Mengunjungi Jakarta itu Baik

Jakarta adalah kota dengan banyak julukan. Megapolitan, kota yang tak pernah mati, barometer Indonesia, dan masih banyak lagi. Berhubungan dengan itulah, saya mengunjungi Jakarta. Rasa penasaran pada julukan-julukan itu. Kira-kira begitu. 

mengunjungi jakarta itu baik
Ruteng, Manggarai, kota yang pelan | Foto: Armin Bell

Mengunjungi Jakarta itu Baik

Bagaimana tidak baik kalau kau mengunjunginya bersama orang tercinta dalam sebuah perjalanan yang penuh misi untuk masa depan yang cerah mewujudkan visi keluarga harmonis bahagia sakinah sejahtera lahir dan batin. Nah! Panjang ini kalimat to? Tapi mungkin akan lebih panjang waktu yang anda pakai untuk membaca kisah inspiratif berikut ini hahaiii.
“Jakarta kami datang!” kataku dalam hati sambil sibuk mencari colokan headset di kursi pesawat ini. Kelas ekonomi maskapai ini adalah peraih penghargaan kelas ekonomi terbaik di dunia. Saya lupa tahun berapa, tetapi cerita tentang itu ada di layar monitor kecil di depan saya. Istri saya di samping, saya tidak tahu apa kata hatinya, tetapi saya tahu dia juga sibuk mencari-cari tempat colokan itu. 
O la la… Ternyata saya menutupnya. Tempat mencolok headset itu. Dengan tangan kanan saya. Siapa pun yang nanti pakai pesawat itu kali pertama, ingat, colokan itu ada di pegangan kursi kanan bagian ujung depan. Semoga keterangan ini bermanfaat. Kita lanjut. 
Demikianlah kami menikmati perjalanan itu dengan menyenangkan. Saya pilih lagu-lagu The Beatles sepanjang perjalanan. Ada pilihan album Abbey Road di sana. Istri saya lebih senang mengutak-atik touch screen monitor di depannya daripada menggunakan tombol-tombol dengan keterangan dan simbol asing di tangan kursinya. 
Kami selalu menyelangi kegembiraan pribadi itu dengan bergembira bersama, tertawa tentang betapa kagoknya duduk di antara sekian banyak tombol–membayangkan pergeseran badan akan tak sengaja menggencet tombol tertentu dan pramugari datang bertanya dan kami tidak tahu tombol apa yang kami tekan, lalu merengut bersama mengingat Rana. Kami sekali lagi meninggalkannya di Ruteng selama seminggu.

Baca juga: Pentingkah Memberi Maaf?

Lalu kami tersenyum bersama, menghayal tentang suatu saat akan bertamasya bersama seluruh keluarga. Mudah-mudahan tabungan kami akan cukup pada saatnya untuk Venisia atau Lourdes. Lalu tidur bersama. Ini tentang waktu tidur dan bukan tentang tempat tidur. Karena kami masih di kursi masing-masing. Bersisian saja. Hiks.. 

Denpasar – Jakarta, setelah Labuan Bajo – Denpasar, setelah Ruteng – Labuan Bajo di hari yang sama. Saya pikir kami layak menikmati tidur sejenak pada penerbangan kali ini. “Pesawat akan segera mendarat!” Begitu kira-kira awak pesawat bilang. Saya tidak perlu menunggu dia bilang: siapkan dek muka belakang, karena itu adalah pengumuman untuk penumpang kapal laut. Ingat. Kami pake pesawat. Pesawat, meeeen
“Ma, sudah mau sampai,” kata saya pada istri tercinta yang tidur dengan lelap. Saya mengagumi kemampuannya itu. Bisa tidur di mana saja dan lelap. Luar biasa. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
BACA JUGA
Gratitude Box: Seribu Sehari Cukup

Begitulah. Jam satu dini hari kami sampai di Matraman. Disambut Elna, adik ipar saya yang baik dan sibuk itu. Tidur. Bangun agak siang. Elna sudah berangkat kerja sedari pagi. Kami berangkat. Tujuan pertama: RS Carolus. Saya butuh second opinion tentang migrain yang melanda sepanjang waktu. Dokter saya di Ruteng membuat diagnosa yang membuat saya terkaget-kaget. 

Katanya tulang hidung saya bengkok, sehingga pasokan oksigen ke otak kurang bla bla bla… Saya agak lupa persisnya karena saya terlampau kaget. Apa? Tulang hidung saya bengkok? Bukankah seharusnya demikian? Karena jika lurus maka muka saya akan rata dan hidung saya akan pesek? Ooops
Baca juga: FF100K Karina – Keluarga

Karena itulah saya butuh pendapat lain. Penanganan medis terbaik untuk tulang hidung yang bengkok adalah operasi dan saya tidak suka. Saya kemudian berpikir, mengunjungi Jakarta itu baik. Bisa cari pendapat lain. Halaaah, catatan ini mbulet sekali ya? 

Di Rumah Sakit Sint Carolus kami bertemu dokter saraf. Dia bilang semua baik-baik saja. Saya hanya perlu rajin makan pagi, tidur cepat, kurangi aktivitas yang melelahkan mata, perbanyak melihat artis-artis cantik. Ps: Yang terakhir saya tambah sendiri karena berpikir mungkin akan menyegarkan mata?

Pendapat yang baik ini kami terima dengan senang hati. Istri saya yang semula khawatir menjadi begitu percaya diri mengajak saya mengelilingi Jakarta dengan penuh semangat. Tampak etalase sepatu melayang-layang di atas kepalanya ho-ho-ho

Di kota itu kami membelah Pasar Pramuka sampai bagian terdalam. Pasar obat ini adalah tujuan terbaik untuk seorang dokter gigi seperti kekasih saya itu. Kami juga berpanas-panas ria mengunjungi Salemba, ada toko dental unit di salah satu sudutnya. Sebelum hari itu, saya akan selalu ingat Taufiq Ismail kalau mendengar Salemba. Salah satu puisinya pernah cerita tentang kawasan ini: Tiga anak kecil dalam langkah malu-malu datang ke Salemba sore itu…. 
Tetapi sekarang, tentang Salemba saya lebih suka ingat cafe kecil tempat mereka menjual Nasi Gunung di dalamnya. Hmmm… Nasi Gunung. Saya berharap, nasinya dengan porsi menggunung. Tetapi ternyata nasi dalam porsi kecil yang ditata seperti gunung. “Gunung kecil!” kata istri saya melihat raut kecewa pada muka saya yang berminyak, berkeringat dan berdebu. 
Di Jakarta itu biasa. Bukan nasi gunungnya, tetapi muka yang berminyak , berkeringat dan berdebu. Naik taksi, ngantri Trans Jakarta, nongkrong di angkot yang ngetem di bawah matahari terik, masuk ruangan ber-AC pol-polan, keluar lagi bertemu matahari yang semakin terik, melambai pada bajaj.

BACA JUGA
Hidup dan Kisah Cinta H. C. Andersen, Pengarang Gadis Korek Api

Pernah juga ke Pasar Baroe, tawar-menawar harga sambil tetap berhitung dalam hati berapa isi dompet, berburu perlengkapan praktek istri, ke Matraman, ke Tangerang (bersama Bapa Theo dan Aegy mengunjungi kakak sulung yang dapat izin belajar di STAN), ke Bekasi (yang ini batal), ke Depok (juga batal), cari tiket pulang. Huffft. Benar-benar sibuk. 

Kami seperti bersaing dengan kota yang tak pernah tidur itu. O iya, kami ke Gramedia. Tempat terbaik yang bisa dikunjungi di kota mana pun. Bukan semata karena bukunya, tetapi karena sejuk di dalamnya. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Begitulah… Mengunjungi Jakarta itu baik. Kami bolak-balik, Matraman, Mangga Besar, mangga murah di pasar, dan: “Di mana lagi Ma?” tanyaku pada istri terkasih yang tak pernah lelah berburu, ya kepentingan klinik, ya kepentingan anak, ya lirik tas-tas dan sepatu. Haisss… ada apa dengan perempuan dan sepatu? Mohon jelaskan. 


Hari Jumat, invasi hari terakhir pada perjalanan ini. Dari Mangga Besar, setelah ditraktir Mie yang super enak oleh Yoland sahabat istri saya yang kini jadi sahabat keluarga, kami lewat Senen. Pasar itu sedang terbakar. Macet. Dua jam kami di angkot. Berdua sebagai penumpang. Seperti naik taksi tetapi tanpa argo tetapi dapat bonus asap rokok.

Kasian Senen karena terbakar. Tetapi terutama kasian hari Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan Minggu. Siapakah mereka kalau Senen hilang? Tidak lucu ya? Sudahlah, saya tidak bermaksud melucu sebenarnya. 

Saya hanya mau cerita, betapa menyenangkan menikmati waktu berdua dengan istri sambil bicara tentang masa depan, di kota manapun. Dan betapa menyenangkan kota yang di dalamnya ada Rumah Sakit yang baik, pasar obat yang lengkap, teman-teman yang baik, adik yang baik meski sangat sibuk menjadi OJeK (Sorry, Romana), Gramedia dan Blue Bird. Malam terakhir kami ke Le Meridien. Saya mau bertemu salah seorang seniman favorit, Illo Djeer. 
Beliau adalah satu-satunya yang secara jadwal dapat kami temui. Kae Ivan Nestorman sedang sibuk dengan Komodo Project sehingga tak sempat, sedangkan Sting sudah pulang beberapa tahun silam dari Jakarta. Lengkap saja rasanya mengakhiri beberapa hari yang sibuk dengan musik yang manis dan bir yang pahit dengan istri yang setia dan Elna yang jadi guide yang baik. Nikmat. Di Jakarta semua ada. 
Hanya saja, anak kami di Ruteng. Hidup kami di Ruteng. Di Ruteng, orang tercinta menanti. Secara geografis dan segalanya, kota kecil kami berada di seberang jauh Jakarta. 
Ini perbandingannya. Jakarta adalah kota yang tak pernah tidur. Di Ruteng, waktu tidur kami selalu lebih cepat dari waktu bangun orang-orang di kota lain. Bisa tangkap? 
Maka pulanglah kami. Tiket Garuda mahal di hari-hari terakhir. Bekal menipis. “Kita naik itu saja, Pa!” kata istri saya menunjuk maskapai yang katanya terkenal dengan keterlambatan jam terbangnya. Saya setuju. Pada titik tertentu, delay selalu lebih baik daripada membuang uang terlalu banyak. Titik itu adalah saat ini. Saat uang habis terpakai dengan sukses. 
Beberapa rencana pembelian dari Ruteng berhasil kami dapatkan dengan harga baik. Beberapa bulan ke depan, istri saya akan praktek sendiri. Dia dokter gigi yang baik di Ruteng. Namanya Celestin. Mama Rana. Saya cinta dia cie cieee… Semoga prakteknya selancar sekarang dan sesukses yang kami dambakan dan Tuhan siapkan. Kami ke pesawat itu. Meja kecil tempat menyimpan minuman di pesawat itu rusak. Diikat pakai kawat begitu saja. 
Kami tertawa. Ya, sungguhmati tertawa. Sudah terlalu banyak yang sering marah-marah pada maskapai ini, toh dia masih hidup dan terbang bersama pramugarinya yang agak jarang tersenyum. Tidak baik marah dan membuat mereka tidak tersenyum. 
Di Ruteng, anak kami menunggu oleh-oleh. Es krim. Tapi tak jadi dimakannya. Dia sedang batuk ketika kami pulang. Tetapi dengan ceria memeluk kami dan bilang: “Lain kali kalau pergi jangan lama-lama. Kalau datang baru lama-lama!” Kami tersenyum. Terharu. Bukan hanya kami yang ingat dia di sepanjang perjalanan. Dia ingat kami yang dipanggilnya Ayah dan Ibu. Dia tiga tahun empat bulan. Cantik. Saya cinta dia. Namanya Rana. Tadi sudah saya bilang kan? 
Demikianlah kisah tentang Jakarta yang saya kunjungi April kemarin. Apakah saya bisa betah di kota itu? Kota yang sibuk? Setahu saya, saya akan selalu betah di dekat orang-orang tercinta. Keluarga adalah sesuatu yang membuat kau betah di mana saja. Tentang Jakarta? Saya hanya tahu, kali ini mengunjungi Jakarta itu baik

Salam 
Armin Bell
Ruteng, Flores
BACA JUGA
Kumcer Iksaka Banu "Semua untuk Hindia", Sebuah Tanggapan Pembaca
Bagikan ke:

4 Comments

  1. Tema yg diangkat pak armin sebenarnya biasa.hari gini anak muda ruteng sebelah mana yg tir tau Jakarta? Tapi pak armin sudah bikin ini pengalaman jadi 'sesuatu' ..sama spt pengalaman lain yg berseliweran di blog ini.. humornya bikin saya cerdas sdikit…hehehhehehehe.tir bs cerdas banyak krn sebenarnya saya tidak cerdas… tabe

  2. Keren e kae,,,saya harap mungkin akan ada lagi posting lanjutan dari tulisan tentang “ke Jakarta” e,,Terimakasih,,

  3. NtangisWaling: Terima kasih sudah mampir. Mudah-mudahan nanti dapat inspirasi lagi buat nulis tentang kunjungan Jakarta 🙂

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *