cara menonton lomba cerdas cermat armin bell

Cara Menonton Lomba Cerdas Cermat

Judul tulisan ini sesungguhnya hanya Nonton Lomba. Bukan Cara Menonton Cerdas Cermat. Begitu saja, ketika tulisan ini pertama kali saya buat sebagai status facebook.


23 Juni 2022

Hari Senin, 20 Juni 2022, saya menonton Lomba Cerdas Cermat Tingkat SD Sekecamatan Langke Rembong. Kaka Rana, anak kami yang pertama, setelah di tingkat sekolah melalui proses serupa bersama dua temannya, Cesya dan Uno, dipilih mewakili sekolah mereka. SDK St. Theresia Ruteng V. Kegiatan itu dilaksanakan di SDK St. Maria Ruteng III, mulai pukul 09.00 Wita hingga pukul 19.00 Wita.

Mereka berlomba dalam tiga babak, bersama sekian banyak utusan sekolah-sekolah setingkat di Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai. Menonton itu mengingatkan saya dan mamanya pada masa beberapa dekade sebelumnya. Kami pernah juga menjadi peserta Lomba Cerdas Cermat dan mengalami hal-hal yang sama: menikmati kegiatan persiapan, mengalami ketegangan detik per detik lomba, menerapkan strategi sebaik mungkin pada babak rebutan, mensyukuri lawan yang kehilangan poin (bagian yang secara moral barangkali tidak disarankan), merutuki diri sendiri yang ragu memencet bel di babak rebutan padahal jawaban yang dipikirkan adalah jawaban yang benar, menghela napas lega setelah juri memberi nilai 100 pada jawaban yang kita sendiri ragu, sampai mengecap manisnya kemenangan di babak paling akhir.

Ya, SDK Ruteng St. Theresia Ruteng V akhirnya keluar sebagai juara setelah bersaing dengan lawan-lawan yang tangguh. Sungguh! Saya menyaksikan setiap babaknya dan melihat betapa setiap utusan sekolah telah menyiapkan diri mereka dengan sangat baik: membuat lomba berjalan begitu hebat dan kami di jendela penonton menahan napas begitu sering.

Baca juga: Sampah di Kota Ruteng

Panitia bekerja dengan baik sekali, tim penyusun soal/juri menyiapkan soal-soal dengan sungguh-sungguh, para pembina mengontrol tekanan darah mereka dengan minum air putih sesering mungkin, peserta berlomba dengan penuh semangat, dan kami, orang tua, menyanyikan lagu-lagu rohani (dalam hati) dengan sungguh-sungguh sebab bernyanyi dengan baik sama dengan berdoa dua kali. Qui bene qantat, bis orat.

Kemarin, menonton lomba cerdas cermat itu, adalah pengalaman yang hebat. Bertahun-tahun rasanya tidak ada lomba cerdas cermat. Kaka Rana pernah juga mengikuti kegiatan serupa beberapa waktu silam. Lomba literasi keuangan yang diselenggarakan OJK. Tetapi via zoom. Menyaksikannya secara langsung adalah hal yang sama sekali berbeda. Kami menikmatinya. Secara berlebihan: saya dan mamanya berapi-api menceritakan pengalaman kami puluhan tahun silam mewakili sekolah kami masing-masing–cara menikmati kemenangan anak dengan aneh, bukan? Beruntung Lino menyela perayaan mengherankan kami itu dengan bertanya: “Kalau saya nanti ikut macam Kaka Rana, kalian nonton juga ka?”

Apakah Kita Akan Menonton Lomba Cerdas Cermat?

Pertanyaan Lino membawa saya ke hal yang lain. Apakah kita, para orang tua, akan hadir pada hari-hari anak-anak kita berkompetisi? Pertanyaan ini bisa jadi akan mendapat jawaban beragam: akan hadir; kalau sempat; kalau diizinkan pak bos, hadir dalam doa; guru-gurunya pasti sudah membimbing dengan baik; kehadiran kami bisa bikin anak-anak gugup, dan lain-lain, dan lain sebagainya. Jawaban-jawaban itu mestilah berhubungan dengan kehadiran secara fisik di lokasi berlangsungnya lomba.

Tetapi kehadiran, tentu saja tidak hanya berarti menonton lomba cerdas cermat atau apa pun itu di bangku penonton. Ada hal-hal lain di luar bangku penonton itu yang sesungguhnya adalah pertanda kehadiran orang tua. Ketika mereka menyiapkan diri sebelum lomba, ketika mereka terlalu lama menghabiskan waktu di media sosial (yang tidak berhubungan dengan lomba), ketika mereka bangun pagi dan mencari makanan bergizi; bagaimana kita selama ini? Semoga tidak sibuk menyiapkan kopi untuk diri sendiri saja.

Saya beberapa kali mendengar kalimat begini: “Ini anak dorang macam tamba bodok saja. Kamu punya guru tida ajar ka?” Beberapa versi lain dengan maksud senada juga ada. Yang kira-kira berarti: Kamu harus belajar dengan baik di sekolah agar jadi lebih pintar. Yang juga berarti: Bapa-mama punya tugas itu ya cari uang supaya kamu bisa sekolah. Yang tentu saja berarti kita telah lupa bahwa pendidikan adalah sebuah pekerjaan bersama, holistik, dilakukan di semua tempat: rumah (pertama), sekolah, lingkungan, internet, dan masih banyak lagi. Sebab jika mencari uang agar anak bisa sekolah adalah syarat utama agar anak kita menjadi lebih baik, apakah bedanya kita dengan penyedia beasiswa yang merasa telah berjasa pada pendidikan sebab mereka telah menyiapkan uang? Tidak semua penyedia beasiswa itu begitu, tetapi ada yang begitu, dan orang tua jelas bukan lembaga seperti itu, to?

Baca juga: Anak Indonesia, dari Batasan Usia ke Peringatan Hari Anak Nasional

“Kalau saya nanti ikut macam Kaka Rana, kalian nonton juga ka?” Lino bertanya begitu. Kami memeluknya. Meyakinkannya bahwa tentu saja kami akan melakukannya. Menonton lomba cerdas cermat; sekarang bisa di lokasi, bisa juga secara hybrid. Tetapi bukankah memang seharusnya demikian? Orang tua hadir. Hadir setiap saat. Agar ketika menang kita bisa merayakannya bersama dan ketika kalah kita bisa membantu anak-anak lekas pulih dari kekecewaan mereka; dunia anak harus dijaga agar selalu menyenangkan: tugas orang tua.

Beberapa orang tua yang hadir di lokasi lomba hari Senin itu melakukannya. Memeluk anak-anak mereka yang belum meraih juara dan bilang: “Kami bangga kamu sudah sampai di sini.” Indah sekali. Barangkali benar, life is not race, it’s everything to celebrate . Bisa saja kita, orang tua dan guru pembimbing, kecewa dengan hasil yang tidak maksimal, tetapi mengatakannya kepada anak-anak yang baru saja berlomba adalah seburuk-buruknya kalimat yang bisa kita sampaikan. Mereka, anak-anak itu, sedang berjuang mengatasi kekecewaan mereka sendiri. Tambahan pengetahuan tentang orang-orang di luar mereka yang juga kecewa adalah beban yang tidak ringan. Iya to?

Setelah lomba, kami makan malam bersama. Dan nostalgia saya dan istri tentang lomba cerdas cermat yang kami ikuti berpuluh-puluh tahun silam mengalir deras. Sebuah perayaan yang agak keliru, tetapi toh sudah terjadi. Kami akan lebih berhati-hati di lain waktu, dan terima kasih kepada semua pihak yang membuat kegiatan kemarin itu berjalan hebat.

.

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell