Saya pernah menikmati sebuah perjalanan yang menyenangkan. Saya baru menyadarinya ketika mengutak-atik, mengubek-ubek, mengobrak-abrik file lama.
Tulisan ini berutang pada notepad (*.txt) yang berhasil bertahan dari segala serangan virus sehingga meski berganti laptop, catatan lama ini tetap ada. Catatan ini datang dari tahun 2011 (beberapa bagian telah disunting agar tetap relevan; kita selalu ingin relevan bahkan meski tidak fit in, to?).
Btw, dalam draf di notepad itu, tulisan ini berjudul “Menembus Waktu, Sebuah Catatan Perjalanan”. Ckckck… Judul yang begitu ah syudhahlaah…. Kota Ruteng Dalam Koper kemudian jadi judul barunya kini agar bernuansa sama dengan catatan Ucique Jehaun yang berjudul “Travelling Light dan Kekasih Dalam Ransel”.
Ketika kalian membaca ini sekarang, Bandara Komodo dan Bandara Ngurah Rai sudah berwajah lain sama sekali. Setahun setelah perjalanan yang saya ceritakan ini, Bandara Komodo mulai direnovasi. Bandara Ngurah Rai justru sedang mulai ditata ketika kami singgah sejenak di sana.
—
Kota Ruteng Dalam Koper, Catatan Perjalanan Dibuang Sayang
2011
Labuan Bajo
Kami memulai perjalanan ketika Timnas Senior Indonesia kalah atas Qatar di laga Pra Kualifikasi Piala Dunia. Ya. Tim Garuda kalah dan di Labuan Bajo, di layar televisi, kami menyaksikan betapa tak berdayanya Firman Utina digempur anak-anak Timur Tengah. Dini hari, 12 November 2011. Kami semua kecewa.
Indonesia kalah saat kami sedang berjuang mengusir lelah setelah beberapa jam lamanya menempuh perjalanan panjang dengan mobil rocky tahun lama dan terguncang -guncang menembus malam di jalan yang tak mulus dari Ruteng menuju Labuan Bajo. Saya, dua orang Pastor, Bertin sang driver dan James (yang bertugas menemani driver pulang ke Ruteng saat kami yang lain melanjutkan perjalanan ke Jakarta). Ini perjalanan spiritual. Saya sebut begitu. Kota Ruteng kami bawa dalam koper.
Kota Ruteng tetap ada dalam koper ketika kami susah tidur karena lelah dan kecewa. Selain insomnia, pada beberapa orang, rasa kecewa bisa menghabiskan banyak waktu sebelum lelap dengan perasaan yang aneh. Sungguh bukan pengalaman yang manis untuk dikenang. Tak ada mimpi sampai saya bangun. Rumah tempat kami menginap terasa panas. Beberapa saat kemudian saya tahu, bukan rumah itu yang panas. Labuan Bajo, kota di ujung barat Pulau Flores, tempat kami singgah sejenak sebelum berangkat ke Jakarta itu memang panas. Kami datang dari Ruteng, kota yang dinginnya memuncak justru pada saat kau harus bangun.
Sudah tanggal 12 November pagi. Kenangan akan kekalahan Timnas masih segar, tetapi kami sudah boleh sedikit tersenyum. Running text di layar televisi menampilkan cerita tentang Komodo yang lolos (sementara) ke New7Wonders dan berada peringkat kelima. Lumayan, pikir saya sembari menikmati sarapan pagi di kamar makan berukuran jumbo di Patres (tempat para Pastor tinggal) Seminari Menengah Yohanes Paulus II Labuan Bajo.
Menu pagi itu: ikan kering digoreng, daun singkong ditumis, dan nasi putih terhidang di meja dari manakah datangnya… dari sawah dan ladang di sana… Eh, malah nyanyi.
Check-in di Bandara Komodo berlangsung lancar, dapat seat bagus, tetapi saya terheran-heran. Kenapa bandara ini sepi ya dari publikasi tentang Komodo?
Sudahlah .…
Tak banyak berpengaruh. Toh, saya sudah mendukung dengan 50 sms per hari selama ini. Tetapi di hati kecil tetap saja ada protes. Gila! Tak ada satu flyer pun tentang Komodo di bandara ini. Poster? Apalagi! Apa itu poster?
Hmmm …. Mungkin memang yang di Labuan Bajo tidak terlampau berminat memenangkan Komodo di ajang New7Wonders of Nature itu. Kadang begitu. Biarkan orang lain berjuang dan hasilnya kita nikmati bersama. Kehidupan di sekitarmu bisa seabsurd itu.
Bandara Komodo menampilkan cerita lain hari itu. Ratusan orang menangisi perginya seorang misionaris kembali ke negeri asalnya. Suster Virgulla, SSpS. Tokoh penting di dunia kesehatan orang-orang Nuca Lale ini memutuskan pensiun dari karya kemanusiaannya di Cancar dan Binongko karena masalah kesehatan. Dia pergi meninggalkan panti asuhan di Binongko, Labuan Bajo. Beberapa tahun setelahnya, cerita mulia tentang pendampingannya pada orang kusta di wilayah Manggarai Raya dibukukan.
Saya mencari-cari di antara ratusan rombongan pengantar yang sahaja, tak terlihat orang-orang pemerintahan ikut mengantar. Mungkin sedang sibuk.
Pesawat yang membawa Suster Virgulla, SSpS lepas landas diiring isak tangis dan lambaian tangan tak percaya dari orang-orang yang mencintainya. Saya ikut melambai, juga menahan tangis. Jam sembilan lebih tiga puluh menit, giliran kami yang harus siap terbang.
Bali
Satu jam setelahnya, Bandara Ngurah Rai, Bali menyambut kami. Telah terbayangkan panasnya. Suhu di bandara dilaporkan mencapai tiga puluh derajat celcius. Saya dengar informasi itu dari pramugari Aviastar, pesawat yang membawa kami dari bumi Komodo.
Bayang-bayang kegerahan menjadi nyata saat kami keluar dari ruang klaim bagasi bandara besar itu. 12 November 2011, kesibukan biasa terlihat di pelataran bandara. Beberapa pemuda dengan pakaian adat Bali mengacungkan kertas putih bertuliskan nama-nama orang yang harus dijemput. Tak ada nama saya di kertas itu, juga nama dua pastor teman seperjalanan.
Di belakang para penjemput itu, spanduk-spanduk selamat datang berjejer-jejer. Juga bukan untuk kami yang datang dari Ruteng. Kami orang biasa dan spanduk hanya dipasang untuk orang luar biasa.
Akan ada pertemuan penting para pemimpin negara-negara sahabat di sana. Di Bali. Spanduk-spanduk ucapan selamat datang itu untuk mereka. Tampak baliho besar berisi foto SBY dan Ibu Ani dengan tangan terkatup di dada, dan tulisan besar selamat datang dalam dua bahasa, Inggris dan Indonesia. Di baliho itu, Ibu Ani mengenakan pakaian dengan motif Songke Manggarai. Saya bangga.
Meski kami memang tak dijemput siapa-siapa, Ibu Ani memakai Songke Manggarai rasanya sudah lebih dari cukup.
Bali bukan tujuan. Hanya tempat singgah sementara. Pesawat yang nanti membawa kami ke Jakarta belum akan berangkat, waktunya menitipkan tas di tempat penitipan barang dan bergegas menikmati situasi terminal.
Tujuan pertama adalah mencari kopi karena kami dari Manggarai dan kopi telah lama menjadi nama tengah kami semua. Maka dengan merogoh kocek lebih banyak dari biasanya–di bandara harga apa saja selalu lebih mahal–kami menikmati kopi, bercerita tentang Bali yang panas dan Ruteng yang sejuk.
Tetapi kota Ruteng sedang ada dalam koper. Yang ada sekarang hanyalah bule-bule berpenampilan aduhai dengan kacamata hitam yang semoga semurah yang saya pakai–harapan yang mungkin sia-sia. Bali itu menyenangkan tetapi panas dan mahal. Saya memikirkan itu setelah uang 50 ribu hanya kembali 5000 untuk kopi yang saya minum.
Masih jam 12 siang. Ke toilet terdekat untuk keperluan biasa lalu tersadar, ada yang beda. Tadi, toilet di Bandara Komodo tak sebersih toilet di sini. Mengapa, oh, mengapa… aku tak berrrdayaaa… andaikan mungkin…. Eh, itu lagu siapa?
Perjalanan kami lanjutkan ke terminal luar negeri. Sesuai rencana, kami makan siang di sana. Terminal itu luas sekali, tetapi berjalan rapi. Tak ada kesibukan berlebih, sesuatu yang jelas berbeda dengan pemandangan di terminal dalam negeri. Pilihan makan siang jatuh pada lalapan ayam. Kali ini uang seratus ribu hanya kembali empat ribu rupiah. Saat itulah saya mendapat satu lagi pelajaran penting dalam hidup: Jangan makan siang di bandara kalau tidak siap terkaget-kaget.
Kami habiskan waktu di terminal luar negeri, berpura-pura sebagai calon penumpang ke Canberra. Ketika pengeras suara menyebut nomor penerbangan dan tujuan Canberra akan segera diberangkatkan, kami bergegas meninggalkan kios makan, begerak, kembali ke tempat asal, terminal domestik.
Sudah jam tiga sore, Waktunya check in. Pesawat ke Jakarta akan berangkat dalam satu jam ke depan. Itu kata mereka. Tetapi pesawat kami adalah Lion Air yang sedang senang-senangnya delay. Kami sudah di ruang tunggu dan penjemput di Jakarta sudah bergerak ke Soekarno Hatta ketika pengumuman terdengar: Dear passanger… bla bla bla… etc, etc, yang berarti pesawat kami mengalami penundaan satu setengah jam.
Ho ho ho… Lion Air yang terkasih. Berapa kalikah dalam sehari sebuah penerbangan boleh tunda berangkat? Tertahan di ruang tunggu berjam-jam, di tengah gerutu calon penumpang lain yang terburu jadwal meeting de-es-be; apakah lagi yang lebih berat hari ini selain kau sangat ingin tidur tetapi seseorang di sampingmu mengomel tiada henti?
Beruntung bandara ini menyiapkan komputer dengan akses internet gratis yang untuk boleh memakainya harus berebutan dengan ratusan orang lain. Saya memenangkan perebutan karena terlihat bengis dengan kacamata hitam yang tak pernah saya lepas. Mata saya sedang bintitan, saudara dan saudari sekalian.
Maskapai Lion Air kami yang bagai kekasih yang selalu menunda waktu pernikahan ini menyiapkan semacam hiburan pengganti delay berupa makanan dalam kotak yang tak menarik minat. Di saat yang sama, penumpang Garuda yang juga terjebak delay beberapa menit saja mendapat fasilitas mewah menunggu di City Link Lounge. Oh, dunia kelas yang abadi.
Jakarta
Pesawat kami akhirnya berangkat juga. Jam setengah enam sore. Tiba di Soekarno Hatta satu setengah jam kemudian. Tetapi masih jam enam sore di ibukota negara itu. Saya merasa menjadi jagoan karena berhasil mengalahkan waktu satu jam.
Penjemput sudah lama menanti bahkan sempat berpikir untuk tidak menunggu. Kami lupa memberi kabar bahwa merpati ekor merah kami terlambat terbang. Beruntung dia mencooooba bertahan menghadapi dirimu walau kadang kala tak seiring jalan, halaaah… malah nyanyi. Ada yang bisa tebak ini lagu siapa?
Jakarta oh Jakarta.
Menyambutku dengan tak ramah. Macet dan udara yang bikin jengah. Perjalanan dari Bandara ke Biara Vinsensius di Kramat memakan waktu empat jam. Gedung-gedung tinggi menatapku curiga seakan penuh tanya sedang apa di sini? Nah, lagu lagi, bukan?
Dan saya terkagum-kagum. My first time, dan kota ini langsung membuatku kangen Ruteng, kota kami yang damai dan indah dan pelan tapi tak macet. Saya membuka koper saya. Cerita meruak. Tentang anak dan istri yang bermain ceria. Rindu. Jawaban atas pertanyaan kapan pulang adalah: nanti kalau pulang, Bapa bawa oleh-oleh.
Hanya saja kami belum boleh pulang. Perjalanan masih panjang; bukankah ini adalah sebuah perjalanan spiritual? Hari ini kami telah kenyang pengalaman jasmani. Bali itu mahal dan panas dan bule, Jakarta itu macet dan tidak segar dan macet dan entah ke mana orang-orang itu dengan mobil-mobil mereka.
“Malam Minggu biasa gini, Om,” kata penjemput kami.
“Kalau malam-malam lainnya?”
“Begini juga.”
Di udara ada pertanyaan. Bagaimana mungkin Koes Plus berjanji akan kembali ke Jakarta? Memangnya mereka ke mana? Halaaaah….
Kami diserang panas dan macet. Ada dua pilihan. Menahan atau menangkis adalah pilihan pertama. Berkelit, menghindar, lari, kabur adalah pilihan selanjutnya. Tetapi bagaimana berkelit ketika menangkis bukan pilihan terbaik dan serangan ini datang begitu rapi? Kau hanya bisa membuka kopermu. Ada kota Ruteng dalam koper itu. Ruteng yang sejuk dan wajah orang-orang tercinta serentak terbuka. Menyejukkan. Lalu kau sadar, sekarang sedang di Jakarta. Di jalan.
Orang-orang di kota ini menghabiskan waktu sangat lama di jalan, menua di jalan, entah apa lagi yang ada di jalanan Jakarta. Saya sibuk dengan pikiran tentang betapa sibuknya kota ini, betapa banyaknya orang yang setiap hari mengeluh, dan entah berapa banyak manusia yang memakai alasan macet untuk keterlambatan mereka tiba di tempat kerja.
Ah, Jakarta. Saya mungkin akan kembali tetapi tidak harus mengungkapkannya dalam lagu; ke Jakarta aku ‘kan kembalii iiii… Tidak. Tir harus pake lagu karena itu seperti sa rindu sekali untuk datang lagi padahal sa tir serindu itu juga.
Tidur yang Batal
Empat jam dari Bandara menuju tempat penginapan jelas bukan waktu yang sedikit. Lebih panjang dari waktu Labuan Bajo – Denpasar – Jakarta digabung. Tetapi saya harus menikmatinya sembari berusaha ceria. Agar perjalanan tidak tambah melelahkan. Bukankan rasa kecewa dan sedih dan umpatan akan menambah kelelahan berkali-kali lipat?
Perjalanan kami hari itu cukup jauh. Dari Bandara Komodo, Labuan Bajo, ke Bandara Ngurah Rai, Bali, lalu ke Bandara Soekarno Hatta, Banten dan kini menuju Kramat, Jakarta. Panjang, perbedaan waktu, dan cuaca sudah cukuplah menjadi penyebab lelah. Rasanya tak baik menambah jumlah lelah yang sudah cukup itu dengan mengumpat-umpat.
Saya kenyang pengalaman jasmani, belajar menghargai waktu, belajar menghargai uang, dan belajar menghargai persahabatan. Entah apa jadinya jika saya tak bersedia membangun kemampuan menghargai itu semua. Lagi pula hidup itu indah, dan tidur itu nyaman. Rencanaku malam itu sederhana saja. Tiba di penginapan, makan, mandi, lalu tidur. Barangkali sama sederhananya dengan “Cita-Cita” Jokpin yang saya baca bertahun-tahun kemudian: Setelah punya rumah, apa cita-citamu?/ Kecil saja: Ingin sampai rumah/ saat senja supaya saya dan senja sempat/ minum teh bersama di depan jendela ….// Hanya saja kita telah lama tahu bahwa roh itu kuat tetapi daging itu enak. Saya mau juga makan daging panggang. Maka niat yang sudah tertata rapi kemudian luntur begitu saja.
Para sahabat di kota besar ini telah menanti dengan agenda tersusun rapi. Armin, kau sungguh tak bisa tidur lebih awal hari ini. Baru lima menit di penginapan, jemputan datang dan saya terpana memandang mimpi sederhana saya yang terbang begitu saja. Alta la vista, tidur malam nan cepat juga nyaman. Acara panggang-panggang dan minum-minum menanti di Bekasi. Meluncurlah saya, meninggalkan dua teman seperjalananku di penginapan, dan malam itu di rumah seorang teman, semua lelah tiba-tiba hilang lenyap.
Kami sengaja tidak memutar lagu Mabuk dari Bang Haji pada pertemuan itu karena akan mengganggu keceriaan, candaan, dan minuman dengan kadar alkohol yang lebih dari cukup. Ikan dan daging panggang membayar perjalanan panjang hari ini dengan lunas. Maafkan kami yang senang begadang, Bang Haji. Barangkali ini lebih baik dari berdagang. Apalagi berdagang jabatan. Kami tak punya modal. Halaaah…
Saya tiba-tiba menyadari sesuatu. Tentang Jakarta dan pentingnya kemampuan menghibur diri.
Para sahabat yang berkumpul adalah orang-orang sukses di Jakarta yang keras dan mereka harus punya kemampuan menghibur diri jika tak ingin menua dalam tekanan. Berkumpul pada malam Minggu adalah pilihan yang tepat, menjadi lebih meriah ketika harus menyambut tamu dari Ruteng.
Saya pikir saya sudah mulai bersahabat dengan Jakarta melalui sahabat-sahabat saya. Cara mencintai kadang seunik itu. Mencintai? Mencintai Jakarta? Itu lebay. Saya mencintai Ruteng. Karena itulah kota itu saya bawa dalam koper.
“Menjadi orang Jakarta adalah menjadi orang kreatif, tahan banting, tak mudah stres dan tahu bagaimana menghibur diri. Jika tidak, kau hanya menjadi seonggok daging yang senantiasa berkeringat.” Saya tulis itu di buku harian sebagai bagian terakhir dari catatan perjalanan saya kali itu.
Perjalanan selanjutnya terlampau personal untuk dibagi. Saya bertemu diri sendiri di puncak Bogor. Bagaimana membaginya? Rasanya tidak ada cara. Kalau toh ada, mungkin justru akan seram: seorang lelaki bertemu dirinya sendiri dalam sebuah retret. Hmmm… bukan catatan yang baik untuk publik.
—
Salam dari Ruteng
Armin Bell
—
Tulisan ini pertama kali disiarkan di Multiply pada tahun 2011.
❤️