Kita pernah berhadapan dengan informasi lowongan kerja yang bikin sesak dada. Apalagi saat kita sedang mencari pekerjaan, ada informasi lowongan kerja yang sesuai, tetapi betapa persyaratan tidak bisa kita penuhi. Duh!
Pernah ada meme tentang perbedaan informasi lowongan kerja kita (baca: orang Indonesia) dengan orang-orang luar (baca: negara-negara maju).
Di luar, misalkan yang dibutuhkan pemilik kerja adalah seorang desainer grafis, maka yang tertera di informasi lowongan kerja (selanjutnya: info loker) adalah penguasaan calon pencari kerja pada tools pembuatan desain grafis standar: menguasai Corel Draw dan atau Adobe Photoshop. Artinya, bisa salah satu di antaranya sudah memenuhi syarat untuk mengajukan lamaran. Bisa dua-duanya adalah bonus.
Di kita, syaratnya bisa agak panjang: menguasai minimal tiga aplikasi pembuatan desain grafis, lulus dengan indeks prestasi kumulatif minimal tiga koma nol-nol, memiliki laptop sendiri, memiliki kendaraan sendiri, memiliki surat izin mengemudi, mampu bekerja dalam tim, mampu bekerja di bawah tekanan, memiliki pengalaman kerja minimal dua tahun di bidang desain grafis.
Syarat-syarat kita, entah bagaimana, rasanya memang standar-standar saja. Toh ada penjelasannya (paling tidak, kita pikir begitu). Seseorang dengan IPK yang baik pasti cerdas dan orang cerdas akan lebih mudah memahami visi perusahaan/organisasi. Memiliki laptop sendiri? Ya, itu wajib. Beberapa pekerjaan yang tidak bisa dia selesaikan di kantor akan diselesaikannya di rumah; target kinerja perusahaan akan lebih mudah terpenuhi. Kendaraan sendiri dan SIM? Tentu saja penting. Dia akan bertemu klien, bergerak, berpindah tempat. Bekerja dalam tim di bawah tekanan? HARUS! Ini perusahaan. Terdiri dari banyak orang yang bergerak ke arah yang sama. Akan ada tekanan, akan ada kewajiban untuk saling memahami, dan lain-lain.
Baca juga: Jaga Kesadaran Anda di Sepanjang Tahun Politik
Eh, tapi …
Begini. Seperti iklan-iklan obat serbaguna yang bisa menyembuhkan lebih dari satu penyakit, rasanya, memiliki terlalu banyak kemampuan akan membuat seseorang kehilangan sesuatu atau paling tidak mengalami pengurangan pada kemampuan spesifiknya. Desainer grafis tadi, misalnya. Yang diperlukan perusahaan itu bukankah adalah seorang yang bisa membuat desain grafis dengan baik? Urusan dia harus bertemu klien kan bukan pekerjaan dia semata. Ada sopir dan kendaraan kantor yang bisa mengantarnya ke sana. Ataukah perusahaan itu memang tidak punya divisi itu?
Begitu kira-kira perdebatannya di level paling sederhana. Tetapi kita tentu saja tahu, setiap perusahaan memiliki kebijakannya masing-masing. Kebijakan yang pada bagian berikutnya, jika dipikirkan dengan lebih serius, sesungguhnya dapat saja berujung pada eksploitasi tenaga kerja. Upsss … Seorang SATPAM wajib memiliki sertifikat/ijazah SATPAM dan memiliki SIM A, itu bagaimana? Dia akan menjaga keamanan atau akan mengantar orang ke mana-mana? Atau sekalian menjaga keamanan ketika mengantar? Gajinya bagaimana? Dibayar untuk dua keahlian itu atau hanya satu dan yang lainnya adalah bonus sebab telah membantu menekan biaya produksi dan dengannya berarti membantu produktivitas perusahaan; begitu? Please …
Seseorang (dari kalangan biasa/orang-orang kebanyakan) akan menjadi semakin baik jika hanya menekuni satu keterampilan. Fokus. Dan, sialnya, sebagian besar dari seluruh penduduk bumi adalah orang-orang kebanyakan. Tukang las yang mengaku bisa jadi tukang kayu sekaligus tentu tidak terlampau layak dipercaya menangani pekerjaan las-las yang memerlukan ketelitian tingkat tinggi, meski sama-sama tukangnya. Kayu dan besi adalah dua urusan yang berbeda.
Sampai di tingkat mana pun kita berdebat, satu resep tidak bisa untuk lebih dari satu penyakit. Sebaliknya, satu penyakit bisa ditangani oleh lebih dari satu resep. Para resep itu bekerja sama, keroyokan menyelesaikan penyakit itu. Sopir mengantar desainer grafis dan seorang sekuriti menjaga agar desain serta desainer grafisnya ‘tidak kenapa-kenapa’. Sederhananya begitu. Desainer grafis bisa kalian ganti dengan keahlian lain: aktor, manajer keuangan, gubernur, you name it.
Informasi Lowongan Kerja Guru ‘Superman’
Satu resep untuk segala macam penyakit dalam informasi lowongan kerja kita saya lihat beberapa waktu lalu. Satu sekolah mengeluarkan info loker dengan syarat yang agak lain. Saya kutip lurus dari foto yang beredar ramai di media sosial:
Dibutuhkan Guru matapelajaran Bilogi (1 Orang) dengan persyaratan:
1. Berijazah S1 Pendidikan Biologi atau S1 Biologi + Sertifikat Pendidikan Biologi ( telah memiliki sertifikat pendidik )
2. Alumni kampus dengan Program Studi Terakreditasi A
3. Memiliki IPK Minimal 3,
4. Memiliki kemampuan di bidang seni dan beladiri kempo ( FKI) Bisa menjadi pelatik music ( Dram, Gitar, Orgel, dll)
5. Menguasai IT
Begitu daftar persyaratannya. Untuk sekolah di Borong. Manggarai Timur. Asli. Begitu. Dan serentak bikin ramai. Sebab rasanya lowongan kerja yang satu ini memang agak laen ya … Terlepas dari syarat dua dan tiga yang sudah lumayan sulitnya, syarat empat sungguh-sungguh agak laen. Maksud saya, satu lembaga pendidikan seharusnya memiliki guru bidang studi lain untuk dua hal itu: bidang seni dan olah raga. Mengapa membebankan pekerjaan itu pada seorang guru Biologi?
Baca juga: Cara Menonton Lomba Cerdas Cermat
Karena itulah saya tidak merasa heran ketika warganet mulai menambah syarat-syarat lain sebagai bentuk protes dalam nada-nada lucu: menguasai ilmu air, api, udara; pernah menjadi finalis Indonesian Idol; mampu membantu persalinan; dan lain-lain. Lucu sekali.
Tetapi sang pemilik pekerjaan punya alasannya sendiri. Setelah informasi lowongan kerja dengan syarat-syarat ajaib itu ramai jadi perbincangan publik, dia menjawab: “kami membutuhkan pembina kegiatan ekstrakurikuler sebagai tugas tambahan jika calon guru bisa memenuhi persyaratan pada poin empat.” Beberapa orang lain mendukungnya. Kurikulum Merdeka Belajar dibawa-bawa, dijadikan alasan bahwa syarat-syarat dalam info loker itu sama sekali tidak laen. Istilah pengajaran dan pendidikan dipaparkan dengan baik, memadai, dan terutama mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan peserta didik. Anak-anak membutuhkan pendampingan yang komperhensif. Kira-kira begitu.
Eh, tapi …
Soal-soal tadi sesungguhnya barus saya pikirkan ketika mulai lagi mengisi blog ini di Ruteng. Hal-hal yang sepintas ada dalam benak saya soal info loker (ajaib) itu sudah saya tulis di akun facebook saya beberapa waktu lalu. Untuk didiskusikan.
Saya menulis begini:
Saya senang sekali membaca penjelasan dari kepala sekolah yang mengeluarkan informasi lowongan kerja bagi calon guru (mengutip salah satu media) “superman”. Keputusan menjawab perbincangan di medsos itu membuktikan bahwa beliau dengan sadar melakukannya–membuka lowongan dengan syarat-syarat yang membuat warganet geleng-geleng kepala. Kebutuhan sekolah, peluang yang diperoleh dari apa yang disebut merdeka belajar, dan alasan-alasan lainnya, katanya, memungkinkan hal seperti itu terjadi. Saya terutama senang karena beliau menjawab. Sebuah sikap kestaria–kita membutuhkannya: tidak lari, tidak diam, tampil memberi penjelasan, penjelasan yang tampak masuk akal.
Guru-guru, pegawai-pegawai, karyawan-karyawan, pekerja-pekerja, dan kita semua memang harus memiliki harus memiliki kompetensi lain agar survive, agar berguna bagi lebih banyak orang, agar melakukan pekerjaan kita dengan lebih baik lagi.
Dirigen harus bisa baca not. Kemampuan tambahan semacam bisa baca not balok dan skala pada fred gitar akan membuatnya lebih baik lagi. Sedangkan menguasai cara kawin fanili tidak akan berdampak apa-apa pada tugasnya sebagai seorang dirigen, meski itu adalah kemampuannya yang lain. Pemain sepak bola harus bisa tendang bola, memahami perbedaan throw in di sepak bola dan futsal, dan punya sepatu bola sendiri. Kemampuan tambahan semacam berlari lebih cepat dari Mbappe dan sedikit bisa bela diri akan membuatnya lebih baik lagi. Sedangkan pengetahuannya tentang kapan seekor calon induk babi birahi dan harus dikawinkan tidak akan banyak membantunya dalam sepak bola, meski beternak babi adalah profesinya yang lain.
Kemampuan tambahan dirigen dan pemain sepak bola tadi, akan banyak membantu seorang guru biologi dan anak-anak yang dibimbingnya. Merdeka Belajar menginginkan para peserta didik menguasai keterampilan-keterampilan (yang linier dengan materi pembelajaran) dan guru yang baik adalah yang memiliki kompetensi lain yang terletak pada satu garis lurus dengan mata pelajaran yang dia ampu.
Baca juga: Filter Bubble, Echo Chamber, dan Pilihan Reset Media Sosial
Ya, saya memikirkan ini sekarang. Sebab, kompetensi lain yang dijadikan syarat melamar bagi calon guru Biologi di sekolah itu, seperti kempo sesungguhnya lebih tepat bila ada pada seorang guru olahraga dan menguasai beberapa alat musik sesungguhnya sebaiknya dimiliki oleh seorang guru seni budaya. Bagaimana jadinya peran guru olahraga dan seni budaya ketika seorang guru biologi memiliki kompetensi yang justru seharusnya adalah milik mereka?
Bagi para murid, kehadiran semakin banyak guru dengan ‘kemampuan lebih’ tentu saja sangat baik. Tetapi bagaimana dengan suasana kerja di ruang guru ketika situasi tumpang tindih kompetensi (dan nantinya tanggung jawab membimbing) itu terjadi?
Merdeka Belajar, saya kira, tentu juga menginginkan harmoni di ruang guru–yang akan berdampak pada harmoni di lembaga pendidikan itu. Itu satu hal. Yang saya pikirkan. Hal lain?
Pada syarat ‘kempo’, juga ditambahkan keterangan harus berasal dari FKI. FKI adalah salah satu induk organisasi kempo di Indonesia selain Perkemi. Bagaimana dengan peserta didik yang di luar sekolah mengikuti dojo yang diasuh oleh simpai dari Perkemi? Atau cabang olahraga bela diri yang lain? Dan lain-lain, dan lain-lain, dan lain-lain: hal-hal yang oleh beberapa orang disebut ‘netizen agak overthinking’ sebab terlalu banyak mencampuri urusan internal lembaga pendidikan. Ah… Merdeka Belajar juga menginginkan lingkungan (luar) turut membantu dunia pendidikan, to?
Cara netizen membantu kadang memang seperti itu. Menambah sendiri kriteria yang diperlukan oleh calon guru biologi yang hendak melamar. Kalau itu dianggap tidak masuk akal, abaikan. Kalau masuk akal, coba saja diterapkan. Siapa yang tahu bahwa kemampuan menguasai ilmu persalinan juga penting untuk seorang guru. Atau menguasai ilmu air, udara, api, dan tanah. Siapa tahu, to?
Saya tidak akan masuk ke wilayah upah/gaji. Kita tidak tahu berapa banyak yang akan diterima oleh seorang guru yang ‘superman’. Kalau misalnya seseorang akan lolos syarat-syarat itu, saya berharap dia akan mendapat upah yang layak: setiap kompetensi dihargai sepantas-pantasnya, sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya. Ini bahan diskusi. Kita bisa melakukannya dengan santai di kolom komentar.
Sekarang saya memikirkan ini. Begini. Niat memajukan dunia pendidikan itu sangat baik. Tetapi memberi banyak beban pada satu orang saja itu sama dengan soal satu resep untuk banyak penyakit tadi. Kita belum bicara soal rasio pengajar dan peserta didik. Dan hal-hal lainnya.
Katakanlah soal gaji guru dengan kompetensi superman itu dihitung per keahliannya, kita masih berhadapan dengan pertanyaan lain: kenapa gaji itu tidak dipakai untuk membayar guru khusus yang memang memiliki keahlian yang kita butuhkan? Misalkan seorang SATPAM akan dibayar lebih setiap kali mengantar paket/orang di kantor, kenapa tidak membayar orang lain saja untuk melakukan itu? Dan lain-lain, dan lain-lain, dan lain-lain.
Akan sangat banyak kalau harus dibicarakan di satu tempat ini saja. Kita perlu tempat yang lain. Semakin banyak diskusi akan semakin membantu cara kita menemukan orang-orang profesional yang dihargai dengan tepat. Agar tidak ada lagi informasi lowongan kerja dengan syarat-syarat ajaib.
–
7 Agustus 2023
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell