Bagaimana keadaan publik ketika dunia penuh informasi politik? Apakah media massa telah memenuhi seluruh kebutuhan informasi atau kita hanya menjadi khalayak yang pasrah?
Tulisan ini disiarkan pertama kali di Harian Umum Pos Kupang edisi 9 April 2018. Sehari setelahnya muncul dalam versi daring di portal harian tersebut. Diniatkan sebagai tulisan pembuka untuk membahas tema ini (posisi khalayak di hadapan media dalam perhelatan politik), saya memutuskan untuk menyiarkannya kembali di ranalino.co agar dokumentasinya menjadi lebih baik.
Secara umum, catatan ini akan ada dalam kerangka hubungan antara komunikasi politik dengan kesadaran politik khalayak. Kesadaran utama yang membentuknya adalah: tanpa khalayak yang cerdas, perhelatan politik akan terus menerus menampilkan wajah yang seragam.
Media Massa, Politisi, dan Khalayak yang Pasrah
Dalam Pemilu, media massa kadang ‘bersikap’ mendukung atau tidak mendukung calon tertentu.
Ada paling tidak dua alasan yang membuat mereka memutuskan memilik sikap politik. Pertama, kesesuaian visi misi kandidat dengan perjuangan media, dan kedua, media massa tersebut memiliki hubungan dengan politisi yang terlibat. Yang ingin dicapai melalui penunjukan sikap tersebut adalah pencitraan.
Antara tahun 1920 sampai 1930, Harold D. Lasswell (1902 – 1978) menemukan Teori Jarum Hipodermik. Studi mengenai efek media massa pada khalayak tersebut selanjutnya dikenal dengan beberapa nama, seperti Teori Peluru oleh Wilbur Schramm, dan Teori Stimulus-Respons oleh Melvin DeFleur dan Rokeach. Penamaan peluru dan jarum didasarkan pada asumsi bahwa pesan-pesan media bersifat seumpama peluru atau jarum yang dilesakkan ke dalam kepala khalayak yang pasrah, kemudian diakui sebagai—sebut saja—kebenaran.
Teori tersebut lahir ketika akses masyarakat atas sumber-sumber informasi alternatif masih terbatas. Dukungan publik atas kebijakan Great Depression yang kemudian dilanjutkan (berjalan bersama) dengan Good Neighbor pada masa Franklin D. Roosevelt memimpin Amerika dianggap sebagai contoh keberhasilan jarum atau peluru tersebut; sebagai Presiden, Roosevelt berpeluang menguasai media massa.
Puluhan dekade setelah masa itu, Jarum Hipodermik ditembakkan dengan baik oleh Barack Obama melalui beberapa modifikasi. Kepercayaan bahwa publik dapat dipengaruhi dengan mudah (hanya) melalui pembentukan opini, dikawinkannya dengan fakta populernya media sosial.
Baca juga: Information Overload dan Wartawan yang Mati Karena Media Sosial
Tahun 2008, Obama memilih Facebook untuk pembentukan citranya, karena yang ingin “ditembak” adalah para pemilih muda, dengan: pertama, asumsi bahwa kelompok dalam rentang demografi tersebut ‘tidak berminat’ pada media massa kovensional seiring ringkasnya pemenuhan kebutuhan informasi melalui internet, dan kedua, fakta bahwa pada masa itu hampir 40 persen masyarakat Amerika telah memiliki akun medsos ciptaan Mark Zuckerberg itu.
Sejarah kemudian mencatat bahwa kemenangannya pada Pilpres saat itu dipengaruhi oleh kemampuannya memanfaatkan media sosial. Direktur Facebook Marc Andreessen bahkan menahbisnya sebagai politisi pertama yang memahami bahwa teknologi dapat digunakan dengan cara baru.
Di Negara itu, “pemanfaatan media” dalam politik sesungguhnya dimulai di era Thomas Jefferson (menggunakan koran), diteruskan oleh John F. Kennedy, politisi pertama yang memanfaatkan televisi di masa kampanye.
Beberapa tahun terakhir, media massa konvensional seperti koran, radio, dan televisi disebut-sebut mengalami masa senjakala. Khalayak pindah ke media massa digital yang berhasil menjadi hibrida terbaik dari tiga media sekaligus, yakni: cepat, selintas (karakteristik radio), terarsipkan (koran), tersedia dalam format audio-video (televisi).
Media-media arus utama di Indonesia menyadari perkembangan tersebut dan memutuskan ikut bermain—kemudian menjadi sangat serius—mengikuti jejak Republika yang telah mulai melirik wilayah itu tahun 1994. Portal-portal berita lalu tumbuh seumpama cendawan di musim hujan.
Para politisi menyadari itu dan berusaha memanfaatkannya lengkap dengan usaha modifikasi. Ada yang menggunakan kelompok-kelompok mapan (media massa besar yang mengembangkan sayap digital) dan ada yang dengan sengaja membangun portal sebagai ‘kendaraan politik’. Basis kesadarannya tetap sama yakni: pesan-pesan seumpama jarum yang ditembakkan kepada khalayak yang pasrah dan menancap sebagai “kebenaran”.
Politik pencitraan kemudian terjadi di seluruh perhelatan politik, dan media massa terlibat (atau dilibatkan) di dalamnya. Pada situasi itulah media massa ada di masa bertaruh; bermain sebagai media massa lengkap dengan pemahaman atas kapasitas dan kode etik atau justru melakukan praktik jual diri.
Baca juga: Media Massa, Slowness-Quickness, dan Khalayak
Sebagaimana telah disinggung pada paragraf awal, persoalan dukung-mendukung media terhadap politisi tertentu adalah hal yang jamak. Netralitas yang menjadi wajah utama media massa—karena tuntutan untuk memiliki keberpihakan pada masyarakat kecil, dan obyektivitas (berhubungan dengan keseuaian dengan fakta) dengan sangat manis dibungkus oleh pengelola media sehingga tetap mampu menjalankan “sikap mendukung”. Yang seperti itu dimainkan oleh media massa yang matang, entah karena kesesuaian visi maupun karena kepemilikan saham oleh politisi.
Sebagai pengingat, pada perhelatan Pilpres 2014, redaksi The Jakarta Post dengan tegas mengumumkan sikap redaksi mendukung Jokowi-JK. Di luar itu, kita sangat sulit berharap media yang dikelola politisi macam Media Group, Viva, dan MNC Group menjadi tidak partisan.
Media lain barangkali tidak mengungkapkan sikap politiknya secara jelas tetapi melalui penelusuran atas agenda setting, dapatlah diketahui pilihan politiknya. Biasanya diatur melalui penempatan headline, pemilihan gambar, layout, jumlah berita, angle atau sudut pemberitaan, dan hal-hal lainnya.
Di berbagai belahan dunia, perang agenda setting mewarnai setiap helat politik. Persaingan sengit Hillary vs Donald di Amerika atau Prabowo vs Jokowi pada Pilpres Indonesia 214 adalah contoh; semua media bermain dukung mendukung. Meski demikian, (karena alasan kematangan) biasanya agak sulit ditemukan bahwa media yang ikut bermain itu menyalahi kaidah jurnalistik. Fakta tetap menjadi materi utama, yang dimainkan adalah sudut pemberitaan, tata letak, dan hal-hal lain yang berada di bawah kuasa mereka.
Permainan seperti ini biasanya berlangsung pada masa kampanye saja. Setelahnya, seluruh media massa (diharapkan) kembali menempatkan dirinya pada posisi sebagai kekuatan keempat dalam pembangunan setelah eksekutif-legislatif-yudikatif.
Namun, harus diakui tidak semua politisi dan pengelola media massa memahami permainan itu. Kemudahan mendirikan media massa/perusahaan pers membuat sekian banyak politisi dan atau pendukungnya terjun ke pekerjaan ini. (Barangkali) berangkat dari kesadaran tentang ampuhnya Jarum Hipodermik, banyak media yang lahir—dan hanya hidup—untuk mendukung upaya pemenangan politisi tertentu. Platform yang dipakai adalah media massa digital yang biaya produksinya jauh lebih murah.
Konsep berpikirnya sederhana: 1). media massa daring (online) diciptakan, 2). membantu atau (sepenuhnya) melakukan politik pencitraan, 3). artikel pencitraan disebar melalui grup-grup media sosial, 4). pencitraan terjadi, 5). tercipta pendukung garis keras, 6). pendukung garis keras membentuk diri menjadi barisan pejuang, 7). meraih jumlah suara maksimal, 8). menang.
Maka dipilihlah orang-orang yang pernah memiliki pengalaman bermedia massa untuk mengelolanya. Ada yang bahkan tidak pernah memilikinya sama sekali tetapi dianggap (dipaksakan) mampu mengelola. Hasilnya mudah ditebak. Kaidah-kaidah jurnalistik diabaikan, kode etik ditempatkan pada posisi entah di mana, dan (ini yang paling menyedihkan) redaktur tidak melakukan penyuntingan.
Perburuan target klik, pekerja media yang minim pengetahuan, keinginan melakukan pencitraan secara berlebihan, membuat hari-hari terakhir ini kita menyaksikan ratusan tautan berita yang tidak saja bombastis dan meninggalkan kaidah dasar-dasar jurnalistik, tetapi juga mengabaikan aturan dasar berbahasa.
Apakah pernah dipertimbangkan efek buruk dari “semangat” sebesar itu? Menulis profil atau artikel tentang kandidat yang diusung tetapi menggunakan tata bahasa atau struktur yang buruk, bukankah akan berdampak pada citra kandidat? Itu satu. Yang lain? Pembacamu, Pak. Pembacamu belajar dari tulisan yang salah!
Baca juga: Media Massa Daring dan Masalah Akut Bernama Penyuntingan
Tetapi untunglah efek buruk seperti ini hanya berlaku manakala khalayak memiliki kesadaran bahasa yang baik. Jika tidak? Delapan konsep berpikir di atas akan mencapai hasil yang baik; media-media massa dadakan plus partisan akan tetap hidup dan kita akan tetap melihat tautan yang tidak bisa menulis di sebagai awalan dan sebagai kata depan dengan cara yang benar.
Yang mengkhawatirkan: bertahun-tahun kemudian kita tidak lagi mengetahui manakah yang benar. Apakah kelola atau kelolah, sepi atau sepih, di mana atau dimana, antikorupsi atau anti korupsi? Yang dimuat di portal berita selalu terdokumentasi dan (ini menyedihkan) akan dianggap sebagai kebenaran.
Pada saat media massa dan politisi bersikap “asal main” seperti itulah masyarakat cerdas literasi menjadi sangat dibutuhkan agar Jarum Hipodermik yang keliru tidak terus-menerus ditembakkan dan menancap di kepala khalayak. Kelompok inilah yang memiliki kemerdekaan, apakah menjadi khalayak yang pasrah atau bersikap kritis ketika berhadapan dengan informasi.
Selain tentang Jarum Hipodermik, salah satu fokus studi Laswell adalah effect (umpan balik, akibat). Lasswell dalam apa yang kemudian dikenal sebagai Paradigma Lasswell menjelaskan, komunikasi adalah “who says what in which channel to whom with what effect”. Akibat yang diharapkan dalam komunikasi itu tentu saja terciptanya kesamaan pemahaman; sesuatu yang baik.
Bagaimana Menciptakan Khalayak yang Tidak Pasrah?
Seandainya kita percaya bahwa perhelatan politik adalah jalan menuju kemaslahatan bersama, maka beberapa hal berikut dapat dilakukan sebagai leraian atas kekeliruan masif menerjemahkan Jarum Hipodermik.
Pertama, setiap pengelola media massa wajib menguasai seluruh hal teknis terkait pengelolaan media massa itu; kedua, setiap wartawan dibekali dengan kemampuan menguasai standar berbahasa yang baik dan benar; ketiga, setiap politisi diharapkan memilih media yang tepat untuk politik pencitraan; keempat, khalayak memiliki kecerdasan literasi.
Untuk hal keempat, khalayak harus membuka diri terhadap bacaan-bacaan alternatif—tidak menggantungkan diri pada satu sumber, senjata penembak Jarum Hipodermik tunggal.
Pemimpin yang baik hanya lahir dari masyarakat pemilih yang cerdas, dan masyarakat yang cerdas hanya terbentuk ketika setiap anggotanya memperkaya diri dengan lebih banyak membaca. Jika itu tidak dilakukan, maka sejujurnya, kita tidak lagi memiliki hak protes ketika yang terpilih ternyata jauh dari harapan, dan media massa digital tidak mampu membedakan dibawa dengan di bawah. Kita menjadi khalayak yang pasrah. Mau bagaimana lagi?
–
14 April 2018
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
Ilustrasi dari Blog TribunJualBeli.com.