teater saja gelar pameran arsip memori personal keluarga tentang pakaian di ruteng

Teater Saja Gelar Pameran Arsip Pertama di Ruteng

Salah satu pengertian pameran adalah pengaturan, penyusunan, dan penyajian benda-benda sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesan serta pengertian tertentu bagi orang yang melihatnya.


Berangkat dari pengertian itu, maka pameran arsip berarti pengaturan, penyusunan, dan penyajian arsip (sesuai tema yang dipilih) sehingga menimbulkan kesan serta pengertian tertentu bagi orang-orang yang melihatnya. Lalu bagaimana cara mengatur arsip-arsip itu agar ‘pengertian tertentu’ dapat sampai ke orang-orang yang melihatnya? Saya mau bagi pengalaman melihat pameran arsip di Ruteng.

Tanggal 25 sampai 29 Oktober 2024, Komunitas Teater Saja menggelar Pameran Arsip Audio Visual. Mengambil tema Memori Personal Keluarga tentang Pakaian, pameran ini merupakan bagian akhir dari kegiatan Sinema Mikro yang telah mereka mulai sejak bulan Mei 2024. Rangkaian kegiatan Sinema Mikro sendiri mencakup Workshop Riset Historis (27 Mei 2024); Kelas Literasi Film (4, 8, 15, 28 Juni 2024); Bioskop Teater Saja (9, 13, 19, 23, 27 Juli, dan 3, 14 Agustus 2024).

Mereka melaksanakan pameran ini di LG Corner Ruteng. Tempat yang baik hati itu–kami pernah berkegiatan beberapa tahun lamanya di sana menggelar Dongeng untuk Anak–kini jadi rumah Komunitas Teater Saja. Komunitas ini bermarkas di Ruteng dan beberapa tahun terakhir aktif memberi warna kesenian yang baik untuk kota ini.

Sejauh yang saya tahu, ini adalah pameran arsip pertama di Ruteng. Bahwa pada beberapa pameran pembangunan yang dilaksanakan pemerintah di kota ini kita bisa juga mengakses arsip-arsip di stan-stan tertentu, yang dilakukan Komunitas Teater Saja adalah yang pertama dilaksanakan dengan kesadaran tentang pentingnya arsip untuk melihat posisi kita sekarang: siapa kita, bagaimana warna-warna pakaian di masa lalu membentuk kita saat ini, dan lain sebagainya.

Arsip adalah barang utama dalam pameran itu, bukan kuliner, bukan bola guling, bukan lempar gelang, bukan papan informasi yang berisi capaian pembangunan yang asal ditempel, bukan pula panggung pertunjukan diisi para penampil yang baru mulai latihan tiga hari sebelum pameran pembangunan dalam rangka memeriahkan HUT RI Tingkat Kabupaten.

Oleh karena tema pameran arsip ini adalah memori personal tentang pakaian maka benda-benda yang kau jumpai di sana adalah foto-foto (dari koleksi keluarga-keluarga yang secara sukarela menyumbang arsip mereka), baju-baju dari masa lalu. Karya empat seniman Ruteng sebagai respons atas arsip-arsip itu juga ditampilkan di sana.

Daeng Irman (desainer grafis) mengekstraksi pelbagai warna dari arsip-arsip foto menjadi pelbagai palet warna–mengelompokkan arsip secara kronologis dan tematik–yang nantinya dapat digunakan oleh seniman lain ketika menggarap karya (tenun, film, dll.); Nong Wejor (perupa) membuat instalasi yang mengingatkan kita akan sisi ‘gerak’ dari sejarah, fotografi, dan pakaian; Donny Abas (penata suara) merekam pelbagai kisah personal dalam bentuk audio; dan Tibortius Avi (perupa) membuat instalasi yang memadukan bingkai, arsip, dan perangkat.

BACA JUGA
Wisatawan Tidak Bebas Nilai, Tidak Asal Pakai Bikini, Tidak Perlu Unggah Semua Foto

“Cara keluarga lintas generasi mengingat pakaian orang tuanya dapat memberikan kita wawasan bagaimana masyarakat berubah dan nilai-nilai macam apa yang hidup dalam keluarga-keluarga di Manggarai,” begitu para kurator membuka catatan kuratorial mereka tentang pameran arsip ini. Catatan kuratorial itu dipajang di pintu masuk menuju ruang pameran dan menjadi tempat pertama para pengunjung mengakses seluruh isi pameran.

Kalimat pembuka ini mau tidak mau membuat pengunjung harus melihat kembali masa lalu dan menarik benang panjang kesadaran bahwa mereka hari ini adalah juga dibentuk oleh warna dan bentuk pakaian yang mereka pakai di masa lalu.

Baju-baju yang saya kenakan ketika kecil sebagian besar berwarna hijau dan oranye, itukah yang membuat saya senang dengan warna-warna itu saat ini? Benarkah bahwa kesenangan saya pada warna hijau ikut juga membentuk kecintaan saya pada lingkungan? Apa hasil bentukan warna oranye masa kecil pada saya saat ini? Saya tidak menyukai Timnas Belanda dan adalah penggemar Arema Malang dengan segala keagungan birunya. Tetapi di suatu tempat dalam benak saya, pasti ada akibat dari warna oranye masa kecil. Hal-hal itu ada di kepala saya selama beberapa hari berkunjung dan ketika pulang ke rumah dan hari ini saat menulis catatan ini; hal-hal yang membuat saya melihat Pameran Arsip Audio Visual ini sebagai sesuatu yang baik.

Untuk sesuatu yang baik itu, adalah wajar jika kemudian kita berharap hal-hal serupa ini dapat terjadi lagi di waktu-waktu berikutnya, bisa oleh Komunitas Teater Saja, bisa oleh Klub Buku Petra, bisa oleh Saeh Go Lino, bisa oleh siapa saya yang berkehendak baik mewartakan pentingnya arsip bagi kita semua. Hadi Abubakar dalam buku Pola Kearsipan Modern Sistem Kartu Kendali (1991) menulis salah satu peran penting arsip adalah sebagai rekaman informasi kegiatan, pusat ingatan, alat bantu pengambilan keputusan, dan juga bukti eksistensi atas sebuah organisasi. Pada pameran arsip yang digelar Komunitas Teater Saja, pusat ingatan menjadi yang utama. Saya kira begitu.

Pertanyaan kemudian adalah apakah seluruh produksi pameran itu juga membayangkan hal yang sama dan bayangan itu mampu diterjemahkan dalam cara mereka mengorganisasi seluruh kesempatan baik ini? Barangkali dalam hal ‘membayangkan’, mereka telah melakukannya–sesuatu yang patut diapresiasi. Soalnya kemudian adalah pada cara mengorganisasi ruang pameran. Ada beberapa hal yang mesti dipertimbangkan pada iven-iven serupa ini di hari-hari selanjutnya.

BACA JUGA
Kita adalah Komentator Sepak Bola (Bagian Kedua)

Pertama, keterangan-keterangan pada foto-foto yang dipamerkan masih bisa dibuat lebih lengkap dan dekat.

Ada foto Pater Kale Bale di pameran itu dan karya terkenalnya dan paling dekat dengan orang Ruteng adalah Panti Asuhan Wae Peca. Sayang sekali, cerita tentang karyanya itu tidak tersedia di keterangan foto yang dipamerkan. Hal serupa juga terjadi pada foto beberapa misionaris yang arsip foto mereka juga dipamerkan.

Foto pemutaran film keliling (di kategori teknologi komunikasi) juga terlihat sebagai sesuatu yang berjarak dengan pengunjung usia muda yang tidak pernah mengalami masa ‘departemen penerangan’. Juga beberapa hal yang lain. Barangkali memang terdapat kesulitan (dan tentu saja sangat dimengerti) bahwa yang menyumbangkan arsip keluarganya ke pameran ini datang dari generasi yang tidak mengalami masa itu sedangkan orang-orang yang mengalaminya tidak sempat membagi cerita lengkapnya–sesuatu yang kerap terjadi pada keluarga-keluarga di Manggarai yakni obrolan tentang pekerjaan ayah atau ibu tidak sering muncul di kamar makan.

Waktu kerja yang lebih panjang dan pencarian yang lebih banyak dari tim kerja pameran menjadi salah satu pekerjaan rumah untuk kegiatan serupa berikutnya. Hanya dengan cara itu pengunjung akan menjadi lebih dekat dengan pameran, sebab sesuatu yang berjarak bukankah tidak akan bertahan lama dalam ingatan?

Kedua, karya-karya respons mengambil porsi terbesar dalam ruang pameran.

Ada konsep silang media pada pameran itu. Sebagaimana sudah diceritakan di bagian awal, arsip foto yang dipamerkan kemudian direspons oleh empat seniman dan karya respons tersebut turut dipamerkan. Karya-karya itu mengambil porsi cukup besar dalam ruang pameran itu. Bukan sesuatu yang salah, tentu saja, tetapi agak menghambat laju interpretasi pengunjung, yang oleh karena tata letak ruangan, justru menjadi hal pertama yang dilihat dan bukan arsip foto yang hemat saya seharusnya menjadi ‘barang utama’.

Dalam situasi yang ideal, ini kira-kira yang seharusnya terjadi. Arsip-arsip foto mestilah diakses terlebih dahulu, lalu pengunjung dihadapkan pada karya-karya respons. Ini penting sebab Ruteng belum terbiasa dengan konsep silang media. Gerbang masuknya perlu dibuka lebih lebar lagi: foto-foto diletakkan di pintu masuk (setelah Catatan Kuratorial)–dan sebaiknya dicetak lebih besar lagi.

Ketiga, publikasi yang lebih luas dan undangan berkunjung.

Ini adalah sesuatu yang perlu dipikirkan. Pameran ini sangat baik dan karena itu sudah semestinya menjangkau sangat banyak orang. Tetapi barangkali Ruteng memang begitu. Sudah terlalu lama melihat kata pameran sebagai lempar gelang, bola guling, kuliner, spring bed, dan sexy dancer sehingga pameran arsip dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu dilihat bahkan oleh teman-teman yang bekerja sebagai arsiparis. Kepada merekalah sebaiknya diberikan undangan itu. Agar mereka datang dan melihat bagaimana Komunitas Teater Saja telah berlaku sangat baik pada arsip, bahkan yang sangat personal.

BACA JUGA
Isoman dan Betapa Rapuhnya Kita Diserbu Suara Ambulans

Di luar tiga hal kecil itu, pameran ini adalah sesuatu yang besar dan telah dikerjakan dengan baik. Ini adalah satu dari sangat sedikit kegiatan di Ruteng yang dilaksanakan dalam satu kerangka kuratorial yang jelas. Untuk hal itu, saya atas nama seluruh penyelenggara ‘kegiatan asal jadi’ di kota ini angkat topi.

Hal semacam ini menjadi salah satu modal belajar bahwa bahkan jika dana tersedia berlimpah ruah, setiap kegiatan perlu dipikirkan konsepnya dengan matang terlebih dahulu. Bahwa kau, meski sangat bersemangat berkegiatan, tidak perlu juga melaksanakan satu kegiatan ketika tidak punya gambaran apa pun tentang apa yang ingin kau raih atau apa manfaatnya bagi khalayak. Bahwa kau, meski memiliki modal yang banyak, tidaklah perlu jadi penyelenggara dan cukupkan dirimu dengan menjadi penyedia dana saja; serahkan kegiatan pameran/festival/pesta/ kepada yang bisa melaksanakannya dalam kualitas yang baik. Bahwa kau harus bisa berhenti bikin kegiatan asal jadi.

Karena itulah, saya hendak mengucapkan terima kasih kepada Komunitas Teater Saja. Terima kasih untuk pelajaran baik ini , terima kasih telah jadi pemberi warna yang baik untuk kota ini.

“Jika kamu harus memilih satu pakaian orang tuamu untuk dikenakan, pakaian apa yang kamu pilih? Mengapa kamu memilih pakaian itu?”

Pertanyaan para kurator ini membuat saya ingat pada kaus kaki oranye milik Guru Don, sa pu bapa. Kaus kaki bola. Dikenakannya pada Turnamen Paskah di Pateng – Rego puluhan tahun silam. Ini adalah salah satu yang ingin saya pakai. Guru Don adalah generasi pertama pemain sepak bola PS Lawelujang (cikal bakal Persim Manggarai) dan saya ingin jadi pemain Persim. Tentu saja tidak bisa. Saya sudah tua sekarang.

Tetapi Lino sedang senang-senangnya ikut latihan futsal. Levelnya tidak sehebat Opa Don. Masih terlihat seperti Bapa Armin saja. Tidak apa-apa.

Kalian lihat? Perjalanan pameran arsip ini telah membawa saya ke ingatan tentang Persim Manggarai yang terus berjuang agar menjadi lebih baik di waktu-waktu yang akan datang. Sebab, bukankah waktu yang baik di hari yang akan datang harus kita siapkan dari sekarang? Sekali lagi, terima kasih, Teater Saja. Terima kasih juga karena sudah mengelola acara penutupan pameran dengan sangat asyik; musisi, pembaca, penulis boleh menampilkan karya-karya mereka.

Salam dari Ruteng

Armin Bell

Foto: Materi Promo Teater Saja, oleh Daeng Irman

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *