gerson poyk sastrawan ntt dan mimpi tentang desa budaya

Gerson Poyk, Nostalgia Nusa Tenggara, dan Desa Budaya

“Begitu kalimat pertama terekam, mengalirlah ribuan kalimat lain yang melukiskan tata kehidupan ini.” Gerson Poyk mengatakan itu saat bicara soal proses kreatifnya.


Ketika membangun blog ini beberapa tahun silam, saya membayangkan akan ada menu khusus yang membahas profil tokoh-tokoh inspiratif yang bergerak di bidang seni dan budaya di sekitar saya. Di Ruteng, di Flores,  di NTT. Dan terjadilah, meski tidak dalam satu menu khusus (profil), beberapa orang sudah saya tulis kisahnya di sini, dan ada nama Gerson Poyk di daftar itu.

Dalam rencana awal, saya mengirim daftar pertanyaan via surel tentang bagaimana mereka berkarya. Kepada Lipooz dan Ivan Nestorman, mekanisme rencana awal itu berhasil. Tetapi ternyata tidak kepada Pak Gerson Poyk. Sebelum rencana itu terwujud, saya mendapat kabar bahwa tokoh sastra yang tanggal lahirnya sama dengan tanggal lahir saya itu telah kembali ke keabadian.

Saya bersedih untuk paling tidak dua hal: dunia sastra Indonesia kehilangan salah seorang putra terbaiknya, dan saya tidak sempat membangun komunikasi apa pun dengannya. Gerson Poyk pergi. Dia meninggal dunia tanggal 24 Februari 2017, hari ketika saya akhirnya menulis ini. Saya menyesal sebab baru menulis tentangnya sekarang, dan tentu saja begitu: penyesalan selalu datang terlambat.

Untunglah, cerita tentangnya tidak ikut pergi. Gerson Poyk telah melahirkan banyak karya yang membuat namanya akan tetap abadi. Benarlah sudah Pram yang bilang, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Karya terakhir Pak Gerson yang saya baca adalah Meredam Dendam (Kakilangit Kencana, 2009), sebuah novel yang kami baca bersama untuk pertemuan bulanan Klub Buku Petra, sebuah klub buku di Ruteng yang pada tahun-tahun berikutnya mengerjakan banyak hal, termasuk Flores Writers Festival, Bacapetra.co, Kedai Buku Petra, Bincang Buku Petra, dan lain sebagainya. Sebelum Meredam Dendam, saya pernah baca cerpen-cerpen serta bukunya yang lain.

BACA JUGA
Kita adalah Komentator Sepak Bola (Bagian Pertama)

Saya sangat menyukai Cumbuan Sabana (Nusa Indah, 1979), novel yang dengan sangat baik menunjukkan betapa Gerson Poyk memahami daerah yang ditulisnya. Di saat yang sama, novel ini juga memperlihatkan kemampuan naratifnya yang memukau. Saya terlibat penuh dalam semesta yang dia ciptakan.

Gerson Poyk adalah tokoh penting dalam peta sastra kita, apalagi Sastra NTT. Pada hari dia berpulang, saya menulis tentangnya. Saya menelusuri beberapa sumber untuk bahan tulisan ini, termasuk dari Meredam Dendam yang kutipannya telah saya tulis di sebagai kalimat pertama catatan ini: Begitu kalimat pertama terekam, mengalirlah ribuan kalimat lain yang melukiskan tata kehidupan ini.

Paparan Gerson Poyk tentang proses kreatifnya itu terdapat di sampul belakang novel Meredam Dendam. Sastrawan yang lahir di Rote tanggal 16 Juni 1931 itu mengawali tuturan singkatnya itu dengan: Saat menghadapi kertas putih untuk memulai menulis, saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Belakangan, ketika percakapan tentang premis menjadi sangat ramai, saya kerap mengingat pengakuan Pak Gerson ini. Boleh jadi yang ingin Gerson Poyk ceritakan di cover belakang itu hanya tentang bagaimana Meredam Dendam lahir, tetapi bisa juga dia sedang menggambarkan sebagian besar kerja kreatifnya selama ini.

Saya mengenal karya Gerson Poyk pertama kali ketika saya masih remaja dan berkesempatan mendapat buku kumpulan cerpennya yang berjudul Nostalgia Nusa Tenggara (Nusa Indah, 1978), bertahun-tahun sebelum akhirnya saya bertemu Cumbuan Sabana.

Sepanjang yang saya tahu, Gerson Poyk adalah penulis prosa. Tetapi ternyata, perjalanannya di dunia literasi tanah air ini dia mulai dari puisi. Di tahun 60-an akhir, puisi-puisinya dikurasi oleh kritikus sastra H.B. Jassin, dan dimuat di majalah Mimbar Indonesia. Sejak saat itu, langkahnya di dunia sastra seperti tidak pernah berhenti.

BACA JUGA
Jaga Orang Pu Jodoh Bukanlah Sebuah Kisah Sedih, Kakak!

Gerson Poyk adalah angkatan pertama dari Indonesia yang menerima beasiswa International Writing Program di University of Iowa, Amerika Serikat. Dia ke sana di awal tahun 70-an. Setelahnya, berbagai kegiatan internasional dia ikuti, beberapa penghargaan dia raih: Mengikuti Seminar Sastra di India tahun 1982, menerima Hadiah Adinegoro tahun 1985 dan 1986, menerima Hadiah Sastra Asean tahun 1989, dan masih banyak lagi. Ada South East Asia Write Award dari pemerintah Bangkok, Anugerah Kebudayaan (kategori seni) dari Pemerintah RI, Lifetime Achievement Award dari Harian Kompas, penghargaan dari Forum Academy Award dari Forum Academy NTT, beberapa cerpennya terpilih sebagai cerpen terbaik dan pilihan Kompas, dan dianugerahi penghargaan sebagai Tokoh Sastra NTT pada tahun 2015 oleh Kantor Bahasa Provinsi NTT.

Gerson Poyk, Tokoh Penting Sastra NTT

NTT menempatkan Gerson Poyk sebagai tokoh penting dalam perkembangan sastra di provinsi ini. Karenanya, melalui beberapa pertemuan yang melibatkan sejumlah pegiat sastra, hari lahir Gerson Poyk ditetapkan sebagai Hari Sastra NTT.

Yohanes Sehandi, pengamat sastra NTT dari Universitas Flores dalam tulisannya yang disiarkan HU Pos Kupang tanggal 15 Juni 2016 menulis: “Memilih tanggal 16 Juni sebagai Hari Sastra NTT mengacu pada tanggal lahir sastrawan Indonesia kelahiran NTT Bapak Gerson Poyk. Ini terkandung maksud sebagai bentuk penghargaan dan rasa hormat kepada Gerson Poyk sebagai perintis sastra NTT.”

Herson Gubertus Gerson Poyk, demikian nama lengkap Pak Gerson, mengawali karirnya sebagai guru. Kemudian dia bekerja sebagai wartawan, lalu beralih menjadi wartawan freelance ketika menekuni dunia kepengarangan. Dunia terakhir inilah yang ditekuninya sampai pada hari Jumat, 24 Februari 2017. Dari Ruteng saya berdoa semoga kebahagiaan abadi memeluknya.

BACA JUGA
Natal di Ruteng, Tenda Kampung Cahaya, dan Pohon Natal Media Sosial

Beberapa mimpi yang dia ingin diteruskan oleh siapa saja yang peduli adalah membuat desa budaya. Dalam bayangannya, di desa itu ada patung-patung sastrawan Indonesia, ada sawah yang ditanam oleh para seniman, ada teater tempat pentas para seniman untuk bermain drama dan mengekspresikan imajinasi seni mereka. Di sana juga ada akses internet dengan jaringan yang baik sehingga para seniman bisa memamerkan karya-karya mereka ke dunia internasional dan memperoleh donatur untuk membiayai pementasan karya-karya mereka di seluruh dunia.

Pak Gerson berpendapat, dengan desa budaya, tak ada lagi ekstrim kiri maupun kanan, yang ada adalah etis moral yang selalu membuat generasi muda Indonesia lebih kreatif dan cerdas. Selamat jalan Gerson Poyk, terima kasih untuk segalanya.

17 Februari 2017

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Gambar dari Cakradunia.co.

Bagikan ke:

2 Comments

  1. Kakak ku Geson telah pergi, tapi telah meninggalkan nama, juga sesuatu bagi bangsa. Diharapkan akan muncul Gerson-Gerson yang muda untuk melanjutkan generasi sastra.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *