Berapa banyak bagian yang sempat kita rekam dalam seluruh perjalananan kita? Banyak tentu saja, tetapi kita telah lama terbiasa mengingat bagian-bagian besar, bagian-bagian istimewa. Beberapa kisah kecil terlupakan, seperti saya tentang Angga.
Mencari Angga
Bagaimana Angga mengambil bagian dalam kisah saya barangkali tidak sangat penting. Dilupakan saja tidak masalah. Toh ada ribuan orang yang pernah saya temui dan beberapa di antaranya adalah orang-orang hebat dan istimewa–jika mereka muncul di televisi, saya akan langsung cerita: “Saya pernah satu meja makan dengan dia dan berdiskusi.” Pada saat yang sama beberapa nama lantas menghilang terutama nama-nama mereka yang “tidak istimewa”.
Namanya Angga, tiga tahun lebih muda. Saya kelas tiga SMA ketika itu, dia di kelas tiga SMP. Tempat tinggal saya hanya sekitar 500 meter dari asrama tempat dia tinggal. Ya, dia anak asrama di kota Ruteng ini, tinggal di asrama bersama beberapa orang lain yang menempuh pendidikan di kota ini, jauh dari kampung asalnya. Saya tidak tahu nama kampung asalnya, tetapi saya mengenal Angga sebagai anak yang ramah dan penurut.
Setiap malam Minggu saya selalu keluar rumah, menembus angin dingin hanya sekedar menikmati malam Minggu dengan cara yang aneh. Tidakbanyak sepeda motor, di Ruteng jalanan masih menjadi milik para pejalan kaki.
Ketika itu akhir tahun 90-an, dan saya takut anjing. Maka mencari teman yang bisa diajak jalan kaki pada malam Minggu adalah hal yang wajib saya lakukan jika ingin ritual aneh saya berjalan di malam Minggu bisa terlaksana.
Saya tidak ingat bagaimana persisnya mengenal Angga; mungkin suatu ketika kami bertemu di kios pisang goreng Tanta Herry di kampung Kedutul Nekang, lokasi kami tinggal di Ruteng, kota yang dingin, kota hujan. Setelahnya kami mendapati kami sedang berjalan keliling Nekang, bergerak ke kampung Maumere, menghabiskan beberapa batang rokok.
Baca juga: FF100K Karina – KarinaJika sedang bersemangat, kadang kami melebar sampai ke halaman Katedral Ruteng (sekarang Gereja St. Yosef), terus menyusur jalan dan duduk sejenak di kaki Beringin di lapangan Motang Rua, lalu kembali. Saya ke rumah, Angga ke asrama. Setiap malam Minggu begitu, mungkin sampai belasan kali.
Setelahnya, saya tamat dari SMA dan kembali ke kampung, istirahat setahun sebelum melanjutkan kuliah dan saya tidak bertemu Angga lagi sampai hari ini. Itu berarti lebih dari sepuluh tahun sudah. Angga ke mana? Tak ada kabar. Saya menyesal bukan karena karena tak melihatnya lagi, tetapi lebih berat adalah karena saya tak mengingat wajahnya lagi. Bagaimana mungkin saya tidak bisa menggambar rautnya di benak? Seorang anak yang sekarang dewasa, pernah menjadi bagian dari ritual malam Minggu saya, kini menghilang begitu saja.
Mea Culpa, Saya Berdosa, Mea Maxima Culpa, Saya Sungguh Berdosa. Ya, saya merasa menjadi orang paling buruk karena melupakan wajah seseorang yang pernah saya mintai menjadi teman jalan karena saya takut anjing. Saya hanya mengingatnya sebagai anak SMP yang selalu bilang, “Kae, sebentar jalan-jalan lagi ka?” Lalu kami menyusur jalan bersama dan sepuluh tahun kemudian saya tidak ingat wajahnya. Lord, bagaimana bisa?
Bagaimana kalau dia adalah orang yang tersenyum ramah dan menyapa saya di salah satu stand di pasar dan saya sapa balik sekedarnya karena merasa dia adalah salah seorang pendengar siaran saya? Atau mungkin satu dari beberapa tukang ojek yang menawarkan jasanya dan saya berlalu begitu saja sementara dia mengenal saya sebagai Armin?
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Bisa jadi dia ada di salah satu desa yang saya kunjungi dalam beberapa kesempatan tetapi saya tidak menyapanya karena saya lupa bentuk wajahnya, padahal dia sudah cerita ke sahabat-sahabatnya bahwa Armin yang penyiar itu adalah teman lamanya; dia pasti diperolok kawan-kawan sekampungnya karena mengaku-ngaku sebagai sahabat penyiar padahal penyiar itu tidak mengenalnya sedikitpun.
Dia mestilah kecewa, sakit hati dan merasa diabaikan. Dan saya mestilah berubah menjadi orang yang congkak di pikirannya. Situasi yang menyakitkan dan saya tidak suka.
Kemungkinan lain adalah kami memang tidak bertemu tetapi dia ingat wajah saya. Apa yang terjadi kalau suatu saat kami berpapasan dan dia menyapa? Sulit memikirkannya sekarang, karena catatan ini adalah tentang betapa mudahnya orang-orang lama berganti dengan orang-orang baru dalam hidup kita.
Lingkaran sosial bergerak secara cepat dan seperti tidak memberikan waktu untuk sejenak mengingat mereka yang pernah jadi bagian hari-hari kita yang lalu. Parah memang, sangat parah. Tetapi kita lalu membela diri dengan bilang, “Hidup itu bergerak maju.” Ah… sampai di sini saya tiba-tiba berhadapan dengan pertanyaan, “Siapa yang ikut menggerakmajukan hidup itu?” Ada Angga dalam hidup saya tetapi terlupakan begitu saja.
Tanpa bermaksud menghakimi, saya hanya ingin menyampaikan ini:
Mestilah kita pernah punya Angga-Angga sendiri dalam perjalanan ziarah kita, mereka yang pernah hadir lalu terlupakan sampai pada wajah-wajah mereka. Harus buat apa untuk itu?
Ada banyak pilihan, dan saya ingin memulainya dengan berdoa untuk Angga malam nanti; semoga dia baik-baik saja dan Tuhan melindunginya seperti Angga melindungi saya dari sergapan anjing pada malam Minggu yang aneh, Amin.
Tetapi sesungguhnya saya bahkan tidak yakin namanya benar-benar Angga, saya hanya tetap mencarinya.
Ruteng – Flores 17 April 2011
Memang banyak angga2 yg saya lupakan dalam hidup saya setelah saya bertemu dengan angga2 yg baru.Tapi dengan secercah coretan pena dari amang armin semakin membuat saya utk flashback apa yg sdh saya lupakan itu..Thanks amang
Banyak sahabat yang seperti debu tersapu hujan. Tetapi sebagian mereka sebenarnya menjelma menjadi humus dan menggerakkan kehidupan lain di sekitar kita yang juga ternyata mendukung langkah kita. Mereka yang terlupakan sesungguhnya masih bersama kita sampai sekarang. Mari ambil waktu untuk sejenak merenung, tentang betapa banyak yang pernah menjadi begitu berarti pada kehidupan kita. Terima kasih sudah mampir, tabe.