agar anak mampu menulis cerita blog ranalino ruteng

Agar Anak-Anak Mampu Menulis Cerita

Anak-anak hidup dengan ribuan cerita di kepala mereka. Cerita-cerita itu bisa berasal dari pengalaman sehari-hari, bisa juga berasal dari dunia khayal mereka. Bagaimana mereka nanti menulis cerita?


22 September 2022

 

Kita Bercerita, Anak Mendengar, Mereka Mengarang

Agar anak-anak dapat menjadi pencerita yang baik, hal pertama yang harus dilakukan oleh orang tua adalah membiasakan anak mendengar cerita. Banyak ahli berpendapat bahwa kebiasaan mendongeng–yang sebaiknya dimulai ketika anak masih dalam kandungan–akan membantu anak ‘menemukan bahasanya sendiri’.

Yang harus dilakukan oleh orang dewasa (orang tua, kakak) yang membantu menuliskan karangan mereka adalah menyarankan penyuntingan. Tidaklah dibenarkan memaksa anak mengarang cerita dengan tema yang telah kita tentukan sebelumnya. Proses penyuntingan pada cerita anak dapat dilakukan ketika anak sedang bercerita tetapi tidak ditujukan untuk mengubah alur ceritanya karangannya.

Proses penyuntingan dimaksudkan sebagai perbaikan pada kata (anak-anak masih kesulitan membedakan awalan, dan beberapa hal teknis lain), dan harus dilakukan dengan cara mengusulkan perbaikan atau memberi pertanyaan-pertanyaan pancingan sambil menjelaskan versi yang tepat.

Bagaimana anak-anak dapat menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lain–yang sangat berjauhan temanya–dalam satu cerita? Saya tidak tahu. Tetapi berdasarkan pengalaman mendampingi Rana ‘menemukan bahasanya sendiri’, saya menduga, dunia referensi anak akan berkembang berdasarkan pengalaman lapangan dan jumlah cerita yang dibacakan orang tuanya. Mestilah begitu.

Dalam cerita “Petir” misalnya (dapat dibaca di sini), ada dua referensi yang berasal dari dua sumber berbeda.

Pertama, pengalaman lapangan tentang petir berasal dari langit. Setiap anak (apalagi yang tinggal di Ruteng, Flores) pasti pernah menyaksikannya sambaran kilat sebelum gemuruh guntur. Petir berbahaya. Kalau tidak berbahaya mengapa banyak orang menutup telinga atau mencari tempat berlindung saat petir datang?

Kedua, cerita sebelum tidur tentang tempat Tuhan berada. Tuhan di tempat tinggi. Di atas langit. Dalam cerita itu dituturkan bahwa Tuhan tidak senang apabila orang berbuat dosa.

Berdasarkan dua referensi itu, maka kita melihat kalimat ini dalam cerita: “Setiap kali aku mendengarnya, aku mulai berpikir, apakah itu adalah kemarahan dari Tuhan?”

Ini dugaan saya saja. Bahwa ternyata ada hal lain yang membuat seorang anak mampu menghubungkan petir, Tuhan, dosa, main bola, dendam, menculik anak, dan lain sebagainya, saya percaya bahwa kepala anak-anak berisi ribuan cerita. Tugas orang tua adalah mendengar mereka bercerita. Sesekali bertanya agar mereka bisa membuat jembatan sendiri–dan masuk akal–dari bagian satu ke bagian lainnya.

BACA JUGA
Cerita Rana - Puisi "Ayah" dan Cerita "Tanggung Jawabku"

Baca juga: Tentang Segelas Capuccino dan Tiga Pekerjaan

Proses menyunting cerita anak dilakukan dengan cara mengusulkan perbaikan atau memberi pertanyaan-pertanyaan pancingan sambil menjelaskan versi yang tepat dengan bahasa yang tepat dan tidak menyinggung perasaan anak. Dialog dengan orang tuanya dalam bahasa-bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti adalah awal yang penting agar anak menemukan bahasanya. Karena selain cerita, anak-anak hidup dengan ribuan pertanyaan di kepalanya.

Mengapa malam selalu lebih gelap, di mana matahari tidur, apakah matahari makan supaya bisa menerangi bumi, adalah beberapa contoh pertanyaan anak. Pertanyaan yang mungkin tidak pernah diduga sebelumnya. Bagaimana harus menjawab pertanyaan-pertanyaan ‘remeh’ seperti itu?

Mengabaikannya jelas akan mengecewakan anak, dan bukan tidak mungkin membuatnya enggan bertanya lagi. Jika sudah demikian, anak akan memilih diam, atau mematikan pertanyaan-pertanyaan di kepalanya. Maka ketika mendapat pertanyaan-pertanyaan dari anak, yang sebaiknya dilakukan adalah merumuskan jawaban yang mudah dimengerti. Membuat contoh adalah cara termudah.

Kalau malam, kita semua tidur, bukan? Matahari juga tidur. Makanya gelap. Tempat tidurnya di balik gunung di bagian barat itu (menunjuk arah matahari terbenam). Iya. Dia juga makan. Tetapi beda dengan makanan kita. Hanya saja Bapa belum tahu jenis makanannya. Nanti kita cari tahu sama-sama, ya.

Oooops… bolehkah orang tua memberitahu anaknya bahwa dia tidak tahu tentang sesuatu? Tentu saja boleh. Paling tidak akan bermanfaat untuk:

Pertama, anak menyadari bahwa beberapa pertanyaan tidak bisa dijawab seketika. Ini penting agar dia tidak menjadi kecewa atau tertekan ketika mendapati bahwa dirinya tidak mengetahui sesuatu; anak harus belajar bersabar dan mencaritahu, bukan?

Kedua, orang tua tidak berbohong. Berbohong tentu saja dapat membantu menyelesaikan masalah dengan cepat, tetapi kebohongan akan berkonsekunsi pada lahirnya kebohongan lain, dan lagi, dan lagi. Soalnya adalah, apakah kita akan konsisten berbohong? Maksud saya, apakah cerita bohong kita akan selalu sama? Jangan-jangan kita lupa kebohongan pertama dan koherensi cerita menjadi tidak terjaga.

BACA JUGA
Kisah (Tidak) Klasik untuk Masa Depan

Baca juga: Anak Indonesia: Dari Batasan Usia Anak ke Peringatan Hari Anak Nasional

Menceritakan pengalaman dengan jujur pada anak, akan membantunya membuat cerita yang jujur pula. Cerita yang baik adalah cerita yang jujur, bukan? Tetapi sesungguhnya, pada bagian ini, yang jadi poin utama adalah: anak-anak akan mampu bercerita jika orang tuanya senang bercerita. Cerita pada relasi orang tua – anak, hendaknya dibangun dalam dialog, dan bukan monolog.

Bagaimana Anak Mulai Menulis Cerita?

Suatu malam, Rana anak perempuan saya, tiba-tiba meminta saya menulis. Dia mengeja dan saya menulis cerita yang dia karang. Hasilnya adalah cerita yang diberinya judul “Rumah Tercinta” ini. Seluruh bagian dalam cerita ini adalah pengalaman pribadi Rana dan cara dia melihat rumahnya. Pada kesempatan lain, Rana juga kerap bercerita. tentang hal-hal lain. Meski tidak meminta saya menuliskannya.

Jauh sebelumnya, ketika Rana masih berumur antara dua sampai empat tahun, saya selalu menceritakan pengalaman saya sepanjang hari. Biasanya dituturkan menjelang malam. Sebelum membacakan dongeng untuknya. Mamanya juga melakukan hal yang sama.

Pengalaman mendengarlah yang barangkali membuat Rana memiliki kemampuan bercerita dengan baik. Terutama jika yang diceritakannya adalah pengalaman-pengalaman harian. Urutan waktu, obyektivitas, dan selipan perspektifnya baik. Pada cerita yang dikarangnya sendiri, beberapa pengalaman pribadi ditambahkannya dengan imajinasi anak yang luas.

Maka, setiap kali berhadapan dengan pertanyaan bagaimana membiasakan anak bercerita dan akhirnya mampu menulis cerita, saya selalu memulainya dengan saran agar orang tua memulainya dengan bercerita juga. Tanpa diminta. Apalagi jika anak meminta kita bercerita. Hentikan segala aktivitas, dan mulailah bercerita. Dengan demikian seorang anak akan memiliki tambahan bahasa dan bingkai pengalaman.

Dalam hal ini, yang diceritakan oleh orang tua adalah pengalaman-pengalaman yang jujur, dengan kemampuan memilah yang baik. Tidak setiap peristiwa harus diceritakan; jika dapat, pilih cerita yang di dalamnya terdapat pesan baik, atau pengalaman-pengalaman menyenangkan. Anak harus bahagia.

Agar seorang anak dapat menyelesaikan seluruh ceritanya dengan baik, pendengar (orang tua, pengasuh, kakak) harus menunjukkan perhatian penuh saat proses berlangsung. Hindari memberi hanya setengah perhatian. Toh, waktu bercerita seorang anak tidak akan berlangsung sangat lama.

BACA JUGA
Cerita Rana - Kucing dan Burung (Fabel)

Pastikan seorang anak mendapat kesan bahwa ceritanya adalah sesuatu yang penting untuk pendengarnya. Sikap demikian, pada saat yang sama, adalah pelajaran yang baik untuknya ketika berhadapan dengan seseorang lain yang bercerita.

Baca juga: Travelling Light dan Kekasih dalam Ransel

Apa pentingnya kita membiasakan seorang anak bercerita? Tentu saja ada banyak alasan. Dengan bercerita, seorang anak akan belajar menemukan kata baru, mengungkapkan perasaannya, dan menyampaikan harapannya. Masih banyak alasan lainnya. Tetapi bagi orang tua, seorang anak yang bercerita berarti terkumpulnya informasi tentang pengetahuan anak, pengalaman mereka, dan juga cita-cita.

Informasi tersebut menjadi penting sehingga Bapa dan Mama dapat dengan mudah menemukan (atau mencari) hal-hal yang dibutuhkan anaknya–tanpa harus menunggu seorang anak memintanya. Ini tentu saja baik agar anak mengalami pengalaman terkejut sekaligus senang karena mengetahui bahwa orang tuanya “memahami dirinya”.

Pada cerita “Bulan di Langit” misalnya, Rana mengungkapkan secara samar tentang apa yang dia butuhkan. Barangkali tidak direncanakan demikian, tetapi alam bawah sadarnya memberi komando; dia membutuhkan alat-alat untuk melukis. Beberapa saat setelah mendengar cerita ini, saya mengajaknya ke stationery dan membolehkannya memilih krayon dan pensil warna yang dia butuhkan.

“Bagaimana Bapa tahu bahwa saya perlu ini?” tanyanya. Itu adalah waktu di mana Ayah menjadi superhero.

Pada titik seperti itulah, seorang anak menjadi semakin percaya pada orang tuanya. Kepercayaan seperti itu adalah hal yang kemudian dibutuhkan ketika pada titik tertentu orang tua harus menasihati anaknya, mempengaruhi pilihan anaknya (dalam cara positif), atau mengarahkan perilaku anak.

Karena bagaimanapun, meski setiap orang lahir dengan pilihan bebas, orang-orang yang lebih tua memiliki kewajiban untuk membantu mereka menemukan pilihan yang baik. Jadi, membiasakan anak bercerita dan nantinya menulis cerita mereka sendiri, sesungguhnya membantu orang tua memproses pendekatannya dalam mendidika anak di rumah. Bukankan pendidikan keluarga adalah landasan untuk hidup selanjutnya? Sa kira begitu.

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

 

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *