Pada dua bagian awal, seri tulisan Kota Ruteng Dalam Koper berisi dua kota. Labuan Bajo dan perkara promosi Bandara Komodo yang ‘sunyi sepi sendiri’ dan kami yang bergaya hidup mewah di terminal luar negeri Bandara Ngurah Rai.
![]() |
Kota Ruteng Dalam Koper (Bagian Terakhir) |
Akhirnya sampai juga kita pada bagian terakhir. Tentang Jakarta. Ada berapa lagu yang pernah ditulis tentang Jakarta? Entahlah. Mungkin tidak banyak. Kalau toh banyak, mungkin tidak seterkenal Barcelona yang didendangkan Fariz RM itu. Gemerlap pesta kota, seolah getar Flamengo oh oh oh…
Seperti sudah diketahui, ini adalah catatan lama. Disiarkan pertama kali di blog lama saya di multiply, arsipnya saya simpan dalam format *.txt yang tahan banting itu. Terima kasih notepad, teman kerja terbaik yang tak banyak gaya *smile.
FYI, saya agak geli juga waktu melihat judul asli tulisan ini; Menembus Waktu, Catatan Sebuah Perjalanan. Ckckck… terasa sangat rohaniah, bukan? Mungkin karena saya senang dengar homili di gereja. Atau mungkin karena dua teman seperjalanan saya kali ini adalah pastor? Yang pasti, di ranalino.co, saya ganti judulnya. Itu!
Kota Ruteng Dalam Koper, Catatan Perjalanan Dibuang Sayang Bagian Terakhir
Jakarta oh Jakarta. Panas dan gerah menyergap dalam formasi rapi seperti telah direncanakan sebelumnya. Di udara berkelebat pertanyaan tentang bagaimana mungkin Koes Plus berjanji akan kembali ke Jakarta? Memangnya mereka ke mana? Halaaaah….
Tentang serangan, ada dua pilihan. Menahan atau tangkis adalah pilihan pertama. Berkelit, menghindar, lari, kabur, adalah pilihan selanjutnya. Tetapi bagaimana berkelit ketika menangkis bukan pilihan terbaik dan serangan panas terlalu rapi? Kau hanya bisa membuka kopermu.
Ada kota Ruteng dalam koper saya. Ruteng yang sejuk atau dingin, dan wajah orang-orang tercinta serentak terbuka. Menyejukkan sebelum kemudian menyadari bahwa sekarang sedang di Jakarta. Di jalan.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Menghabiskan waktu sangat lama di jalan, menua di jalan, entah apa lagi yang ada di jalanan Jakarta. Saya sibuk dengan pikiran tentang betapa sibuknya kota ini, betapa banyaknya orang yang setiap hari mengeluh, dan entah berapa banyak manusia yang memakai alasan macet untuk keterlambatan mereka tiba di tempat kerja.
Ah, Jakarta. Saya mungkin akan kembali tetapi tidak harus mengungkapkannya dalam lagu; ke Jakarta aku ‘kan kembalii iiii… Tidak. Tir harus pake lagu karena itu seperti sa rindu sekali untuk datang lagi padahal sa tir serindu itu juga.
Baca juga: Mengunjungi Jakarta itu Baik
Empat jam dari Bandara menuju tempat penginapan jelas bukan waktu yang sedikit. Lebih panjang dari waktu Labuan Bajo – Denpasar – Jakarta digabung.
Tetapi saya harus menikmatinya sembari berusaha ceria agar perjalanan tidak tambah melelahkan. Bukankan rasa kecewa dan sedih dan umpatan akan menambah kelelahan berkali-kali lipat?
Perjalanan kami hari itu cukup jauh, dari Bandara Komodo, Labuan Bajo, ke Bandara Ngurah Rai, Bali, lalu ke Bandara Soekarno Hatta, Banten dan kini menuju Kramat Jakarta. Panjang, perbedaan waktu, dan cuaca sudah cukup menjadi penyebab lelah, dan kami–saya dan dua pastor teman perjalanan–merasa tak baik menambah jumlah lelah yang sudah cukup.
Hari ini saya kenyang pengalaman jasmani, belajar menghargai waktu, belajar menghargai uang, dan belajar menghargai persahabatan. Entah apa jadinya jika saya tak bersedia membangun kemampuan menghargai itu semua. Lagi pula hidup itu indah, dan tidur itu nyaman. Demikian rencanaku malam ini, tiba di penginapan, makan, mandi dan tidur.
Hanya saja kita telah lama tahu bahwa roh itu kuat tetapi daging itu enak. Saya mau juga makan daging panggang. Eh? Maka niat yang sudah tertata rapi kemudian luntur begitu saja.
Para sahabat di kota besar ini telah menanti dengan agenda tersusun rapi. Armin, kau sungguh tak bisa tidur lebih awal hari ini. Baru lima menit di penginapan, jemputan datang dan saya terpana memandang mimpi saya yang terbang begitu saja. Alta la vista, tidur malam nan cepat juga nyaman. Aduh. Kenapa saya ingat Arnold Schwarsnegger waktu tulis ini asta la vista? Mana sa pu kacamata hitam? Sa mau main felem Terminator. Asta la vista, Beibeh.
Pokoknya begitu. Saya tidak jadi segera tidur. Acara panggang-panggang dan minum-minum menanti di Bekasi. Meluncurlah saya, meninggalkan dua teman seperjalananku di penginapan, dan malam itu di rumah seorang teman, semua lelah tiba-tiba hilang lenyap.
Kami sengaja tidak memutar lagu Mabuk dari Bang Haji pada pertemuan itu karena akan mengganggu keceriaan, candaan, dan minuman dengan kadar alkohol yang lebih dari cukup. Ikan dan daging panggang membayar perjalanan panjang hari ini dengan lunas. Maafkan kami yang senang begadang, Bang Haji. Barangkali itu lebih baik dari berdagang. Kami tak punya modal. Haisss…
Saya tiba-tiba menyadari sesuatu. Tentang Jakarta dan pentingnya kemampuan menghibur diri.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Para sahabat yang berkumpul adalah orang-orang sukses di Jakarta yang keras dan mereka harus punya kemampuan menghibur diri jika tak ingin menua dalam tekanan. Berkumpul pada malam Minggu adalah pilihan yang tepat, menjadi lebih meriah ketika harus menyambut tamu dari Ruteng seperti saya.
Saya pikir saya sudah mulai bersahabat dengan Jakarta melalui sahabat-sahabat saya. Cara mencintai kadang seunik itu. Mencintai? Mencintai Jakarta? Itu lebay. Saya mencintai Ruteng. Karena itulah kota itu saya bawa dalam koper.
“Menjadi orang Jakarta adalah menjadi orang kreatif, tahan banting, tak mudah stres dan tahu bagaimana menghibur diri. Jika tidak, kau hanya menjadi seonggok daging yang senantiasa berkeringat,” tulis saya di buku harian sebagai bagian terakhir dari catatan perjalanan saya kali ini.
Perjalanan selanjutnya terlampau personal untuk dibagi. Saya akan bertemu di sendiri di puncak Bogor. Bagaimana membaginya? Rasanya tidak ada cara. Kalau toh ada, mungkin hanya akan jadi catatan seram: tentang lelaki yang bertemu dirinya sendiri. Hmmm… bukan catatan yang baik untuk publik. Maka kita sampai di sini saja. Asta La Vista, Beibeh!
Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores