9 Februari adalah Hari Pers Nasional. Wartawan kini banyak yang mati karena media sosial. Kok bisa? Terjadi information overload, Saudara-saudari!
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik. Ini pengertian pers berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999. Ada wartawan di dalamnya.
Catatan ini sesungguhnya tidak untuk memeringati Hari Pers Nasional tetapi sebagai surat pernyataan kecemasan. Saya cemas bahwa para wartawan adalah pengguna media sosial yang di lehernya ada Kartu Pers. Akan menyedihkan sekali kalau demikian, tetapi rasanya kecemasan itu berlebihan. TERUUUSSSS? INI SAYA MAU OMONG APA? Halaaah…
Begini. Pada hari pers, Presiden RI Joko Widodo kembali bicara tentang pers. Masuk akal karena hari ini peringatan Hari Pers Nasional. Kalau dia bicara tentang pembangunan, juga masuk akal. Karena Jokowi itu Presiden. Lalu yang tidak masuk akal? Tidak ada. Jangan paksa to? Apakah kalau ada hal yang masuk akal maka harus ada hal yang tidak masuk akal? Kalau memang harus, anggap saja catatan ini yang tidak masuk akal; bagaimana mungkin ada wartawan yang mati karena media sosial?
Baca juga: Inilah Empat Kesalahan Dasar Media Massa Indonesia
Kembali tentang Presiden Jokowi dan peringatan HPN 2018. Di Padang, Sumatera Barat, 9 Februari 2018, Presiden Jokowi menyampaikan pandangannya bahwa di era melimpahnya informasi saat ini, pers semakin diperlukan. “Untuk menyampaikan kebenaran, sebagai penegak fakta-fakta, dan pilar penegak aspirasi masyarakat,” ujar sebagaimana ditulis Tempo.co.
Ada dua hal yang menarik yang bisa dibahas. Pertama, ini adalah era informasi berlimpah. Kita tentu mengenal frasa information overload. Term ini pertama kali disebut dalam buku The Managing of Organizations karya Bertram Gross (1964), lalu menjadi populer dalam buku Alvin Toffler yang berjudul Future Shock (1970).
Apa itu Information Overload?
Information overload dipakai untuk menjelaskan situasi kita menjadi sulit mengerti tentang suatu isu–yang dapat berakibat pada sulitnya mengambil keputusan–bukan karena kita berjarak dengan informasi tentangnya tetapi karena terlalu banyak informasi mengenai suatu hal.
Dulu, orang tidak tahu bagaimana cara menggunakan garpu karena informasi tentang apa itu garpu tidak ada atau sangat sedikit tersedia. Sekarang? Sila ketik kata kunci garpu di kolom pencarian Google, kau akan diarahkan ke ratusan bahkan ribuan artikel yang berhubungan dengan itu garpu, sendok, dan lagu dangdut. Eh…
Lalu kau bingung dengan informasi yang terlampau banyak itu, lalu kau makan dengan cara paling akrab: tanpa sendok dan garpu tetapi tetap dengan iringan lagu dangdut. Lalu kau tidak mau ke restoran mewah karena jumlah garpu mereka yang terlalu banyak. Kau tidak mau salah menggunakan seafood fork untuk menusuk daging selama proses pemotongan hanya karena kau tidak tahu bahwa roast fork adalah garpu yang seharusnya kau pakai. Lagipula di sana tidak ada lagu dangdut koplo.
Information overload telah menyebabkan kau susah makan karena akhirnya kau mengetahui bahwa dalam sekali makan kau bisa berjumpa dengan tujuh jenis garpu, yakni snail fork, serving fork, roast fork, pastry fork, seafood fork, strawberry fork, oyster fork dan tidak satu pun dari seluruh jenis itu yang bisa kau identifikasi dengan tepat bentuk dan namanya. Damn you, Garpu!
Baca juga: Jika KPI Tidak Mampu, Televisi Tidak Mau? Siapkan Sensor Pribadi!
Information overload is a situation in which you receive too much information at one time and cannot think about it in a clear way, kata Cambridge Advanced Learner’s Dictionary & Thesaurus. Kata-kata yang berkaitan/berhubungan dengan information overload ini adalah confusion, confusing, feeling confused. Kalau mau ditarik lebih jauh, barangkali kita akan sampai pada confusing society, masyarakat yang bingung: ini garpu atau tusuk gigi atau pisau, lalu siapa nama penyanyi dangdut koplo ini? Eh?
Pada situasi itulah peran wartawan menjadi penting, dan merupakan hal kedua yang menarik dari pernyataan Presiden Jokowi. Peran wartawan sangat penting. Pers semakin diperlukan! Bukan untuk menjelaskan perbedaan garpu dan tusuk gigi dan Nella Kharisma, tetapi untuk menegakkan fakta-fakta agar interpretasi menjadi semakin dekat dengan kenyataan dan tidak bias.
Haruki Murakami dalam 1Q84 bilang, “Kenyataan selalu hanya ada satu.” Merujuk Murakami, maka tugas wartawan adalah menegakkan kenyataan (atau fakta) itu kepada publik tanpa memasukkan opininya, interpretasinya, keinginannya, atau keinginan orang yang membayarnya.
Tugas yang sulit? Tentu saja. Maka tidak semua orang bisa menjadi wartawan. Yang boleh menjadi wartawan adalah yang tahu bagaimana seharusnya menjadi wartawan dan bukan mereka yang ingin menjadi wartawan. Maksud saya, di dunia ini, modal keinginan saja tidak cukup. Kau harus tahu betul itu barang.
Untuk mengetahuinya, beberapa pelatihan wajib diikuti, peningkatan kapasitas personal dengan cara terus membaca harus dilakukan, dan terutama tidak merasa sebagai yang paling pintar hanya karena telah bergantung kartu pers di lehermu. Banyak yang bergantung padamu dan kau harus melalui banyak tahapan sebelum boleh menyebut dirimu wartawan. Menulis berita adalah salah satu tugas wartawan. Hanya salah satu!
Wartawan dan Information Overload
Etos kerja wartawan menjadi penting di tengah information overload agar berita atau produk jurnalistik dapat kembali ke nilai-nilai awal: penting, bermanfaat bagi banyak orang, menyangkut kebijakan publik, mendorong terjadinya perubahan, dan hal-hal lain yang ada di teori-teori jurnalistik. Sejauh yang saya ingat, viral bukanlah alasan sesuatu itu boleh menjadi berita.
Tetapi perhatikan media-media kesayangan Anda sekarang ini. Apa saja yang viral kemudian diolah menjadi berita dengan judul clickbait, lalu dapat honor, lalu pulang kampung dan mengumumkan kepada semua penduduk desa bahwa dia adalah seorang penyanyi dangdut, eh, sendok dan garpu, eh, maksudnya seorang wartawan. Ckckck… Wartawan kita hari-hari ini adalah orang yang melakukan tugasnya di kamar sambil melihat-lihat linimasa media sosial. Sungguh We O We alias WOW!
Wartawan yang kerja di kamar itulah yang umumnya menyebabkan confusing society. Publik diajak untuk terlibat ramai dalam diskusi tentang alasan seorang perempuan menghadiri pernikahan mantannya dan menyanyi di resepsi pernikahan itu dan mantannya itu memeluknya ketika dia menyanyi disaksikan oleh istrinya yang baru saja dia nikahi. What kind of news is that? Apa jenis dari berita adalah itu? Eh?
Baca juga: Asal Ikut Trending Topic, Jalan Cepat Menjadi Bebal?
Maksud saya, pada saat sekarang ini, apakah yang benar-benar membedakan wartawan dengan pemilik akun media sosial selain kartu pers? Barangkali tidak ada. Kalau ada, jumlahnya mungkin tidak terlampau banyak.
Semua berita tentang Presiden, isinya mirip (untuk tidak menyebutnya sama) dengan apa yang ditulis oleh tim media Presiden di akun-akun media sosialnya. Presiden Jokowi (dan timnya) paling gape memanfaatkan kemajuan media sosial dan memaksimalkan penggunaannya dengan sangat luar biasa.
Apakah menjadikan media sosial pejabat publik sebagai sumber pemberitaan itu salah? Tentu saja tidak. Tetapi pada titik yang sama, dengan hanya mengutip media sosial, wartawan semakin jauh dari “menjadi pribadi yang kritis”. Padahal tugas wartawan sungguh berbeda dengan tugas kehumasan.
Ingat! Semua yang ditulis di media sosial yang dikelola pejabat publik dan timnya adalah sesuatu yang baik tentang karya mereka. Tugas wartawan adalah mencermati apakah yang diinformasikan baik itu benar-benar berdampak baik bagi publik atau tidak. Caranya? Jangan asal kutip. Pakai rilis di media sosial itu sebagai dasar untuk mencari fakta-fakta di lapangan dan menegakkannya. Hanya dengan demikianlah wartawan dapat menjadi (mengutip Presiden Jokowi) pilar penegak aspirasi masyarakat dan selanjutnya menjadi profesi yang dapat dipercaya sebagai sumber informasi publik yang benar.
Apa yang terjadi kalau wartawan atau jurnalis atau dunia pers secara umum hanya ikut arus media sosial? Ya, itu tadi. Information overload. Kita tentu sepakat bahwa pelaku media sosial di Indonesia itu luar biasa banyaknya, baik yang menggunakan akun asli, maupun yang bermain dengan akun palsu. Mereka adalah orang-orang mengendalikan informasi berdasarkan kehendak sendiri.
Karena kemampuan menulis yang baik, beberapa pelaku media sosial dengan segera menjadi influencer. Karena para wartawan malas, mereka mengutip/menulis ulang status si influencer itu untuk berita mereka. Berulang-ulang, sampai akhirnya penguasa informasi adalah si influencer, dan karena dia hanya seorang diri, lalu lebih mudah “dikendalikan”. Misalnya: pemilik modal mendekatinya, memintanya menulis tentang sesuatu dalam hubungan dengan pencitraan, lalu wartawan mengutipnya. Dan kita semua hanya bisa menahan ingus sebab sedang influensa.
Sudah lihat skemanya?
1) Media sosial –> influencer –> follower –> viral –> wartawan –> berita. 2) Pemilik modal –> influencer –> status promosi –> viral –> wartawan di kamar –> berita. 3) Berita –> masyarakat –> bingung. Ini terjadi karena perang influencer; you should know what I mean.
Oh, saya mohon maaf. Ada yang barangkali bertanya tentang apa itu influencer? Ini definisinya: An influencer is an individual whose actions and opinions carry more weight with their colleagues, social network and the general public than is the case with most other individuals. Kata kuncinya: individual.
Lalu kita sampai pada pertanyaan: Apakah wartawan, jurnalis, dunia pers kita akan dengan mudah digerakkan oleh seseorang saja?
Menjawab ini, lihatlah tulisan-tulisan yang mereka sebut berita dan tayang di situs-situs yang mereka sebut portal berita itu. Kalau mereka clickbait, maka begitulah. Kalau mereka kritis, maka tidak begitu. Apa itu clickbait? Konten di internet yang tujuan utamanya adalah klik. Umumnya bergaya begini: judulnya bombastis, beritanya kosong.
Baca juga: Sejarah Hashtag/Tagar dan Pengguna Medsos Kekinian yang Asal Pakai
Seandainya benar bahwa dunia pers kita terjebak di sana, maka bukan hanya information overload yang terjadi tetapi mandeknya perubahan sosial. Padahal, sekali lagi, padahal, salah satu fungsi media massa adalah transformasi nilai.
Halo, Teman-teman! Nilai apakah yang dapat ditransfer dari berita tentang seorang perempuan bugil naik sepeda motor? Isi berita itu adalah tentang perempuan yang baru saja membeli sepeda motor, memarkirnya di ruang tamu, kemudian melakukan swafoto telanjang dengan sepeda motor barunya itu. Foto-foto itu tersebar di media sosial karena handphone-nya dicuri dan si pencuri mengunggahnya untuk mendapat ribuan pengikut baru. Lalu kita sibuk berdebat tentang pantas tidaknya seseorang mengambil gambar dirinya saat sedang telanjang. PERDEBATAN MACAM APA ITU?
Tetapi bagaimanapun, wartawan adalah profesi yang mulia. Terutama kalau mereka terus belajar dan benar-benar berjuang menjadi pilar keempat setelah tiga pilar dalam trias politica Montesquieu. Selamat Hari Pers Nasional. Semoga wartawan tidak mati karena media sosial.
—
9 Februari 2018
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
—
Ilustrasi diambil dari Psychology Today.
Selalu punya ulasan menarik dari Ranalino.id. Terima kasih kae
Halo, Erik. Terima kasih sudah mampir e. Sukses 😀
Jujur sj sekarang saya kesulitan membedakan wartawan dan bukan wartawan… sama bingungnya membedakan mana berita dan bukan berita…itu di tv2 ada istilah 'jurnalisme warga'.. macamnya tu skema di atas berlaku.. entahlah, saya menikmati semuanya … selamat hari pers kepada semua.. wartawan atau bukan…
Satu lagi pak armin… kenapa musti bawa2 imam s arifin dalam hal ini? Hehehehehehe..Yg kekinian dikitlah.. setau saya imam s arifin pelantun dangdut mellow…yg koplo2an mgk mansyur s ato meggy z(???) ..
Saya hampir pasti tidak bs membedakan mana wartawan/jurnalis dan bukan..dan mana yg layak jadi berita dan sebaliknya ..itu di tv tv ada sebut2 'jurnalisme warga'..apa Maksudnya e? Macamnya tu skema di atas berlaku…ato mgk saya yg kurang ilmu shg hrs byk cari tau.. Satu lagi pak…
Hahahaha… saya suka namanya e. Ada Imam-nya. Kesannya bagaimanaaa begitu. Hehehe
Jurnalisme warga atau citizen journalism itu pertama kali di Indonesia dimulai oleh radio Suara Surabaya. Mereka meminta pendengar untuk menginformasikan kejadian-kejadian penting via telepon ke radio. Tetapi tidak semua laporan bisa on air. Ada screening di gate keeper sehingga info yang masuk benar-benar bermanfaat. Konsep citizen journalism menjadi kacau ketika tidak ada “gate keeper” tadi.
Terima kasih sudah mampir 🙂