Akun Instagram Fenomena Rakat, @fenomena_rakat, kini memiliki lebih dari 65 ribu followers. Akun ini dikelola oleh Near yang namanya kini semakin dikenal berkat youtube hits-nya Karna Su Sayang.
Oleh: Eka Putra Nggalu
Sekadar Catatan
Bagi Anda yang telah berhadapan dengan artikel ini—karena terpaksa, tak sengaja, atau benar-benar secara sadar telah memilihnya untuk dibaca—saya harap Anda memiliki kesadaran awal bahwa artikel ini tidak memuat satu isu yang penting dan mendesak bagi NKRI. Artikel ini juga mungkin memiliki jarak kultural, tidak relevan, atau sarat dengan istilah-istilah ilmiah yang diciptakan sesuka hati.
Selain itu, untuk menemukan gambaran awal tentang pembahasan yang ada di dalamnya, saya menyarankan Anda terlebih dahulu mengunjungi akun Instagram @fenomena_rakat dan alami sensasinya. Sebagai catatan, akun ini sangat dianjurkan bagi mereka yang sedang jatuh cinta, putus cinta, patah hati, menjalani long distance relationship tanpa kepastian, atau mengalami hal lain di sekitar dunia percintaan. Termasuk jomblo!
Kalau setelah ini Anda benar-benar mencari tahu dan berpindah aplikasi, saya harap jangan lupa kembali. Jika instruksi yang agak panjang, rancu, dan tak berguna ini sudah selesai dipahami, mari lanjutkan membaca.
Seperti menuruti begitu saja namanya, akun Instagram Fenomena Rakat telah benar-benar menjelma fenomena baru di kalangan anak-anak muda RAKAT, sebelum kemudian merambah ke pelosok Nusantara. Sejak diinisiasi tahun 2013, akun dengan dengan branding bisnis lokal yang coba menawarkan jasa kas ingat makan, kas sembuh luka karena patah hati, curhat sampe pagi ini telah memproduksi lebih dari 3924 kiriman, mengikuti 6772 orang dan menuai 65,4k followers (terakhir dilihat pada, 22/10/18, 23:33 WIB).
Setahun belakangan ini, postingan video Fenomena Rakat rata-rata dikunjungi oleh 14 ribu orang dalam sehari. Jumlah komentar dari warganet untuk setiap postingan beragam. Mulai dari satu digit angka, hingga 300 – 400 komentar. Tentu ini jumlah yang fenomenal jika dibandingkan dengan mahalnya ongkos pulsa data dan tarif internet di kawasan timur Indonesia.
Meski demikian, saya tetap yakin bahwa kebanyakan anak muda RAKAT pengakses akun Fenomena Rakat adalah orang-orang yang rela begadang di tempat penyedia WiFi gratis, juga tak segan mencari cara membobol sandi WiFi di lokasi-lokasi strategis minim pengawasan. Di kantor-kantor pemerintahan, misalnya. Jangan tersinggung, e!
Baca juga: Menyelesaikan Hambatan Public Speaking
Oh ya, hampir lupa. Pembaca non-RAKAT perlu tahu. Rakat adalah bentuk singkat dari masyarakat. “Masyarakat” sendiri adalah ‘identifikasi dalam kelompok/kalangan sendiri’ untuk memanggil atau menyebut sesama orang Indonesia Timur (yang termasuk dalam ras Melanesia). Situasi ‘identifikasi’ ini umumnya dijumpai ketika berada di Pulau Jawa; orang-orang timur saling menyapa sesamanya dengan panggilan RAKAT.
Ada juga yang menganggap RAKAT sebagai akronim dari frasa Rakyat Timur, sebutan untuk orang-orang dari wilayah Indonesia Timur yang berada di tanah rantau, khususnya Jawa, pusat segala wacana perubahan, pembangunan, dan perkembangan berlangsung. Wikipedia tak sempat mencatat sejak kapan frasa RAKAT ini muncul dan dipakai, mungkin karena tidak penting.
Frasa Rakyat Timur dalam akronim ini bukanlah suatu definisi dengan indikasi regional yang jelas sejak awal. Selain diidentikkan dengan wilayah timur Indonesia sebagai tempat asal, lebih dari pada itu, RAKAT merujuk pada kedekatan genetik-kultural orang-orang yang mengidentifikasikan dirinya ke dalam kelompok ini.
Kedekatan genetik-kultural ini bisa diidentifikasi dengan warna kulit yang hitam atau coklat gelap, rambut keriting, suara besar, perawakan tegas, dialek melayu khas, cara bertutur kata, serta rasa merasa yang mungkin juga dibentuk oleh konstruksi polarisasi Indonesia yang berlangsung bertahun-tahun.
Karena itu jangan heran, jika sesama RAKAT bisa punya radar pemindai yang jitu ketika berada di antara kerumunan masyarakat non-RAKAT.
Meski agak tidak valid jika kita memindai followers akun Fenomena Rakat berdasarkan kategori tempat, setidaknya kita bisa memetakan secara garis besar asal dominan penganut RAKAT-IS-ME ini, yaitu antara lain dari Nusa Tenggara Timur (Flores khususnya), sebagian Sulawesi, Papua, Maluku, dan sisanya berasal dari wilayah Indonesia bagian Barat.
Selain wilayah-wilayah di atas, wilayah perantauan juga menjadi basis massa akun dengan tagar andalan #awasdemam ini. Jangan kaget kalau banyak sekali followers Fenomena Rakat berasal dari Batam, Serawak, Tanjung Pinang, Nunukan, hingga Tanjung Selor. Fenomena Rakat dan segala kekonyolannya bisa menjadi oase bagi RAKAT diaspora di kantong-kantong transmigran.
Baca juga: Apresiasi, Dinikmati atau Dilawan?
Meski Fenomena Rakat bukan superhero yang bisa menghapus problem human trafficking, setidaknya para tenaga kerja ilegal yang ada di sana bisa sedikit mengalihkan pikiran dan ketakutan mereka akan kejaran para petugas imigrasi hingga perlakuan kasar dari majikan yang galak. #savegubernurntt!
Near, otak di balik virus dunia maya yang sedang merajalela ini sebenarnya punya visi yang sangat sederhana ketika memulai Fenomena Rakat. Ia terinspirasi dari perilaku teman-teman mahasiswa-mahasiswi dari kampungnya yang kuliah di Pulau Jawa.
Dari amatannya, dia mendapat kesan banyak mahasiswa/i RAKAT yang bersikap lupa daratan. Misalnya, kalau di kampung cuma pake bedak Marina, sampai di kota ngotot minta uang di orang tua beli bedak Oriflame. Atau, kalau di kampung bisa tahan makan cuma pakai lauk ikan kering, di kota merajuk tidak bisa telan kalau bukan nasi goreng sosis.
Fenomena-fenomena seperti ini kemudian Near angkat sebagai konten dari postingan instagram. Sejak awal postingan, Fenomena Rakat secara konsisten menghadirkan humor gelap, sinis-sarkastik, ironi, dan guyon yang boleh dibilang kasar. Seruan langsung dan tidak bertele-tele ini tentu cocok dengan karakter kebanyakan orang Timur yang blak-blakan dan to the point. Semua itu ditujukan terutama bagi sesama RAKAT.
Saya bertanya pada Near tentang motivasinya membuat akun dengan konten aneh-aneh itu. “Harapannya supaya bikin senang sa, dan supaya mereka yang begaya tu tahu diri sedikit,” kata Near yang lebih akrab dipanggil Kure oleh teman-teman sekolahnya dulu.
Di masa-masa awal akun Fenomena Rakat berjalan, banyak yang menganggap konten-konten akun ini sebagai sentimen negatif tentang RAKAT atau sekedar ungkapan sakit hati dan dengki. Namun, seiring berjalannya waktu, postingan-postingan Fenomena Rakat diterima sebagai humor yang menghibur dan juga menegur perilaku-perilaku mahasiswa RAKAT yang berlebihan dengan cara orang timur. Transisi ini oleh Near dilihat sebagai buah dari konsistensinya merespon banyak sekali pendapat tentang Fenomena Rakat.
Persepsi dan resepsi yang berkembang terhadap akun ini tentu juga mempengaruhi bentuk dan isi postingannya dari waktu ke waktu. Model postingan-postingan Fenomena Rakat yang awalnya berupa tulisan-tulisan lucu berkembang ke konten video, dan meme-meme yang lebih bervariasi. Sinisme terhadap perilaku anak kos di Jawa perlahan berkembang menjadi lelucon yang lebih umum dan menggelitik, meski fokusnya tetap bermain-main dengan identitas RAKAT. Namun yang pasti, seluruh postingan Fenomena Rakat cenderung berisi hiburan dan memiliki karakter humor gelap.
Humor gelap atau dark comedy di Indonesia bukan hal yang baru. Konten seperti ini sudah banyak dibawakan dalam format stand up comedy. Arie Kriting atau Abdur bisa disebut sebagai pentolan-pentolan komedian yang sukses membangun narasi-narasi khas Rakyat Timur dengan segala persoalannya–politik, ekonomi, dan kebudayaan–dalam humor-humor yang menghibur sekaligus penuh ironi dan sinisme.
Baca juga: Waktu Indonesia Timur, Hadiah dari Timur untuk Indonesia Raya
Dark comedy tentu memiliki dimensi yang lebih dari sekadar penampakannya. Jika dikritisi lebih jauh, humor gelap menyimpan sejenis teks tersembunyi yang bisa jadi merepresentasikan dialektika-dialektika bawah sadar tentang masyarakat, struktur sosial, atau relasi-relasi global berkaitan dengan persoalanidentitas.
Dalam humor-humor gelap, kisah-kisah yang sangat personal berkaitkelindan dengan yang politis. Pengalaman pribadi, bisa jadi pengalaman sekian banyak orang. Kasus individual bisa jadi adalah juga kasus kolektif, yang terjalin secara tak sadar dalam struktur masyarakat secara umum.
Di tangan Near, praktik dark comedy disajikan melalui teks-teks pendek entah literer maupun audio visual, disebar melalui akun instagram, lantas menemui pemirsa dalam jumlah yang sangat banyak. Near menertawakan dirinya sendiri, identitas kulturalnya, situasi sosial di sekitarnya, lantas menawarkan kepada masyarakat bahan-bahan untuk ditertawai secara bersama-sama. Near menghadirkan otokritik dengan cara yang unik, refleksi dengan cara menampakkan kejelekan yang menjadi kecenderungan di sekitarnya.
Terlepas dari produk sederhana yang hanya berupa kalimat-kalimat pendek, Near sebenarnya mengambil peran sebagai pengamat yang menempatkan diri dalam jarak tertentu dari masyarakatnya—minimal dari lingkungan anak muda RAKAT. Hanya dengan mengambil jarak yang baik, ia kemudian mampu melihat ke dalam situasi di sekitarnya fenomena-fenomena unik. Fenomena-fenomena itu bisa jadi merupakan kecenderungan kolektif dan berkaitan dengan pola-pola interaksi dalam masyarakat yang berlangsung secara tak kasat mata.
Sebagai pengamat, Near jeli melihat fenomena-fenomena dalam masyarakat. Mulai dari aktivitas yang terjadi sehari-hari dan dianggap biasa, lalulintas arus informasi, tren yang berkembang, kecenderungan budaya massa, praktik produksi, distribusi, dan konsumsi massa, hingga hal-hal lain yang terjadi di seputar masyarakat.
Meme “tentang Desember” di atas misalnya. Ini adalah sebentuk analisis sosial yang hanya bisa disadari dan disimpulkan berdasarkan pengalaman yang dialami secara terus menerus. Pengalaman ini mungkin menjadi pengalaman banyak orang dalam tataran pra-refleksi.
Namun di tangan Near, pengalaman sederhana dan biasa ini dijadikan sebagai materi sekaligus medium untuk membangun cermin bagi refleksi sekian banyak orang. Tentu dengan nuansa humor yang kering dan penuh sinisme.
Hal yang juga menarik, komparasi yang ia tawarkan sebenarnya mewakili dua elemen struktural penting dalam masyarakat. Komparasi itu hadir melalui wujud Gereja dan salon. Dua simbol (locus) yang mungkin tanpa kesadaran reflektif tidak dilihat hubungan keterjalinannya.
Baca juga: Molas Rigit, Keriting Berbahaya, dan Rambut Rebonding Jelang Natal di Ruteng
Dari meme singkat ini, ia menggambarkan kondisi sosial religius masyarakat di daerah timur (minimal di tempat asalnya, Maumere) yang mayoritas beragama Kristen. Desember yang identik dengan Natal sebagai hari raya yang bersifat kudus dan sakral ditautkan dengan praktik atau gaya hidup masyarakat yang sifatnya konsumtif dan profan.
Ini menegaskan dengan cara yang aneh, pola dan keterjalinan tak sadar yang berlangsung dalam relasi antara orang-orang yang merayakan Natal dan praktik-praktik konsumerisme yang jika ditarik lebih jauh selalu bersentuhan dengan kapitalisme.
Kedua variabel ini seakan-akan mempengaruhi satu sama lain, meski secara esensial keduanya bertolak belakang. Jangan lupakan cap mistik yang disematkan oleh beberapa ahli bagi kapitalisme: exploitation de l’homme par l’homme. Semboyan ini tentu sangat bertentangan dengan solidaritas Natal.
Ah, rasanya terlalu jauh membahas kapitalisme di sini. Terlalu berlebihan juga kita membingkai Fenomena Rakat sebagai kampanye gerakan kiri yang murni terhindar dari bias kapitalisme. Toh, praktik kebudayaan Fenomena Rakat tetap bergantung pada bisnis telekomunikasi yang berjibaku dengan kepentingan politik ekonomi.
Selain itu, belakangan, konten postingan-postingannya tidak lagi banyak berupa olahan pribadi. Video-video unggahannya belakangan ini adalah sejenis hasil kurasi dari followers yang tergila-gila dengan popularitasnya yang kian melambung. Pelan-pelan, tanpa disadari banyak orang, sasaran massa Fenomena Rakat yang dulunya terproyeksi pada mahasiswa-mahasiswi perantau, kini telah meluas dengan identifikasi yang kian kompleks.
Fenomena Rakat menjadi akun yang murah hati. Menerima setiap usulan unggahan video dari satu fans, selanjutnya, memenuhi permintaan para fans lain yang ingin memiliki video-video lucu yang diunggah tersebut.
Tentu ini sebuah investasi sosial yang tidak murah dan mudah. Minimal, Near sebagai admin butuh asupan pulsa data untuk lalu lintas distribusi konten Fenomena Rakat. Untung saja ada jaringan WiFidi tempat ia bekerja. Walau dengan WiFi ia bisa berhemat,tetapi itu tetap harus dibayar dengan uang, bukan?
Sampai di sini, saya harus mengakui bahwa disposisi Near sebagai pengamat bukan perkara mudah. Konsistensi berkaryanya melalui Fenomena Rakat akan tetap berlangsung bila dilakukan dengan intensitas tertentu plus komitmen yang dijaga baik. Saya menyebut ini praktik kebudayaan, karena kontemporaritas budaya di era milenial ini menuntut penyesuaian perlakuan—baik secara praktik maupun perspektif.
Hanya dengan mengadaptasi pola interaksi, lalu membentuk modal sosial yang tidak semua orang bisa sadari, di kemudian hari Fenomena Rakat berhasil memunculkan fenomena baru—termasuk Karna Su Sayang yang telah membuat baper hampir seluruh masyarakat NKRI. Saya akan bahas mengenai youtube hits itu di artikel selanjutnya! (*)
–
27 Oktober 2018.
Eka Putra Nggalu bergiat di Komunitas KAHE. Menulis cerpen, puisi, esai di sejumlah media. Bersama teman-temannya sedang menyiapkan event Maumerelogia III.
Wow…. lebih menyegarkan lagi dan lebih tau lagi sosok akun yang fenomena ini.. good job Near, god job Fenomena rakat. Thnks bung Eka sudah hadirkan tulisan ini..
Terima kasih, Jefri Kevin NR