kasih sudah mampir. Tabe.
Keren tulisaannya Kae. Perdebatan memang perlu u/ menambah wawasan dengan informasi baru dari lawan debat/kritikus. Tetapi kritik/debat tanpa informasi baru yg menambah wawasan sama saja dengan buang2 waktu