Tulisan ini adalah cerita (yang semoga lengkap) tentang apa yang terjadi di balik prestasi yang diraih atlet-atlet Taekwondo asal Kabupaten Manggarai pada ajang Menpora Cup Taekwondo di Jakarta.
Ruteng, 24 September 2019
Rasanya, tulisan ini akan panjang. Barangkali memang harus begitu karena ada banyak hal yang harus dibicarakan. Lihat saja judulnya: Nuca Lale Taekwondo Club, medali, pemerintah, orang-orang baik, koordinasi. Ada berapa subyek, coba? Lima. Banyak to?
Namun, alih-alih membicarakan setiap subyek itu satu per satu, saya akan menulisnya dalam bentuk campuradukcampurbaur saja dengan tetap menjadikan lima hal itu sebagai benang dan semoga niat ini berhasil tersampaikan secara runtut. Akan ada tiga kali ‘begini’ dan satu kali ‘begitulah ceritanya’ pada tulisan ini dan di setiap jedanya Anda bisa minum kopi dan makan kue.
Begini (yang pertama). Sebagai Ketua Nuca Lale Taekwondo Club (NLTC), saya turut mendapat ucapan selamat dari banyak teman menyusul prestasi luar biasa yang diraih NLTC pada Menpora Cup Taekwondo Championship Purna Prakarya Muda Indonesia (PPMI) 2019 yang digelar tanggal 20 sampai 22 September 2019 di GOR POPKI Cibubur.
Ada 13 atlet dari klub yang bermarkas di Kabupaten Manggarai yang terlibat pada turnamen ini dan pulang membawa 11 medali: 7 emas, 1 perak, 3 perunggu. Mereka juga meraih trofi Tim Favorit. Saya jelas berbangga seperti juga sangat banyak orang yang berbangga karena ada anak-anak Manggarai yang meraih prestasi di tingkat nasional. Di rumah, setiap perkembangan para atlet itu saya ceritakan pada Celestin, istri saya. Dia berulang-ulang menyampaikan selamat. Turut berbangga. Juga begitu senang karena salah seorang atlet asal Manggarai dipercaya memberi pengalungan kepada Ketua Taekwondo Indonesia, sebuah kehormatan besar untuk seorang atlet.
Kemudian, sebagaimana biasanya terjadi, cerita prestasi–selain dibicarakan sebagai pencapaian yang hebat dan mendapat tepuk tangan meriah seperti seharusnya–juga memunculkan kisah-kisah lain; cerita-cerita sebelum prestasi itu berhasil diraih. Hal-hal demikian tentu saja tidak terhindarkan, bukan sesuatu yang salah, dan kadang penting untuk ‘memberi konteks’ pada narasi besar.
Kadang, yang demikian bisa meneguhkan narasi besar, bahwa prestasi yang diraih memang sudah selayaknya diraih. Misalnya seseorang yang menjadi penyanyi hebat akan segera ‘dimaklumi’ prestasinya setelah publik mengetahui beratnya masa latihan dan lamanya proses dia menempa dirinya sendiri untuk dapat menjadi penyanyi yang hebat.
Tetapi juga ada terjadi, kisah-kisah lain yang muncul ‘pasca-prestasi’ justru lebih dominan dipercakapkan daripada prestasi itu sendiri. Diskusi yang berkembang tidak lagi pada bagaimana orang-orang berprestasi itu menempa dirinya (agar kisah prestasi itu inspiratif), tetapi justru melebar pada hal-hal yang jauh: pembandingan-pembandingan, justifikasi, bahkan bisa lebih jauh hingga sampai sejauh-jauhnya. Begitulah, dan tak seorang pun berdaya menghentikannya. Hal itu tentu saja dimaklumi karena sebagai teks, setiap peristiwa apa saja boleh melahirkan reaksi yang beragam di setiap kepala pembacanya dan (bahkan) pemilik teks bisa jadi kehilangan wewenang; penulis telah mati.
Baca juga: Andai Dulu Saya Pilih Kampus dan Jurusan yang Tepat
Saya tidak tahu persis pada bagian mana dari dua tipe reaksi itu yang cocok dengan kisah lain di belakang prestasi anak-anak Manggarai yang tergabung dalam NLTC, tetapi kisah-kisah lain itu muncul. Di kalangan internal klub saja, ada kisah lain yang dibicarakan yakni pencapaian ini jauh di atas ekspektasi. Karena tujuan paling besar para atlet dikirim ke kejuaraan ini adalah agar mereka mendapat pengalaman tanding, menambah jam terbang. Itu saja cukup. Bahwa mereka meraih medali yang banyak, itu jauh sekali dari rencana.
Di luar klub, berbagai percakapan tentang kisah lain itu berlangsung dalam banyak topik, dan yang cukup ramai adalah soal perjalanan mereka ke Jakarta yang melelahkan. Ya. Kontingen NLTC berangkat via jalur laut. Itu tentu saja melelahkan padahal mereka akan berlaga di kejuaraan nasional yang membutuhkan kondisi fisik yang bagus. Tetapi begitulah yang terjadi sebab hal-hal yang akan saya ceritakan di bagian berikutnya.
Namun sebelum ke soal kenapa mereka naik kapal laut saja, saya mau ceritakan saja bahwa di bahwa topik ini, muncul subtopik-subtopik atas dasar kemerdekaan membaca teks. Yang paling banyak adalah sorotan atas kemiskinan kepedulian pada pembinaan prestasi. Yang disorot tentu saja Pemerintah Kabupaten Manggarai, KONI Kabupaten Manggarai, para pengusaha di Manggarai yang tidak ikut membantu dana, Induk Organisasi, dan masih banyak lagi. Saya juga sempat memikirkannya, tapi benarkah demikian?
Begini (yang kedua). Tiga pekan silam, Sardi Jeramat dan Blasius Aman, dua pelatih di NLTC mau bertemu saya tetapi tidak jadi. Bukan karena saya tidak mau bertemu mereka tetapi jadwal kami tidak kunjung pas. Padahal mereka mau bawa proposal yang harus saya tanda tangani sebab mereka akan membawa beberapa atlet untuk ikut kejuaraan nasional di Jakarta. Pertemuan baru terjadi sepekan sebelum mereka berangkat ke Jakarta.
Sebelum menandatangani proposal klub, saya dapat cerita soal kegiatan yang akan diikuti klub kami itu. Saya dengar semuanya, termasuk ‘kita tidak punya dana, Pa Ketua’, sebuah kabar menyedihkan karena saya juga tidak punya dana. Dalam hati, saya menyesal telah bersedia saja menerima tanggung jawab sebagai Ketua NLTC, karena tidak punya cukup ‘kekuatan’ untuk memberangkatkan mereka dengan mudah ke turnamen besar itu.
Lalu saya sadar, situasi ini bukan yang pertama kami alami. Sebelumnya, ada dua kejuaraan nasional yang juga mereka ikuti dengan modal dasar yang sama saja: dana minim. Tetapi toh mereka berhasil mengikutinya. Dan modal kami semua “hanya” jaringan. Jaringan itu bernama orang-orang baik. Yang dengan suka hati membantu meski hanya dikontak lewat media sosial.
Baca juga: Hadiah-Hadiah Tiba (Tak) Tepat Waktu
“Kita coba dekati KONI.” Saya bilang itu ke Sardi dan Belsi. Mereka setuju tetapi juga mengingatkan bahwa prosesnya biasanya cukup panjang karena urusan administrasi harus melalui induk organisasi padahal waktu mereka ke Jakarta akan tiba segera. “Saya nanti kontak Pa Ketua Harian KONI,” janji saya. “Apa kita bisa ketemu Pa Bupati?” Tanya mereka. Saya bilang akan coba atur jadwalnya karena pekerjaan saya yang sekarang memang juga berhubungan dengan jadwal kerja bupati.
Yang janji kontak Ketua Harian KONI, Bapak Apri Laturake, saya tunaikan. “Kaka, bisa bantu kami?” Tanya saya sambil menebak jawaban apa yang akan saya terima. “Bisa, Ade,” jawabnya setelah saya ceritakan perihal permohonan bantuan untuk NLTC. “Tetapi dana KONI hanya bisa keluar melalui Induk Organisasi,” jelasnya. Saya paham bahwa jika oleh karena faktor kedekatan dengan saya saja Ketua Harian KONI mengeluarkan disposisi pemberian bantuan, beliau bisa terjebak dalam masalah: penyalahgunaan keuangan negara.
Saya tidak mau menempatkan siapa saja dalam situasi demikian, apalagi orang yang saya kenal dekat seperti Ka Apri. “Bagaimana sudah?” Tanya saya. Beliau mengarahkan saya bertemu Bupati Manggarai selaku Ketua Umum KONI. Saya setuju. Tetapi sayangnya, hingga Sardi dan kawan-kawan berangkat ke Jakarta, saya tak kunjung berhasil mengatur jadwal pertemuan karena agenda kerja yang padat: kunjungan kerja ke luar kota, hingga ke luar daerah (ke Banyuwangi untuk penandatanganan kerja sama e-Government).
Saya baru bisa bertemu Bupati Manggarai untuk topik NLTC ini pada hari ini, Selasa, 24 September 2019 di ruang kerjanya. Saya datang sebagai ketua klub yang menghadap pimpinan daerah; posisi ini berbeda dari biasanya yakni saya sebagai staf dan Bupati Manggarai sebagai atasan. Saya ceritakan seluruh soal termasuk masalah kekurangan dana tadi, juga tentang prestasi para atlet di pentas nasional itu, juga jadwal kepulangan mereka ke Manggarai.
“Saya baru tahu soal ini, Nana Armin,” katanya, “setelah dapat informasi dari Pak Gabriel Mahal. Saya senang sekali melihat foto-foto mereka di Jakarta. Saya juga sudah beri tahu Kadis Perhubungan agar kontingen kita dijemput pakai bus perhubungan di Labuan Bajo.”
Itu kalimat pertama yang Bapak Deno Kamelus sampaikan sebelum menanggapi keluhan saya soal kekurangan dana yang menyebabkan kontingen NLTC berangkat dengan biaya dan fasilitas yang minim. Terkait dana, menurut Bupati Deno Kamelus, Pemerintah Kabupaten Manggarai akan selalu mendukung setiap upaya pengembangan prestasi.
“Prinsipnya, pemerintah pasti hadir untuk pengembangan prestasi. Ada mekanismenya karena ini menyangkut penggunaan keuangan negara. Sayang memang saya tidak sempat bertemu mereka sebelum berangkat. Misalkan dari KONI tidak bisa, mungkin kita bisa pakai cara lain. Misalnya dana pribadi atau saya bantu hubungkan dengan orang-orang yang bisa membantu. Tolong Nana sampaikan ke mereka, saya berterima kasih sekali atas pencapaian prestasi mereka. Bisa jadwalkan supaya saya bertemu mereka setelah mereka tiba di Ruteng. Saya senang sekali karena mereka dibantu oleh Pak Gabriel (Mahal) dan orang-orang Manggarai di Jakarta. Saya akan bersurat resmi untuk menyampaikan ucapan terima kasih karena telah mendukung anak-anak kita ini,” jelasnya.
Lalu kami bicara soal prestasi NLTC, soal komunikasi yang tersendat, soal-soal lain terkait olahraga dan dukungan pemerintah, soal persiapan dan koordinasi yang sebaiknya dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya, juga soal hubungan antaratlet dan antarklub. Saya lalu tahu bahwa selalu ada jalan kalau ruang diskusi dibuka; sesuatu yang untuk situasi kali ini menjadi tidak tercapai karena kejaran waktu penyelenggaraan turnamen.
Sardi Jeramat menjelaskan ke saya situasi itu. Bahwa keikutsertaan mereka pada ajang Menpora Cup di Jakarta memang berlangsung dalam ‘kejaran waktu’. Bahwa NLTC berinisiatif mengikuti kegiatan itu dan telah mengajak klub/dojang Taekwondo lain di Manggarai untuk ikut terlibat termasuk mengkomunikasikannya dengan Induk Organisasi.
“Di taekwondo memang sekarang begitu, Kae. Menpora Cup ini bisa diikuti oleh semua klub, baik atas nama induk organisasi maupun atas nama klub. Ketika dapat informasi ini kami langsung kasih tahu ke teman-teman juga ke Induk Organisasi tetapi mungkin karena kesibukan atau agenda lain sehingga banyak yang tidak sempat menanggapi. Hanya dari Dojang Kodim yang kirim satu dengan kita. Tetapi keikutsertaan kami sudah saya laporkan ke induk organisasi dan kami sudah dapat rekomendasi. Dari tingkat kabupaten dan provinsi. Agak kecewa juga karena tidak dapat dana dari pemerintah tetapi semoga di waktu berikutnya sudah bisa lebih mudah,” terangnya.
Baca juga: Asal Ikut Trending Topic Bisa Bikin Kita Bebal?
Karena soal “waktu” itulah maka mereka berangkat dengan modal apa adanya; kami tidak sempat mengumpulkan banyak uang untuk membeli tiket pesawat. Mereka juga sempat bertemu Wakil Bupati Manggarai yang turut mendukung dari uang pribadinya. Juga beberapa kepala dinas di Kabupaten Manggarai. Beberapa teman saya juga ikut kumpul uang.
Ketika mereka hendak pergi, saya ulang-ulang bertanya apakah mereka siap pergi naik kapal laut saja? Mereka bilang siap. Lalu saya bilang, “Pulang baru kita naik pesawat e.” Saya omong lepas saja padahal saya tetap tidak tahu bagaimana itu akan terjadi. Saya berpikir, ketika mereka di Jakarta, di Ruteng saya akan mencari kesempatan agar bertemu Bupati Manggarai untuk membicarakannya, tapi ternyata tak kunjung terjadi. Puji Tuhan, mereka mendapat dukungan penuh dari Pak Gabriel Mahal dan istrinya, Ibu Watty Rahman Mahal.
Begini (yang ketiga). Ketika tahun ini NLTC hendak berpartisipasi lagi di kejuaraan nasional di Jakarta, sebagai ketua, saya turut bertanggung jawab dan harus siap mendukung 1000 persen. Saya mulai berpikir tentang orang-orang baik mana yang akan saya hubungi untuk melancarkan rencana ini. Untunglah, sebuah pertemuan informal telah Sardy buat dengan Om Gabriel Mahal di suatu kesempatan melalui facebook. Tugas saya adalah melanjutkan ‘kesepakatan’ mereka saat itu dengan menghubungi Om Gabriel dan Ka Watty. Okay, fix, ini agak aneh karena pasutri itu saya panggil dengan jabatan berbeda dan saya tetap tidak bisa mengubahnya (misalnya menjadi Ka Gaby atau Tanta Watty).
Singkat cerita, tahun ini, yang menjadi tumpuan harapan kami untuk urusan penginapan dan hal-hal lainnya adalah keluarga baik hati ini setelah pada event sebelumnya kami mendapat bantuan penginapan dari Pak Johny G. Plate melalui Ka Dedy Latubara dan Walberto Wisang.
Keluarga Mahal ini melakukan kebaikan yang sungguh langka dan betapa mahal artinya buat kami. Di Jakarta, kontingen Manggarai mendapat perlakuan yang baik sekali, dukungan yang penuh sekali, dan jaringan yang bertambah banyak sekali. Melalui berbagai media, Om Gabriel mewartakan tentang NLTC, tentang prestasi mereka, dan berhasil mengumpulkan semakin banyak orang baik yang turut membantu. Akhirnya, apa yang seminggu lalu saya bilang ‘pulang baru kita naik pesawat e’ benar-benar terwujud.
Baca juga: Anda Kritik Karya Saya, Karya Anda Sudah Bagus?
Kontingen dari Manggarai akan tiba di Labuan Bajo pada hari Rabu, 25 September 2019 setelah beberapa jam di pesawat terbang. Di Labuan Bajo mereka dijemput oleh bus milik Dinas Perhubungan Kabupaten Manggarai. “Kalau mereka tiba di Ruteng pada jam kantor, kita akan ajak mereka langsung bertemu Bupati. Kalau tidak, kita jadwalkan sehari setelahnya,” jelas Ketua Harian KONI yang juga adalah Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Manggarai ketika saya menelepon untuk koordinasi urusan penjemputan ini.
Begitulah ceritanya. Bahwa yang tersumbat adalah komunikasi dan koordinasi, yang harus segera diperbaiki adalah mekanisme kerja di semua level, yang perlu dipercakapkan adalah prestasi dan kisah-kisah yang menginspirasi, yang tidak perlu adalah usaha mencari yang salah dan benar secara berlebihan, dan yang kita butuhkan adalah jumlah Gabriel Mahal dan Watty Rahman serta orang-orang Manggarai yang peduli semakin beranak-pinak dan beranak-cucu.
Sebagai Ketua NLTC, yang memasuki dunia ini dengan ketidakcakapan pengetahuan seputar pengelolaan anggaran dan manajemen organisasi, saya jelas beruntung karena hidup di dunia jaringan. Saya juga beruntung (dan untuk itu saya tersungkur berterima kasih) karena memiliki pengurus klub yang daya juangnya baik sekali, yang visinya mulia sekali, yang kerendahan hari mereka baik sekali untuk diwartakan. Semoga mereka tetap memilikinya di hari-hari yang akan datang.
Via facebook, WA, dan dalam pertemuan-pertemuan langsung, saya mendapat banyak ucapan selamat. Saya sempat tergoda untuk angkat dada bahwa saya berhasil, lalu batal. Celestin, istri saya itu bilang, jangan besar-besarkan hal itu karena sesungguhnya tugas saya hanya sebagai jembatan. Saya jadi jengkel karena mendadak malu padahal tadi maunya bersombong-sombong sedikit. Tapi dia benar. Apakah ada jembatan yang bersorak karena sebuah truk gandeng berhasil tiba di seberang?
Orang-orang itu bertemu karena mereka ada di energi yang sama. Dengan atau tidak dengan saya ada di dalamnya, setiap orang dengan niat baik yang sama pasti akan bertemu di satu titi. Begitulah dunia bekerja. Dunia orang-orang yang bekerja dengan tulus, tentu saja. Rasanya begitu.
–
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
Salut. The power of jaringan pertemanan. Jadi 'jembatan' pun sudah luar biasa, Om.
Ah… itu dia. Kekuatan dunia jejaring. Senang bisa ambil bagian di dalamnya.