Labuan Bajo adalah kota yang ramai pada bulan September tahun ini. Ada perhelatan besar berskala internasional bernama Sail Komodo. Kami terlibat di panggung puncak, mementaskan sebuah opera berjudul “Ora The Living Legend”.
Sebagai bukan siapa-siapa, sebuah komunitas yang belum punya nama meski sering berkumpul, ada banyak yang terheran-heran bagaimana kami dapat terlibat di pentas puncak tersebut. Untungnya jadi seniman suka-suka barangkali di sana: mendapat tawaran tak terduga. Kami main dengan bahagia.
Sebuah Reportase
Dikisahkan, di Pulau Komodo pada zaman dahulu kala hiduplah seorang perempuan cantik bernama Epa (Celestin Hadi) bersama suaminya yang bernama Wake (Nandez Sampur). Pasangan ini baru saja dikaruniai keturunan yang mereka beri nama Gerong dan Ora.
Baca juga: Yubileum, Presiden SBY, dan Celana Goni
Gerong adalah bayi manusia, sedangkan Ora menyerupai kadal. Wake tidak mau malu, memiliki anak yang tidak berwujud manusia. Diusulkannya kepada sang istri untuk ‘memindahkan’ anak mereka Ora ke hutan: alam yang cocok bagi anak itu. Mereka berdebat.
Para penari yang kali ini bertugas sebagai dayang-dayang kembali memasuki panggung, dengan koreografi yang manis. Tiga tua adat (Reynold Juniard, Deddy Sardin dan saya) menabuh gendang mengiringi langkah mereka menuju bukit sambil bernyanyi dan melangkah dalam formasi ‘Sanda’.
Sedang asyik menari, musik berganti irama. Dari arah gua, muncul Ora yang kini dewasa (Fendy ‘Pendok’ Agun) bersama tiga sahabatnya (Doddy Mundoza, Celly Jehatu dan Ferdy “Mojak). Mereka melangkah angkuh. “Ini adalah wilayah kekuasaanku. Tak seorang manusiapun boleh mengambil makanan di sini!” Kata Ora dengan suara menggelegar.
Gerong dan kawan-kawan melompat mundur. Tetapi tak lama. Mereka maju lagi ketika Si Ora tak berhenti bicara dan mengaku-aku wilayah itu sebagai tanahnya. Gerong tersinggung.
Menurutnya tempat itu juga adalah tanahnya. Mereka berdebat dan lalu berkelahi. Tarian caci Manggarai dipertontonkan. Gerong memegang larik, menari sebentar lalu melecuti Ora yang sudah siap dengan nggiling dan agang. Selesai. Giliran Ora kini. Dia mengambil larik itu, meloncat tinggi hendak memukul (paki) si Gerong. Menegangkan!
“Kisah ini mau mengajarkan kepada kita agar hidup berdampingan dengan alam sebagai sesama makhluk hidup,” kata Ema Tua di bagian akhir cerita. Ora tak lupa mengucapkan selamat datang kepada Presiden dan Ibu serta seluruh rombongan atas nama kawan-kawannya di Komodo. Semua bertepuk tangan sepertinya. Kami tak mendengar.
Baca juga: Jejak Langkah di Atas Pasir
Seluruh pemain Opera Ora The Living Legend bergerak ke tenda artis ketika ratusan penari Flobamora dari Kupang mengambil alih panggung utama. Kami berpeluk-pelukan, bersalam-salaman dan bertangis-tangisan.
Pentasan itu akhirnya selesai juga. Sebuah pekerjaan besar menampilkan legenda Komodo kepada ribuan undangan yang hadir dan berjuta-juta pemirsa TVRI. Hari itu 14 September 2013. Kami semua bersyukur dan pulang. Betapa menyenangkan mengambil bagian penting pada puncak Sail Komodo 2013.
Terima kasih kepada seluruh pemain, terutama rerumputan, pohon, pengusung gunung dan batu dari SMK St. Petrus Ruteng, SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng dan Seminari Ignatius Loyola Labuan Bajo. Kita semua keren eeee. Semoga bisa tetap berkumpul di satu komunitas teater. Kita kasi nama apa ini kelompok? Btw, senang to, bisa ketemu seniman-seniman hebat dari Jakarta. Foto dengan Gilang Ramadhan juga baguuuus hehehehe.
OPERA: ORA, THE LIVING LEGEND
Naskah: Ivan Nestorman; Musik dan Lagu: Ivan Nestorman bersama Ivan Nestorman Tropical Orchestra dan NTT Tropical Choir; Properti: Timo Not, Sian Warut, Doddy Mundoza, SMK St. Petrus, Sanggar Lawe Lenggong Ruteng; Sutradara: Armin Bell. Betapa menyenangkan ikut hadir dalam Opera Ora The Living Legend di Sail Komodo 2013.
- Sanda: salah satu format nyanyian dan tarian asli Manggarai;Â
- Larik: Tali pecut, cemeti dalam tarian Caci Manggarai;Â
- Nggiling: Perisai terbuat dari kulit kerbau berbentuk lingkaran, dipakai sebagai perisai
- Agang: Sebagian wilayah menyebutnya koret, terbuat dari bambu juga sebagai bagian dari senjata pertahanan pada Caci, berbentuk melengkung;Â
- Ata daper meu cua: Kalian berdua itu saudara kembar.
- Dalam kepercayaan masyarakat Pulau Komodo, manusia dan komodo adalah saudara kembar; Ora dan Gerong (nenek moyang masyarakat setempat). Kisah itu diyakini sampai saat ini dan selama-lamanya. Legenda itu pulalah yang membuat kita tetap bisa melihat rukunnya Komodo dan penduduk asli, termasuk ‘ramahnya’ Komodo pada seluruh masyarakat dunia.
Terlalu mantappppp ew….kereeen
Terlalu mantapppp ewwww kereennnn abissss
good…better…best…..suka yang mana pa kela arminbell…hehe..
Daftar ikut kae
Flores, I want to go there soon…
Flores menanti 😀
September 2013 dan Agustus menjelang September tahun 2019 ini, Ora kembali bikin rame. Namun suasananya berbeda.
Semoga Ora dan Gerong tidak dipisah!
Terima kasih 🙂
Terima kasih buat apresiasinya. Salam 🙂
Yang good saja hahahaha
pa guru… saya mau ikut eee….. :-(Kenapa tahunnya salah ka..?
pa, dimana e bisa dapat video pemenetasan? sa tir nonton pas acara. lagi kuliah
Nanti ikut Sail Raja Ampat tahun depan, atur memang jadwal, siapa tau saya dapat kerjaan lagi hahahahaha
Oleee, saya juga belum dapat videonya e. Katanya sih EO-nya mau bagi, tapi belom dapat sampe sekarang
sering dengar komodo tapi tidak pernah melihat secara langsung
🙂 Ayo main ke Flores 🙂
Siap-siap saja hahahaha