middle class di hadapan rencana reuni angkatan dan ulang tahun sekolah ruteng ranalino.co

Middle Class di Tengah Rencana Reuni Angkatan dan Ulang Tahun Sekolah

Mendengar rencana reuni angkatan dan pesta ulang tahun sekolah, beberapa orang berbahagia dan beberapa yang lain merasa gembira. Eh?


Menjadi alumnus sekolah ternama adalah hal yang membanggakan sampai suatu ketika sekolahmu itu hendak merayakan pesta pancawindu dan teman-teman seangkatan hendak memakai kesempatan itu sebagai waktu yang tepat untuk reuni angkatan. Beberapa hal mampir seketika di kepala, kau tahu: setelah puluhan tahun meninggalkan lembaga pendidikan bonafide itu, tiba juga saat-saat nano-nano ini–pameran personal yang kau rayakan di depan banyak orang tentang betapa hebatnya kau pernah menempuh pendidikan di sekolah elit, kini masuk ke babak penting yang lain.

Kesenangan Merayakan Kenangan

Bersama teman-teman seangkatan, di grup Grup WhatsApp (WAG), kalian telah sering berbagi tentang masa-masa di sekolah. Siapa jatuh cinta kepada siapa; guru-guru baik dan sebaliknya; perpustakaan di pojok sekolah yang gelap dan kejadian-kejadian di dalamnya; lembaran surat cinta yang kau titipkan di dalam buku yang kau pinjam; celana cutbray pada masa itu yang kini jadi bahan candaan (sebab kau angkatan 90-an); lagu-lagu Boomerang, Dewa 19, Michael Learns To Rock, dan band-band Malaysia; semut-semut merah yang berbaris di dinding sudut sekolah menatapmu curiga seakan penuh tanya sedang apa di sini (menanti pacar jawabmu); dan lain sebagainya menjadi bahan obrolan di grup itu. Kalian bersenang-senang.

Ajakan merayakan pancawindu sekolah sekaligus sebagai ajang reuni angkatan adalah kesempatan napak tilas. Menelusuri lagi masa-masa puluhan tahun silam itu melalui bangku-bangku dan meja-meja tua yang sudah waktunya diremajakan. Juga pintu-pintu dan langit-langit sekolah yang warnanya telah pudar. Ah, ya, itu.

Sekolah itu, yang masih bonafide seperti sedia kala, tentu saja bisa melakukan peremajaan dan pewarnaan kembali. Tetapi beberapa teman di grup mengatakan sesuatu tentang waktu yang tepat untuk berbakti: “kita kumpul sedikit-sedikit untuk sumbang ke sekolah, teman-teman,” usul seseorang.

Uang. Itu maksudnya. Sebab mengumpulkan pasir barangkali membuatmu harus bolak-balik ke pantai padahal kau sedang hendak ke hutan dan berlarimu. Eh? Pokoknya begitu. Kau setuju. Teman-temanmu yang lain juga setuju, tentu saja. Beberapa kali zoom meeting menghasilkan keputusan jumlah dana minimal per alumnus. Juga kaos alumni. Deal. Untuk sekolah yang membesarkan kita, apa yang tidak mau kita lakukan?

BACA JUGA
Idul Adha di Hari Minggu, dari Gereja Saya ke Masjid

Kau Mau Tapi Belum Tentu Bisa

Setelah percakapan serius tentang dana alumni, WAG penuh dengan foto-foto bukti transfer yang dikirim silang tindih dengan foto-foto lucu saat sekolah (seorang pria yang kini jadi pejabat teras di suatu instansi pemerintah pernah berfoto solo di samping taman sekolah, satu tangannya memegang tangkai bunga mawar yang tumbuh subur di sampingnya, duh!). Kalian penuhi WAG dengan emotikon lucu, dan si bapak pejabat ikut tertawa, kesenangan. Tak lama setelahnya dia kirim bukti transfer. Jumlahnya besar. Jauh di atas jumlah minimal yang telah disepakati. Emotikon salute bermunculan dan kau menyesal telah terlambat mentransfer: Menggerutu sendiri, “Apakah angka baru ini adalah standar baru?”

Kau mau melakukan hal yang sama. Mengirim lebih dari kesepakatan minimal. Tetapi sekarang tahun ajaran baru dan waktunya untuk bayar-bayar. Uang sekolah anak-anakmu. Oh, iya. Kau di kota lain dan anak-anakmu kau sekolahkan di sekolah bonafide juga. Uang sekolah mahal tidak apa-apa, asalkan mereka dapat pendidikan yang hebat dan terhindar dari iklim bullying. Tetapi dapatkah itu menjadi alasan untuk ‘tak bisa’ mengirim uang lebih ke rekening bendahara alumni?

Baca juga: Semua Ayah yang Beruntung

Bendahara baru saja meng-update data jumlah uang yang masuk–nama tiap alumnus dan jumlah sumbangan perorang tertera di sana. Jumlahnya variatif, pikirmu. Kau mentransfer segera–dengan jumlah sesuai kesepakatan–dan mengirim bukti transfernya via japri ke bendahara angkatan. Sebagai bagian dari 100 juta lebih penduduk Indonesia penghuni barisan middle class, kau merasa jumlah itu telah tepat. Untuk sekolahmu itu kau mau melakukannya tetapi tidak bisa lebih banyak meski ingin.

Bersiap Mengikuti Reuni Angkatan

Reuni angkatan adalah hal yang lain lagi. Kau tahu itu. Tidak klasifikasi kelas di sana. Kalian akan berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Harusnya bukan masalah. Sampai kau sadar bahwa standar berdiri dan duduk di hadapan panitia, ditentukan oleh kelas ekonomi/jabatan terkini setiap alumnus. Deret tengah. Masih lumayan. Hiks.

Agenda nongkrong di kafe, pelesir ke tempat wisata, mengunjungi lokasi pameran sekolah, darmawisata ke panti asuhan, lengkap dengan linimasa per kegiatan diunggah dalam bentuk *pdf ke WAG. Sekretaris angkatan yang melakukannya, lengkap dengan caption “tiada kesan tanpa kehadiranmu”. Sejumlah angka bermain di kepalamu. Berjuta-juta uang akan keluar dari saku celanamu.

BACA JUGA
Tour de Flores, Perdebatan di Media Sosial, dan Nasib Seekor Kambing

“Tenang saja. Kan nanti ada si A yang tanggung uang nongkrong,” kata seorang teman sembari menyebut jumlah uang yang si A hasilkan dalam sebulan. Berjuta kali banyaknya dari jumlah pendapatanmu. Dia juga akan maju di pentas politik. Kandidasi. Istilah yang juga menawarkan perspektif lain: dia akan jor-joran mengeluarkan uang. Kau tertawa hambar sebab tahu bahwa di hadapan meja kafe semua alumni sama belaka: urunan. “Malu lah kalau kita tidak ikut patungan,” katamu.

Baca juga: Idul Adha di Hari Minggu, dari Gereja Saya ke Masjid

Si A mengetik. Kau tunggu. Menatap nanar layar smartphone-mu. Smartphone tua yang layarnya telah retak sebab kau pakai bersama anakmu itu, menambah berat beban di kepala; membawa HP hampir rusak ke reuni angkatan?

“Ingat, teman-teman. Hadir sehari sebelum pesta puncak di sekolah. Kita kumpul-kumpul dulu lah sebelum nanti di sekolah,” tulis si A. Kumpul-kumpul? Ongkos nongkrong itu akan berapa? Kau tahu si A akan mentraktir. Tetapi bukankah lebih baik jika dia menulis kalimat tambahan “yang penting hadir, yang lain aman” pada ajakan nongkrong itu agar kau tak perlu memikirkan gerakan meraba-raba saku dompetmu ketika kalian hendak bubar dari tongkrongan itu?

Kau periksa kalender kerjamu. Berharap ada kegiatan penting yang harus kau hadiri pada tanggal itu. Kosong. Kau bebas. Kau menyesal telah menyampaikan kegiatan reuni angkatan ini pada Pak Bos di kantor sebab akhirnya mendapat izin. “Pergilah. Temu angkatan itu bisa jadi kesempatan recharge buat kamu. Pulang dari situ pasti kamu lebih bersemangat dan produktif,” kata Pak Bos. Kau setuju pendapatnya ketika itu sampai kau memikirkan hal-hal tadi. Kau menyesal. Semenyesal semangatmu mewartakan kepada dunia bahwa kau adalah alumni sekolah bonafide itu di media sosialmu. Semangat yang membuatmu kini berada pada persimpangan simalakama: mau hadir dompet mati, tidak hadir nama mati (jadi omongan orang).

BACA JUGA
Orang Manggarai Harus Tahu tentang Pekosamaraga

Kau pernah membaca sebuah artikel tentang reuni angkatan yang dipakai sebagai ajang pameran kesuksesan. Kau tidak mengkhawatirkan itu. Kau tahu teman-temanmu dengan baik. Mereka bukan orang dari golongan yang demikian. Yang kau pikirkan adalah apakah kau bisa tampil baik di hadapan mereka? Kau bimbang. Dengan pikiran tentang dana yang serumit itu, apakah bateraimu akan penuh lagi setelah reuni atau justru menjadi lebih gelisah?

Kau ingat lagi semut-semut yang berbaris di dinding di sudut sekolah, surat cinta yang kau selip di dalam buku yang kau pinjam darinya, dan dia yang mungkin akan datang di reuni angkatan itu. Bagaimana ini?

“Teman-teman. Saya mungkin tidak hadir. Tetapi saya sedang usahakan supaya kegiatan di kantor yang harus saya tangani bisa ditunda. Semoga bisa. Doakan ya!” Tulismu di WAG. Emotikon ‘amin’ bermunculan dan kau pikir satu tahap ini telah kau selesaikan dengan baik. Kau tidak perlu hadir dan sedikit berbohong untuk kesehatan mentalmu adalah hal yang baik.

Tinggal satu tahap lagi. Menulis narasi indah di dinding media sosialmu pada hari H pesta sekolah, lengkap dengan ucapan selamat dan ungkapan penyesalan karena tidak bisa hadir di sana. Teman-temanmu akan mengerti sebab sebagian besar dari mereka adalah pekerja kelas menengah: tidak kaya, tidak miskin, tetapi juga tidak bisa berlibur sembarang waktu. “Semoga kita semua selalu sehat!” Kau akan menulis kalimat itu di hari H pesta sekolahmu nanti.

Barangkali begitulah kita, orang-orang/pekerja kelas menengah (middle class) ini. Yang berjuang terlihat baik-baik saja di Instagram tetapi juga setuju bahwa sekarang sedang resesi global dan anggaran negara mengalami rasionalisasi berulang-ulang: kita harus terlihat bijak seperti saran orang-orang TikTok demi mental health yang terjaga sembari berharap reuni alumni berlangsung biasa-biasa saja. Apa kabar teman-teman seangkatan yang tidak seberuntung aku menghuni middle class ini? [*]

.

15 November 2023

Salam dari Kedutul – Ruteng

Armin Bell

Gambar dari KapanLagi.com: Reuni, Wanda Hamidah Cantik & Cocok Pakai Seragam SMA .

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *