Sail Komodo - Ora the Living Legend

Ora The Living Legend di Sail Komodo 2013

Labuan Bajo adalah kota yang ramai pada bulan September tahun ini. Ada perhelatan besar berskala internasional bernama Sail Komodo. Kami terlibat di panggung puncak, mementaskan sebuah opera berjudul “Ora The Living Legend”.

Sebagai bukan siapa-siapa, sebuah komunitas yang belum punya nama meski sering berkumpul, ada banyak yang terheran-heran bagaimana kami dapat terlibat di pentas puncak tersebut. Untungnya jadi seniman suka-suka barangkali di sana: mendapat tawaran tak terduga. Kami main dengan bahagia.

Sail Komodo 2013 berlangsung meriah. Pada iven akbar tersebut, bersama para seniman muda dari Ruteng – Flores, saya berkesempatan tampil di panggung puncak, mempersembahkan sebuah pentasan teater berjudul Ora The Living Legend. Naskah opera ini ditulis oleh Ivan Nestormansaya menjadi menjadi penata lakon.

Sebuah Reportase

Ratusan penari Songke Manggarai binaan Depdikbud Manggarai Barat lengkap dengan parade dari Jember Fashion Carnaval beranjak dari panggung utama. Para pengusung gunung dari kelompok Opera Ora The Living Legend perlahan bergerak ke tengah panggung, ke posisi yang sudah ditandai sebelumnya; beberapa centimeter dari pasir Pantai Pede. Terdengar intro lagu Ngkiong berkumandang megah dan rerumputan berlarian ke tengah panggung dengan ceria, pohon dan bebatuan mengikuti, mengambil posisi.
Di saat bersamaan, dari sisi kiri seorang lelaki tua muncul perlahan dan mulai bernyanyi. Namanya Sian Warut, berperan sebagai pencerita, bernama tokoh Ema Tua. Dari sisi yang lain, enam penari cantik melenggok ayu dan indah. Mereka adalah Febry ‘Djiboel’ Djenadut, Eltin Damon, Rini Wolos, Okta, Lia More dan Fari Sareng.
Cerita dimulai ketika lagu Ngkiong selesai. Penari berlari-larian seperti ketakutan. Sebagian telah sampai di luar panggung. Pencerita bergegas mengejar dua gadis tersisa dan bertanya apa sebenarnya yang mereka takuti. Oh oh oh… mereka takut Komodo. Si Ema Tua lalu menjelaskan kepada mereka kisah Komodo, yang oleh penduduk lokal dipanggil sebagai Ora. Ya, legenda Komodo muncul dalam bentuk Opera pada perayaan puncak Sail Komodo 2013 di Pantai Pede, Labuan Bajo, Manggarai Barat.
Cerita mengalir dengan baik, ditingkah musik dan tari-tarian. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono menikmati sajian itu dari jarak sepuluh meter di hadapan.

Dikisahkan, di Pulau Komodo pada zaman dahulu kala hiduplah seorang perempuan cantik bernama Epa (Celestin Hadi) bersama suaminya yang bernama Wake (Nandez Sampur). Pasangan ini baru saja dikaruniai keturunan yang mereka beri nama Gerong dan Ora.

BACA JUGA
Hidup adalah Sebuah Jalan Salib, Tapi Tak Perlu Takut!

Baca juga: Yubileum, Presiden SBY, dan Celana Goni

Gerong adalah bayi manusia, sedangkan Ora menyerupai kadal. Wake tidak mau malu, memiliki anak yang tidak berwujud manusia. Diusulkannya kepada sang istri untuk ‘memindahkan’ anak mereka Ora ke hutan: alam yang cocok bagi anak itu. Mereka berdebat.

Epa menolak usulan itu pada kesempatan pertama dengan alasan Ora, seperti juga Gerong adalah pemberian yang kuasa. Wake kukuh dengan pendiriannya. Katanya, “Tapi alam yang cocok buat Ora adalah di hutan sana, bukan di kampung Najo kita atau di rumah kita ini!” Epa tak berdaya. Mereka berempat Wake, Epa bersama Gerong dan Ora dalam gendongannya menuju bukit bergua di belakang panggung.

Para penari yang kali ini bertugas sebagai dayang-dayang kembali memasuki panggung, dengan koreografi yang manis. Tiga tua adat (Reynold Juniard, Deddy Sardin dan saya) menabuh gendang mengiringi langkah mereka menuju bukit sambil bernyanyi dan melangkah dalam formasi ‘Sanda’.

Adegan berpusat di depan gua itu kini. Epa menyerahkan Ora kepada Wake, Gerong tetap dalam dekapannya. Di belakang Epa, para dayang duduk tertunduk. Wake menerima Ora, di belakangnya, tiga tetua adat duduk ‘berselengka’. Upacara itupun terjadilah. Ora dilepas ke dalam gua dengan pesan, “Oraaaa… jangan kau lupakan kami orangtuamu dan Gerong saudaramu.” Semua terharu. Siapa pun pasti tahu, tak seorang pun mau melepaskan darah dagingnya sendiri ke alam liar. Mereka meninggalkan gua itu membiarkan Ora menentukan nasibnya sendiri, siapa yang tak bersedih?
Musik berganti. Narasi terdengar. Waktu beralih ke bertahun-tahun kemudian sampai saat Gerong beranjak dewasa. Dia berburu bersama tiga orang kawannya. Gerong diperankan dengan sangat baik oleh Erick ‘Ujack’ Demang, pun tiga temannya bermain sama baiknya (Adeng Crova, Eji Sareng dan Ando Fernandez). Mereka bergerak ke tengah panggung lengkap dengan atribut mempersembahkan caci dance yang memukau dan pongah. Mereka mau berburu rusa untuk makanan mereka siang itu.

Sedang asyik menari, musik berganti irama. Dari arah gua, muncul Ora yang kini dewasa (Fendy ‘Pendok’ Agun) bersama tiga sahabatnya (Doddy Mundoza, Celly Jehatu dan Ferdy “Mojak). Mereka melangkah angkuh. “Ini adalah wilayah kekuasaanku. Tak seorang manusiapun boleh mengambil makanan di sini!” Kata Ora dengan suara menggelegar.

BACA JUGA
FF100K Karina - Kala

Gerong dan kawan-kawan melompat mundur. Tetapi tak lama. Mereka maju lagi ketika Si Ora tak berhenti bicara dan mengaku-aku wilayah itu sebagai tanahnya. Gerong tersinggung.

Menurutnya tempat itu juga adalah tanahnya. Mereka berdebat dan lalu berkelahi. Tarian caci Manggarai dipertontonkan. Gerong memegang larik, menari sebentar lalu melecuti Ora yang sudah siap dengan nggiling dan agang. Selesai. Giliran Ora kini. Dia mengambil larik itu, meloncat tinggi hendak memukul (paki) si Gerong. Menegangkan!

Saat itulah dari arah belakang berlari si Wake diikuti Epa istrinya. Wake berteriak kencang kepada dua anaknya itu. “Berhenti! Berhenti! Apa yang kalian lakukan di sini. Tak tahukah kalian… tak tahukah kalian….”; disambung istrinya, “Ata daper meu cua!” “Kalian ini kembar,” kata Wake lagi menegaskan. Ora tak sudi. Si Gerong pun menolak disebut bersaudara dengan bukan manusia.
Tetapi seorang Ibu selalu tahu menghadapi anak-anaknya yang nakal. “Sebelum melepaskan Ora ke dalam gua, ayahmu mengikatkan sebuah tali,” jelas Epa. Wake lalu meminta Gerong memeriksa kuku tangan kanan Ora. Tali itu ada di sana. Sadarlah keduanya bahwa benar, mereka bersaudara. Semua menarik napas lega. Ya, para penonton dan terutama para pemain. Presiden dan Ibu Negara serta undangan lain bertepuk tangan meriah. Pentasan selesai, ditandai dengan masuknya penari dan pencerita serta rombongan tetua adat dengan langkah ‘Sanda’.

“Kisah ini mau mengajarkan kepada kita agar hidup berdampingan dengan alam sebagai sesama makhluk hidup,” kata Ema Tua di bagian akhir cerita. Ora tak lupa mengucapkan selamat datang kepada Presiden dan Ibu serta seluruh rombongan atas nama kawan-kawannya di Komodo. Semua bertepuk tangan sepertinya. Kami tak mendengar.

BACA JUGA
Ketika Badai Berlalu

Baca juga: Jejak Langkah di Atas Pasir

Seluruh pemain Opera Ora The Living Legend bergerak ke tenda artis ketika ratusan penari Flobamora dari Kupang mengambil alih panggung utama. Kami berpeluk-pelukan, bersalam-salaman dan bertangis-tangisan.

Pentasan itu akhirnya selesai juga. Sebuah pekerjaan besar menampilkan legenda Komodo kepada ribuan undangan yang hadir dan berjuta-juta pemirsa TVRI. Hari itu 14 September 2013. Kami semua bersyukur dan pulang. Betapa menyenangkan mengambil bagian penting pada puncak Sail Komodo 2013.

Terima kasih kepada seluruh pemain, terutama rerumputan, pohon, pengusung gunung dan batu dari SMK St. Petrus Ruteng, SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng dan Seminari Ignatius Loyola Labuan Bajo. Kita semua keren eeee. Semoga bisa tetap berkumpul di satu komunitas teater. Kita kasi nama apa ini kelompok? Btw, senang to, bisa ketemu seniman-seniman hebat dari Jakarta. Foto dengan Gilang Ramadhan juga baguuuus hehehehe.

Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores

OPERA: ORA, THE LIVING LEGEND

Naskah: Ivan Nestorman; Musik dan Lagu: Ivan Nestorman bersama Ivan Nestorman Tropical Orchestra dan NTT Tropical Choir; Properti: Timo Not, Sian Warut, Doddy Mundoza, SMK St. Petrus, Sanggar Lawe Lenggong Ruteng; Sutradara: Armin Bell. Betapa menyenangkan ikut hadir dalam Opera Ora The Living Legend di Sail Komodo 2013.

  1. Sanda: salah satu format nyanyian dan tarian asli Manggarai; 
  2. Larik: Tali pecut, cemeti dalam tarian Caci Manggarai; 
  3. Nggiling: Perisai terbuat dari kulit kerbau berbentuk lingkaran, dipakai sebagai perisai
  4. Agang: Sebagian wilayah menyebutnya koret, terbuat dari bambu juga sebagai bagian dari senjata pertahanan pada Caci, berbentuk melengkung; 
  5. Ata daper meu cua: Kalian berdua itu saudara kembar.
  6. Dalam kepercayaan masyarakat Pulau Komodo, manusia dan komodo adalah saudara kembar; Ora dan Gerong (nenek moyang masyarakat setempat). Kisah itu diyakini sampai saat ini dan selama-lamanya. Legenda itu pulalah yang membuat kita tetap bisa melihat rukunnya Komodo dan penduduk asli, termasuk ‘ramahnya’ Komodo pada seluruh masyarakat dunia.
Bagikan ke:

18 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *