Reinard L. Meo mengingatkan pentingnya media massa ‘menyesuaikan’ diri dengan gerak zaman. Media massa cetak harus segera melakukan ‘revolusi internal’.
Oleh: Reinard L. Meo
Media-media klasik kita banyak yang akhirnya mati. Tabloid Bola sudah, beberapa koran bertiras besar juga sudah; sungguh menyayat hati. Artikel lama ini saya segarkan kembali sebagai semacam awasan bagi kita.
Alasan-alasan fundamental, di atasnya saya mendirikan bangunan artikel ini ialah (a)kecintaan saya pada media massa, (b)keyakinan saya bahwa media massa masih merupakan pilar keempat demokrasi, dan (c)sedikit pesimisme, sehingga artikel ini berakhir dengan beberapa anjuran kecil.
Slowness dan Quickness
Kompas, Minggu, 15 Maret 2015, hlm. 27, dalam rangka memaknai ASEAN Literary Festival yang kembali digelar di Jakarta, 15 – 22 Maret 2015, Bre Redana menurunkan sebuah catatan dengan judul, “Media, Sastra, Debat, dan Kritik Sastra”.
Bre melaporkan, di samping pertunjukkan dan workshop, diskusi juga dibuat. Rupanya, hemat saya, era kita kini mesti ditandai dengan semakin banyaknya momen untuk berdiskusi, yang tidak lain merupakan ajang perjumpaan pelbagai ide dan argumentasi, demi penyelesaian aneka problem yang tak terpisahkan dari setiap individu dan masyarakat.
Tanpa bermaksud mengeliminasi pokok-pokok seputar sastra, debat, dan kritik sastra, dalam artikel ini saya hanya mengambil gagasan Bre tentang distingsi media massa dulu dan kini. Dalam elaborasinya, Bre memberi kita signal signifikan, dengan berfokus pada media cetak kita saat ini. Yang jelas, para pekerja media sekarang merasakan kian sulitnya media cetak menyelenggarakan fungsi yang pada puluhan tahun silam dapat dipresentasikan dengan enteng. Hal ini tidak dapat dimungkiri sebagai efek logis dari derasnya arus digitalisasi.
Dalam totalitas prosesnya, mulai dari penyuntingan, pengaturan, perwajahan, penilaian melalui mock-up sebelum naik cetak, sampai proses di mesin cetak itu sendiri, pada zaman kontemporer ini bolehlah disebut sebagai produk kelambanan, keleletan, atau slowness. Hal ini benderang, tegas Bre, guna membedakannya dengan proses yang diproduksi lewat media digital.
Digitalisasi bersifat segera, gesit, tak kenal lelet, atau quickness, dan memang demikianlah yang didambakan manusia-manusia (post)-modern.
Memberikan jawaban atas pertanyaan mengenai peranan media terhadap perputaran informasi tanpa mempertimbangkan konstelasi atau proses produksi media cetak tersebut, memang amatlah nihil. Motif dan niat, baik dari media itu sendiri, pekerja media, sampai pada khalayak secara lebih global, digerogoti oleh spirit kebergegasan, ketergesaan, sehingga tak ada waktu untuk mencerna kekinian, present time, apalagi masa lalu, past time.
Baca juga: Penetrasi Digital pada Generasi Milenial dan Urgensi Pendidikan Kritis
Semua orang semata-mata berada pada posisi siap mengambil ancang-ancang untuk sebuah ‘lomba lari’, kita semua berkemas-kemas untuk menggapai yang akan datang, the future. Bahwa setiap zaman tentu mengenal trend, kita sepakat. Hanya saja Bre membuat pembedaan. Kalau dulu sebuah tren (misalnya celana kain model trompet) bertahan selama 30-an tahun, kini (misalnya model potong rambut) survive selama 30 hari, 3 minggu, 3 hari. Ini fakta media massa kita dewasa ini, sebuah pergeseran dari slowness menuju quickness, serentak awasan bagi media-media cetak kita.
Media Massa dan Khalayak
Sebuah media disebut sebagai media massa mengandaikan pejumpaannya dengan khalayak, dengan massa rakyat. Di situ, media mempresentasikan aspek sosialitasnya. DeFleur dan Ball-Rokeach melihat pertemuan khalayak dengan media berdasarkan tiga kerangka teoretis (Jalaluddin Rakhmat, 1986, 196-197) berikut.
Pertama, perspektif perbedaan individu. Perspektif ini memandang bahwa sikap dan organisasi personal-psikologis individu akan menentukan bagaimana individu tersebut memilih stimuli dari lingkungan, dan bagaimana ia memberi makna pada stimuli tersebut. Kekhasan ini berpotensi menghasilkan perbedaan pengaruh media massa terhadap tiap-tiap individu.
Misalnya, facebook bagi seorang yang kreatif tentu akan menuntun ia menuju kreasi-kreasi baru, sedangkan bagi seorang yang kurang selektif, facebook hanya akan menghabiskan waktu, sia-sia.
Baca juga: 10 Plus Satu Hal Paling Diingat tentang Ruteng
Kedua, perspektif kategori sosial. Perspektif ini memandang bahwa dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial, yang reaksinya pada stimuli tertentu cenderung sama. Golongan sosial berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendapatan, pendidikan, minat, tempat tinggal, dan keyakinan beragama tertentu misalnya akan berdampak pada pemilihan media dengan respons yang kurang lebih sama.
Sebut saja, anak-anak akan memilih Majalah Bobo, Kunang-kunang, atau Sahabat. Ibu-ibu akan memilih Femina, Kartini, atau Sarinah. Para peminat sastra akan memilih Jurnal Sastra Dala ‘Ela, Horison, Santarang, Sendal Jepit, atau Kumpulan Puisi, Esai, dan Cerpen.
Ketiga, perspektif hubungan sosial. Perspektif ini menekankan pentingnya peranan hubungan sosial yang informal dalam mempengaruhi reaksi orang terhadap media massa. Lazarfeld menyebutnya, ‘pengaruh personal’. Perspektif ini tampak pada model ‘two steps flow of communication’.
Dalam model ini, informasi bergerak melalui dua tahap, (a) informasi bergerak pada sekelompok individu yang relatif lebih tahu dan sering memperhatikan media massa, dan (b) informasi bergerak dari kelompok pertama-disebut juga ‘pemuka pendapat’ menuju individu-individu yang bergantung pada mereka.
Misalnya, sosialisasi tentang pentingnya pendidikan oleh para pekerja Media Pendidikan Cakrawala NTT kepada masyarakat NTT.
Baca juga: Media Massa, Politisi, dan Khalayak yang Pasrah
Beberapa Anjuran
Yang saya maksudkan dengan pesimisme sebagai salah satu alasan yang mendasari artikel ini ialah fakta bahwa media massa belum sungguh maksimal memainkan perannya. Hingga kini, kita masih mendapati fenomena pembredelan sejumlah media, fenomena media yang non-edukatif, yang tidak berimbang dalam informasi, cenderung memihak golongan tertentu, dan yang lebih mengutamakan prospek bisnis ketimbang penyajian berita yang konstruktif, seturut ideal demokrasi.
Untuk itu, awasan Bre Redana di atas mesti dibaca dalam bingkai refleksi tanpa sebuah upaya membangun tembok negasi. Artinya, kita telah meninggalkan Milenium Kedua dan tengah berenang dalam kolam Milenium Ketiga, yang ditandai aneka persaingan, beragam prospek, serta pluralitas kiblat bisnis. Realitas yang tersaji juga berbeda, membawa serta kekhasan masing-masing.
Ini fakta-fakta yang tak dapat kita sangkal. Di tengah ketegangan antara slowness dan quickness, para pekerja media dipanggil untuk sesegera mungkin bersikap. Poin ini tentunya lebih diperuntukkan bagi para pekerja media cetak. Perlu apa yang disebut sebagai ‘revolusi internal’ dalam menghadapi badai digitalisasi yang otomatis membawa lebih banyak kemudahan, bersifat segera, gesit, tak kenal lelet, quickness.
Dan karena pada prinsipnya setiap media itu memiliki aspek sosialitas dan memainkan peran edukasinya, relasi dengan khalayak mesti juga terus mengalami revolusi. Media massa mesti peka membaca tanda-tanda zaman, jeli menangkap kebutuhan khalayak, digerakkan oleh semangat egaliter dan seimbang, serta tidak provokatif. Singkat kata, betul-betul mempresentasikan tugas pokok dan fungsinya sebagai pilar keempat demokrasi kita.
Menyadari bahwa kita tidak mungkin memisahkan diri dan hidup dari media massa, pada akhir artikel ini saya sekali lagi mengajak khalayak untuk mencintai media, mendukung media sebagai pilar keempat demokrasi, serta secara berkala mengajukan kritik dan saran demi pembenahan terus-menerus. (*)
–
22 Oktober 2018
Reinard L. Meo. Selain melakoni ‘profesi’ sebagai Pengamat Pesta, Reinard L. Meo juga menulis artikel, puisi, dan reportase di sejumlah media. Buku puisinya berjudul Segala Detikmu (Bawah Arus, 2016).
–
Gambar dari Republika Online.
Trimakasih tulisannya kae
Sama-sama. Terima kasih sudah mampir 😀