piala pertama kita yang patah dan terlupakan ranalino.co

Piala Pertama Kita yang Patah dan Terlupakan

Masih ada yang ingat piala pertama apa yang dia terima? Piala tentu saja bisa diterjemahkan secara bebas, dan diganti dengan bentuk penghargaan; sertifikat, plakat, pujian, atau surat cinta warna merah jambu.


Judul catatan ini memang mau tidak mau menulis kata piala, itu karena asal kisahnya memang dari piala. Kalau kisahnya dari seekor kerbau, maka tentu saja judulnya juga harus memakai kata kerbau. Kalau tentang Om Rafael juga begitu. Tetapi apakah kita akan tega membaca judul seperti: Kerbau Pertama Kita yang Patah? Bayangkan betapa sulitnya mematahkan seekor kerbau. Kalau mematahkan Om Rafael, mungkin lebih mungkin tetapi untuk apa? Halaaaah.

Tentang piala pertama di rumah kami, begini ceritanya …

Beberapa tahun silam Kaka Rana terpilih sebagai Miss Brando. Itu adalah ajang pemilihan putra dan putri di sekolahnya, TKK Maria Christina Brando di Ruteng. Semacam queen and king kalau di luar negeri, ratu dan raja sekolah, atau molas agu reba dalam bahasa Manggarai.

Kaka Rana adalah salah seorang murid di sekolah itu. Artinya skala kegiatan itu begitu kecil. Tetapi kami tentu saja sangat berbangga. Membawa pulang piala itu ke rumah, selama beberapa saat Kaka Rana begitu senang memakai mahkota Miss Brando itu.

Kami lantas lupa peristiwa itu begitu saja. Tak berdaya melawan arus peristiwa besar lain seperti mengikuti Pilkada, merencanakan konser, memikirkan bagaimana membayar kredit bulan ini, atau mendiskusikan perjalanan hidup orang-orang di televisi yang kemudian menjadi populer di dunia meme.

Barangkali begitu. Bahwa kita adalah sekumpulan manusia yang kerap melupakan hal-hal kecil. Kalau bukan kita, paling tidak saya sendiri. Ya. Saya tidak lagi ingat bagaimana wajah Angga yang dulu pernah jadi teman menghabiskan malam menyusuri kampung Maumere, Katedral Lama, hingga ke haju langke nan rembong, pohon beringin di tengah kota Ruteng.

BACA JUGA
Anak Indonesia: Dari Batasan Usia Anak ke Peringatan Hari Anak Nasional

Mengukur peristiwa piala pertama Kaka Rana itu sekarang, rasanya seperti mengenang kejadian yang berlangsung berabad-abad silam. Dia sudah bukan anak TKK lagi dan anugerah itu dia dapatkan di  masa-masa bermain di TK. Jadi rasanya pantaslah kami semua lupa atau tidak sengaja lupa (adakah bedanya?).

Kondisi terkini: Piala yang Rana terima dari peristiwa itu sudah lama patah dan pernah dipaksa berdiri miring. Rana juga sudah lama selesai menikmati kesenangan menjadi Miss Brando itu dalam bentuk pameran piala. Lalu, tibalah kami semua pada satu peristiwa beberapa tahun kemudian ketika Kaka Rana sudah jadi anak SD:

Seorang anak putri diantar mamanya ke klinik gigi istri saya. Hendak memeriksakan giginya tentu saja. Kalau hendak memeriksa kesehatan lain, mereka akan ke klinik dr. Ronald Susilo, teman saya yang gila buku itu. Nah, sebagai salah satu bagian dari standar operasional prosedur pelayanan untuk pasien anak serta semua anak yang masuk ke ruangan periksa, drg. Celestin–istri saya yang cantik, jelita, penuh pesona, dan baru saja membeli sepatu baru itu–ngobrol dengan anak putri tadi.

Obrolan mereka tiba di bagian cita-cita. Anak putri itu bercita-cita menjadi apa? Bukan dokter gigi, bukan pula bloger dan tukang tipu-tapu seperti saya. Anak putri itu ingin menjadi Miss Brando. Demikianlah dia rajin menggosok gigi.

Taraaaaa… Miss Brando, sodara-sodari. Miss Brando. Sesuatu yang kami rasa sebagai peristiwa kecil, pencapaian yang bahkan tak lagi tinggal dalam ingatan, yang pialanya kini berdiri miring-miring. Kok bisa? Anak itu ingin menjadi The Next  Miss Brando. Serentak obrolan di klinik gigi itu begitu saja memanggil kembali ingatan akan peristiwa anugerah piala pertama di rumah kami itu. Bangkit dari apa yang barangkali oleh Sigmund Freud disebut sebagai alam bawah sadar.

BACA JUGA
Hadiah-Hadiah Tiba (Tak) Tepat Waktu

Lalu? Ini komentar saya dan istri.

Pertama, tak ada hal baik, sekecil apa pun itu, yang tak berakibat baik bagi orang-orang di sekitar kita. Kebiasaan sikat gigi itu adalah hal yang baik dan harus. Bahwa seorang anak melakukannya karena seorang anak lainnya memakai mahkota Miss Brando, bukankah hal yang kita anggap kecil itu sesungguhnya begitu besar buat yang lain? Kedua, ada begitu banyak mata yang melihat langkah-langkah kecil yang kau buat, bahkan tanpa kau sadari. Jadi berhentilah merasa sia-sia. Astagaaa… ini dua kesimpulan yang saya buat macam penting sekali im. Sa su macam Mario Teguh yang di tivi-tivi itu dulu im. Itu!

Ketika peristiwa itu kami ceritakan kepada Kaka Rana, dia terheran-heran dan bilang, “Really?” Ini waktunya kami masuk dengan nasihat seperti yang biasa orang tua lakukan dan biasa kita sebagai anak-anak abaikan: “Terus jadi anak yang baik, ya.” Kaka Rana tersenyum saja.

Obsesi Kaka Rana ketika peristiwa itu terjadi telah berpindah dari dunia putri-putrian ke menjadi seorang pelukis. Dan dia selalu bilang, “Saya dengan Bapa sama. Sama-sama suka kesenian.” Mamanya sempat merasa agak kurang hati. Untunglah Lino saat itu menyukai sikat gigi lebih dari apa pun di rumah kami. Impas. Sampai suatu saat kita semua lupa bahwa peristiwa-peristiwa itu pernah terjadi dan membawa kita ke hari ini.

Tentang bagaimana Rana merasa bahwa ayahnya menyukai kesenian, mungkin karena dia pernah nonton beberapa pentas kecil yang kami buat bersama komunitas Saeh Go Lino di Ruteng. Pentas yang kadang-kadang kami lupa pernah membuatnya, dan baru sadar ketika ada apresiasi yang datang jauh-jauh hari setelahnya.

BACA JUGA
Cerita Rana - Petir

Saya lalu ke sudut ruangan di mana kulkas kami bertahta. Bukan hendak mengambil minum, tetapi membersihkan piala patah yang kini berdebu. Kami menyimpan piala pertama itu di atas kulkas, karena siapakah yang menyimpan piala di dalam kulkas? Eh …

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *