kita adalah komentator sepak bola blogger ruteng ranalino armin bell

Kita adalah Komentator Sepak Bola (Bagian Kedua)

Komentator sepak bola selalu merasa mereka paling benar. Pernah berpikir begitu to?


Kalau Prancis bernasib sedih karena gagal menjuarai Piala Eropa 2016, sesungguhnya itu belum apa-apa. Nasib paling sedih justru dialami oleh Lionel Messi. Meski tidak berlaga di perhelatan itu, toh Messi tetap hadir di berbagai perbincangan tentang final Prancis versus Portugal. Adalah perseteruan abadi Ronaldo dan Messi yang menjadi penyebabnya.

Para komentator sepak bola di media sosial seolah-olah tidak memberikan sedikit pun kesempatan kepada Messi untuk menghabiskan tangisannya dengan tenang. Messi memang sedang menangis ketika itu karena gagal membawa Argentina juara di Copa Amerika. Tetapi mengapa dia dilibatkan dalam pembicaraan tentang Piala Eropa?

Itulah sebabnya catatan ini lahir, dan kini hadir di hadapan Bapak/Ibu/Saudara/I sekalian di mana pun berada. Isi radiogram halaaaah.

Begini. Saya pendukung timnas Inggris. Sejati. Sama sejatinya dengan kesukaan saya pada Something-nya The Beatles. Sampai sekarang saya percaya bahwa apa saja yang datang dari Inggris pasti keren. Bagaimana saya tidak percaya? Lihatlah Coldplay, band dari London yang keren itu. Atau Buckingham Palace yang luar biasa itu. Semua itu ada di Inggris dan rasanya keren. Kecuali Brexit barangkali. Brexit tidak keren karena setelah referendum banyak yang menyesal, dan saya bingung tentang uang mana yang saya pakai jika nanti pesiar ke Eropa? Repot rasanya tukar-tukar uang dari euro ke poundsterling ke euro lagi. Kapan saya ke Eropa? Nanti. Kalau blog ini laku dijual. Hiaaaa!

Tetapi meski Brexit tidak keren, Inggris sudah lama keren. Demikianlah saya jadi pendukung sejati The Three Lions. Di Euro, World Cup, di mana saja berada, saya selalu dukung Inggris meski berakhir dengan kuciwa. Ya, kuciwa. Setingkat lebih tinggi dari kecewa karena kejadiannya berulang. Tetapi tahun 2016 silam saya sedikit terhibur bahwa Portugal juara Euro 2016. Saya jelas tidak mendukung tim itu. Lalu mengapa saya bersenang? Jawabannya: Ronaldo. Christiano Ronaldo, ya. Bukan Ronaldo Luis Nazario de Lima.

BACA JUGA
Diskusi di Facebook itu Seperti Itu (Bagian 2)

Baca juga: Om Rafael Sarankan Pentingnya Rekreasi

Ronaldo Luis Nazario de Lima tentu saja orang yang sama sekali berbeda dengan Ronaldo saya maksudkan. Yang Nazario, masa keemasannya telah berlalu seiring langkahnya yang terseok-seok menyaksikan Christophe Dugarry menjebol gawang mereka di final piala dunia 1998 padahal Dugarry sedang cedera tetapi tidak bisa ditarik karena jatah pergantian telah habis. Final Piala Dunia yang paling aneh rasanya. Tragis nian nasib si Ronaldo yang dari Brasil itu. Untunglah empat tahun kemudian, dua giginya terlihat jelas ketika tertawa setelah berhasil merubuhkan Oliver Kahn di Jepang dan menjadi juara. Saya bahagia untuknya ketika itu.

Kali ini biarkanlah saya bahagia untuk Ronaldo yang Christiano. Begini. Ronaldo itu pemain hebat. Kehadirannya di dunia ini membuat sepak bola berada pada level yang lain; tentang tendangan yang keras, heading yang jitu, rambut yang modis, badan yang beroti-roti, rekor-rekor, dan lain-lain. Yang tidak mengakui peran Ronaldo dalam mencerahkan wajah sepak bola mungkin hanya para penggemar Messi yang kurang pesiar, jarang piknik, tidak punya baju My Trip My Adventure, atau penggemar fanatik olahraga ping pong dan ding dong.

Karena kehadirannya yang begitu penting pada sepak bola modern, saya selalu berharap Ronaldo mendapatkan yang terbaik dalam hidupnya. Salah satunya adalah memeluk piala untuk negaranya dan bukan hanya klub. Harapan yang kemudian terkabul pada perhelatan Euro 2016. Pertengahan tahun. Menjelang ulang tahun pernikahan kami yang keenam. Satu harapan terkabul. Satu. Lebih baik satu daripada tidak sama sekali, kan?

Baca juga: Om Rafael Tanggapi Sepak Bola Menyerang

Ronaldo, Messi, Piala dan Jari Manusia

Tentang harapan-harapan dalam dunia sepak bola, saya sesungguhnya punya harapan lain. Ya, sebelumnya saya berharap Messi mendapatkan kebahagiaan juga. Ya. Messi yang itu. Yang bersepak bola dengan ajaib. Bahkan sampai disebut mesiah, tuhan. Orang ini, hebatnya melampaui segala imajinasi tentang sepak bola yang hebat. Di atas. Atau langsung “dari Atas”? Pokoknya ngeri.

BACA JUGA
Penetrasi Digital pada Generasi Milenial dan Urgensi Pendidikan Kritis

Kalau Messi sudah pegang bola, pendukung tim lawan harus segera cari mentimun; meredakan tekanan darah tinggi. Saya mengalaminya ketika di Liga Champions, MU (ya, MU yang keren itu, yang dari kota Manchester, yang di kota itu hanya ada dua klub sepak bola, yakni MU dan MU Reserve) dipaksa tunduk di dua final. Tensi naik ka tidak?

Pokoknya, Messi itu sehebat itu, bahkan lebih. Maka di final Copa America 2016, saya berharap Messi memeluk piala untuk negaranya di ujung turnamen, setelah sebelumnya telah berkali-kali memeluk piala untuk klub dan untuk dirinya sendiri. Messi yang membuat nama Lionel mendadak dipakai jutaan anak di dunia, benar-benar berhak mendapatkan momen sukacita itu setelah apa yang dia buat untuk sepak bola.

Tetapi sayang, mereka gagal. Saya sedih. Aneh. Saya bahkan tidak suka Argentina, terutama atas kisah Malvinas; kisah politik dengan Inggris negara favorit saya. Lantas, mengapa saya bersedih?

Guys, setiap orang hebat berhak atas sesuatu yang juga hebat. Dan ketika mereka tidak berhasil, kita sepantasnya bersedih. Bukan malah menertawakannya.

Tetapi kita memang hidup di dunia media sosial, di mana bullying hanya mainan jari. Jadilah Messi dirisak di ujung Piala Eropa hanya karena Portugal keluar sebagai juara. Siapa yang mem-bully? Sebagian besar adalah para penggemar Ronaldo yang kurang pesiar, jarang piknik, tidak sanggup beli baju My Trip My Adventure di stan Padang di Pasar Inpres, serta mereka yang tattoo-nya jeleknya minta ampun, ditusuk pakai dinamo yang tidak stabil, dan tidak sekeren tattoo di badan Messi. Mereka-mereka itulah yang secara tidak masuk akal merisak seorang Amerika Latin untuk perhelatan di Eropa.

BACA JUGA
Kita adalah Komentator Sepak Bola (Bagian Pertama)

Entah jari manusia mereka yang cepatnya minta ampun, atau isi kepala mereka yang lambatnya gila-gilaan. Aneh, kan? Harusnya aneh. Tapi kadang kita menganggapnya biasa-biasa saja. Itu sudah. Saya selalu merasa, dunia seharusnya menghormati orang-orang seperti Messi dan Ronaldo, sambil tetap mengingatkan bahwa gaji mereka terlampau besar, tidak masuk akal, dan untuk itu mereka harus lebih banyak beramal. Eh, kok akhir tulisannya jadi ngomongin gaji? Sa baper sodara-sodariku #eh. Tetapi tetap senang bahwa sepak bola telah menyatukan seluruh dunia kecuali Nurdin Halid dan saingannya di PSSI. Lho?

Soal komentator sepak bola, di Piala AFF kemarin, salah satu trending topic adalah komentator di salah satu televisi swasta yang lebay. Kita tidak protes dengannya. Toh, selain bahwa kehadirannya membuat tontonan semakin menarik, kita sendiri juga kerap lebay kalau omong soal sepak bola.

Ronaldo yang menang, Messi yang harus dipaksa bersedih. Sehat? Besok-besok kalau Inggris sampai jadi juara, saya berharap tidak ada yang mem-bully Nurdin Halid. Tolong ka e! Saya memang pernah menyarankan agar kita harus bicara. Tapi tidak begitu juga skali ka.

14 Januari 2017

Salam dari Pertokoan, Ruteng

Armin Bell

Gambar dari Merahputih.com.

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *