kandidat dan timses berpelukan mesra jangan heran

Atas Nama “People Change”, Kandidat dan Timses Memeluk Mesra Mantan Musuh Mereka

“Mengapa dalam setiap ajang politik ada saja orang yang mengkhianati mulut masa lalu mereka?” Kandidat dan timses tiba-tiba memeluk mesra orang-orang yang pernah mereka caci-maki.


Atas nama people change kita menatap setiap perhelatan politik baru—pilbup, pilgub, pileg, pilpres—dalam gaya terbaru (untuk tidak menyebutnya terbalik 100 persen). Sebagai bagian dari geliat tersebut, beberapa pertanyaan kerap berdengung atau didengungkan dengan tujuan mengingatkan sekaligus menggugah (baca: mengganggu).

Ada banyak pertanyaan. Yang paling sering disampaikan adalah mengapa seseorang dengan berani memutuskan untuk menjadi tim sukses a.k.a timses dari kandidat yang dahulu dia benci? Atau kalau pertanyaan tersebut terdengar terlampau personal, ‘kandidat yang dahulu dia benci’ saya ganti saja dengan ‘kandidat yang sikap, pilihan bersikap, ide-idenya sekarang atau dahulu tidak terlampau kita sukai’. Mengapa, oh, mengapa… aku tak berdayaaa…. Di lembah yang berlumpur dan… #halaaah. Malah nyanyi. Maapken… Pertanyaan dalam nada yang sama juga bisa ditujukan kepada kandidat. Mengapa mereka tiba-tiba memuja partai tertentu padahal sebelumnya partai itu mereka maki-maki?

Yang paling parah adalah ketika ada kandidat yang mau “dikawin-paksa” dengan orang yang pernah dia remehkan. Sungguh perkawinan yang tidak menarik. Bapa-Mama Saksi-nya pasti susah senyum sepanjang upacara. Hmmm…. Hubungan antara kandidat dan timses ini memang menarik.

Baca juga: Mengapa Gratis Kalau Bisa Bayar?

Tetapi agar catatan ini tidak buru-buru selesai, saya mengajak kita semua menghindar dari konsep berpikir paling memaafkan, yakni: dalam politik yang abadi adalah kepentingan. Jangan ke sana dulu. Kita di sini saja. Di beberapa kemungkinan seputar people change dan hubungannya dengan sibu-ribuk politik kita-kita.

Subyek pada People Change dalam Politik: Kandidat dan Timses

Dalam perhelatan politik lima tahunan (sebagaian orang senang memakai istilah keren seperti kontestasi dan kandidasi, ckckckck sa tir mengerti itu istila dorang) yang secara sederhana dapat berarti kesibukan memilih pemimpin politik, ada tiga subyek. Yang dipilih (para kandidat), yang memilih (masyarakat), dan yang bermain bebas (timses). Ya, timses itu libero. Dia bisa disebut sebagai bagian dari kandidat, tetapi pada saat yang sama juga merasa sebagai bagian dari masyarakat yang mengemban tugas berat membantu pemilih menentukan pilihan yang akan membawa perubahan besar pada masyarakat, bangsa, dan negara. Duh, mulia sekali.

BACA JUGA
Kemenangan yang Tiba-tiba dan Reaksi Buruk Rupa

Yang akan dibahas dalam konteks “manusia pasti berubah” adalah para kandidat dan timses itu. Mengapa demikian? Karena sesungguhnya kesibukan merekalah yang paling terasa dan paling menarik diutak-atik. Bukan berarti masyarakat pemilih itu tidak menarik. Tetapi, sejauh ini tugas mereka “hanya” mendengar, menyaring informasi, menentukan pilihan, memilih. Empat tugas itu berada di ranah privat. Tak baik mencampuri urusan pribadi seseorang, kan? *smile.

Oleh karena itu, mari kita memasang “people change” pada dua subyek saja. Kandidat dan timses. Agar dapatlah kita menerima dengan lapang dada ungkapan: dahulu besi sekarang genta, dahulu benci sekarang cinta cie cie cieee. Lagipula, di Manggarai kami mengenal kalimat yang berbunyi celung mori meu bom caling mendi ami, yang kira-kira berarti semua kesibukan kalian tidak akan berarti apa-apa bagi kami. Nah…

Yuk, mari! Saya akan langsung mengajak kawan-kawan sekalian untuk melihat dua hal berikut ini.

Pertama, tentang kandidat yang berubah. Dalam politik itu biasa. Artinya, akan selalu ada pemakluman umum atas peristiwa penyeberangan seorang kandidat. Mereka yang tiba-tiba kita lihat berpelukan mesra dengan mantan musuh. Dia bergelayut manja pada partai atau orang yang dahulu dia hina setengah mati.

Q: Mengapa ada tokoh yang demikian?

A: Ya, karena people change tadi.

Q: Iya, tahu! Tetapi kenapa dia berubah?

A: Nah, itulah. Saya juga tidak tahu.

Q: LALU KENAPA KAU BUAT CATATAN INI?

A: Sssst…! Lanjutkan membaca, yuk.

Sebagai jawaban atas pertanyaan seperti itu, daripada memaparkan penjelasan sederhana tentang “people change” dan “dalam politik yang abadi adalah kepentingan”, yang hanya akan membuat seseorang terlihat kurang diplomatis padahal seorang calon pemimpin harus diplomatis agar dipersepsikan sebagai orang cerdas, kandidat-kandidat yang menyeberang akan merumuskan kalimat super njlimet tentang bagaimana kini mereka menyadari kesesuaian visi misi partai dengan visi misi pribadi mereka yang terbaru. Ini! Ini, Kawan! Visi misi personal itu ternyata bisa diperbaharui. Kenapa saya baru sadar sekarang?

Dalam nuansa yang sama, para kandidat lalu membuat gambaran baru yang menarik tentang dirinya. Dia kini menjadi tokoh yang dekat dengan masyarakat kecil, menghargai perempuan, mencintai keadilan, menyesalkan lambannya pembangunan infrastruktur, dan mencintai lingkungan.

Secara cermat, kalimat itu disasarkan pada kelompok masyarakat yang membutuhkannya: rakyat miskin, aktivis, orang-orang yang bosan dengan perlakuan tak adil, mereka yang membutuhkan jalan raya, pemilik lahan. Dalam situasi seperti ini, masyarakat pemilih seperti dipaksa untuk berusaha mencerna penjelasan (yang tampak logis) tersebut, sehingga pada saat bersamaan serentak lupa pada rekam jejak pemilik kalimat-kalimat hebat itu.

BACA JUGA
Agnez Mo Begitu, Kita Begini, Tidak Sama

Baca juga: Kritik Tak Pernah Sepedas Kripik

Dengan kecenderungan pengguna media sosial yang dengan mudah digeser perhatiannya, serta kebiasaan masyarakat modern memahami soal hanya pada tingkat permukaan, para kandidat lantas bebas dari kejaran pertanyaan tentang masa lalu. Mereka tidak harus menjawab mengapa sekarang berkotbah soal moral padahal dahulu pernah dikabarkan melampiaskan nafsu seksualnya pada seorang gadis belia. Atau, mengapa sekarang bicara soal infrastruktur padahal dahulu pernah menyunat dana pembangunan. Atau, mengapa sekarang menanam pohon padahal dahulu membabat hutan. Enak sekali, bukan?

Ooops, sorry! Sampai di sini saya belum menyampaikan alasan mengapa banyak kandidat menyeberang ke sisi yang mereka benci bukan? Maksudnya, mengapa mereka dengan tahu dan mau dan dengan percaya diri melakukannya?

Hanya satu alasan selain alasan kepentingan yang abadi itu, yakni: INGATAN KITA PENDEK. Karena itu kita tidak bertanya. Siapakah yang mampu menyusun pertanyaan tentang hal yang telah hilang dari ingatannya? Siapa kita? Ya, kita. Masyarakat luas yang nantinya harus menggunakan hak suara untuk memilih orang-orang itu. Ingatan kita pendek. Mudah lupa bahwa yang sekarang kita puja-puja adalah orang yang sesungguhnya pada beberapa tahun sebelumnya tidak kita sukai.

Ingatan pendek adalah alasan antara, pilihan tengah. Saya enggan menggunakan pilihan tertinggi bahwa kita adalah manusia yang mudah memaafkan, karena toh tidak benar-benar demikian. Saya juga tidak akan memakai pilihan terendah bahwa kita adalah masyarakat yang mudah dibodohi karena meski itu sepertinya benar, tetapi kok rasanya agak kurang sopan, ya?

Q: Mengapa ada tokoh yang demikian?

A: Karena mereka berjuang untuk kepentingan mereka sendiri. Ingat! Yang abadi hanya kepentingan.

Q: Bukahkan itu alasan yang sederhana sekali?

A: Rumusan pertanyaannya yang terlampau sederhana.

Q: Harusnya bagaimana?

A: Mengapa mereka dengan tahu dan mau melakukan pengkhinatan atas dirinya sendiri?

Q: Lalu jawabannya?

A: Karena mereka tahu yang akan memilih mereka adalah sekelompok orang dengan ingatan yang pendek.

BACA JUGA
Kita Punya Pesta Demokrasi itu Begitu; Tidak Perlu Umbar Pujian atau Cari Muka

Q: ANJING! Lalu mengapa ada timses yang berubah arah dan kini mendukung calon yang dulu dia benci?

A: Sssst…. jangan mengumpat. Simak saja bagian lanjutan dari catatan ini.

Baca juga: Siapa Mr/Mrs. X Versi LSI Denny JA di Pilpres 2024?

Kedua, tentang timses yang berubah. Sesungguhnya, kondisi ini juga disebabkan oleh hal-hal yang sudah dipaparkan tadi: kepentingan pribadi yang abadi dan ingatan masyarakat yang pendek. Karenanya, pada bagian kedua ini saya tidak akan mengutak-atik soal alasan dan lebih memilih mengutip ringkas penjelasan-penjelasan super panjang yang saya dengar dari mereka-mereka itu, yakni:

  1. Berubah karena tidak ada calon lain yang lebih baik; pilihan minus malum.
  2. Berubah karena calon yang dahulu dia benci, datang ke rumahnya, meminta maaf atas kesalahan masa lalu; pilihan rekonsiliasi.
  3. Berubah karena tingkat kebencian terhadap kandidat saingan jauh lebih tinggi daripada kebencian yang dulu pernah ada; pilihan asal bisa balas dendam.
  4. Berubah karena satu-satunya kandidat yang meliriknya menjadi timses adalah kandidat yang dahulu dia benci; pilihan daripada tidak jadi timses.
  5. Berubah karena bayarannya kencang; pilihan ekonomi.
  6. Berubah karena sekarang menikah dengan famili dari kandidat yang dulu dibenci; pilihan keselamatan rumah tangga.
  7. Berubah karena tidak mau disebut sebagai orang yang gagal move on; pilihan anak zaman now.

Sesungguhnya, semua pilihan itu baik adanya. Yang membuatnya terlihat buruk adalah kenyataan bahwa tidak semua orang memiliki ingatan yang pendek. Ada banyak orang yang melihat mereka dan tertawa. Mau bilang apa? Toh, semua manusia pasti berubah. Termasuk berubah dari cerdas menjadi penjilat. Jangan heran kalau di hari-hari selanjutnya kau akan melihat banyak penjaga moral justru sedang berkotbah mendukung seorang pemerkosa. Di akhir kotbah, mereka akan memintamu memaafkan; ya calon yang mereka dukung, ya mereka-mereka itu.

Sampai di sini saja saya sanggup mengerjakan catatan ini. Saya mau ke apotek. Kalau mereka tidak jual anti muntah, semoga di sana tersedia ramuan perawat ingatan. Itu obat yang sangat kita butuhkan sekarang atau kita akan menari bersama orang yang tidak kita sukai.

6 Januari 2018

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Gambar dari Binus.ac.id.

Bagikan ke:

2 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *