diskusi di facebook itu seperti itu bagian 1 social climber

Diskusi di Facebook itu Seperti Itu (Bagian 1)

Kita sering melakukan diskusi di Facebook. Selain agar terhubung dengan para sahabat, kita terlibat obrolan yang bertujuan menemukan solusi.


Beberapa tahun terakhir, tepat setelah Facebook mengembangkan dengan sangat baik fasilitas bernama pembentukan grup, semua orang tiba-tiba terlibat menjadi pengamat. Dengan satu postingan provokatif dari akun palsu, orang-orang beramai-ramai saling maki bahkan memanggil temannya sendiri dengan sebutan asu. Haiaaaa… Tir sopan to?

Tapi ya, penampakan diskusi di Facebook itu kadang loetjoe. Di dunia nyata semua baik-baik saja, tetapi di Facebook kita mendadak menjadi garis keras. Hardcore! Yeah….

Ketika membuat tulisan ini, sedang ramai orang-orang berjuang menjadi ahli bahasa. Sendok itu dimakan atau dipakai makan? Bagaimana rasanya dikejar kuda atau dipakai kuda? Macam-macam pokoknya. Kisah dari Kepulauan Seribu bikin kita semua menyayangi Bahasa Indonesia secara lebih meriah dan memaki-maki secara lebih terang matahari; tafsir atas ucapan Ahok.

Beberapa tahun terakhir memang tampak begitu: topikal, tipikal, brutal. Suatu hari saya ikut dalam apa yang saya anggap sebagai ‘Diskusi di Facebook’. Ada pro dan kontra—diskusi memang selalu ramai kalau ada dua ‘agama’ itu.

Pada diskusi ikuti itu, saya tidak terburu-buru memeluk satu agama yang sudah dianut oleh puluhan komentator sebelumnya. Saya menikmati saja sambil melihat-lihat bagian-bagian yang barangkali dapat di-highlight untuk kepentingan pembelajaran. Saya kerap diajak berbagi oleh beberapa teman dan agar dapat melaksanakan tugas mulia itu dengan cukup baik, menambah jumlah bacaan adalah hal yang saya pikir wajib dilakukan. Saya mau baca hal baru di Facebook.

Sumber diskusi adalah tulisan seorang penulis yang produktif menghasilkan artikel-artikel seputar kesusastraan dan topik yang diangkat adalah sesuatu yang ‘panas’ karena (oleh sebagian peserta) dianggap menampar kenyamanan mereka bergerak mengembangkan Literasi Nusantara. Kehadiran saya di ruang diskusi cukup beralasan, saya senang membaca karya sastra.

Baca juga: Menjadi Blogger Tidak Bikin Kita Keren (Bagian 3)

Mulanya saya senang artikel itu. Kemudian jengah setelah mencermati dan akhirnya menangkap kesan bahwa penulis terlampau menghakimi tanpa dasar riset yang kuat. Idenya baik tetapi basisnya lemah. Perlahan-lahan saya jadi katekumen di agama kontra.

BACA JUGA
Ibu, Maafkan Kami Warganet di Seluruh Negeri

Dalam perjalanan diskusi di Facebook itu, amuk badai dalam kepala saya menjadi lama selesai karena dalam sebuah komentar, pemilik postingan terkesan menuduh beberapa peserta diskusi sebagai social climber; orang-orang berharap segera terkenal karena bergabung-komentar di postingan seorang yang sudah lebih dahulu terkenal. Tuduhan itu terutama dialamatkan pada mereka yang ada di pihak kontra.

Saya merasa ada di pihak kontra–meski masih katekumen, tidak terkenal, dan karenanya langsung merasa ikut dituduh sebagai social climber. Apakah saya marah? Tidak. Hanya sedikit kecewa. Rasanya, dalam setiap diskusi, yang orang pikirkan bukan supaya dia menjadi terkenal tetapi supaya diskusinya segera kelar dan kalau dapat berujung leraian yang baik: solutif. Sebagai penulis yang cukup terkenal, rasanya pemilik postingan itu semestinya tahu. Lalu mengapa menuduh?

Istilah social climber sendiri saya tahu dari Facebook sebagai istilah halus dan mentereng untuk mereka yang gemar ber-say-hi dengan orang-orang terkenal dan memamerkannya kepada teman-teman mereka yang tidak terkenal. Tujuan utama social climber adalah agar dipersepsikan sebagai orang terkenal juga. Tetapi konsep ini tentu saja dapat dibantah dengan pertanyaan: “Siapakah yang tidak terkenal di Facebook?”

Di Facebook, semua terkenal. Paling tidak di antara teman-teman sekomunitas—yang nongkrong di tempat yang sama dan minum kopi tetapi memilih saling sapa via gawai, kita semua terkenal. Iya to? Sapaan kita di awal minum kopi di LG Corner di Ruteng misalnya, hanya berisi: Su lihat sa pu status hari ini? Lalu, selanjutnya hening dan kita saling berkomentar di sana. Di Facebook.

Apakah salah? Rasanya tidak. Juga tidak salah jika beberapa orang tak dikenal tiba-tiba mampir dan ikut berkomentar di status kita dengan komentar yang kita anggap aneh, semisal ‘sudah minum aqua’, padahal status kita tidak berhubungan dengan air. Itu tidak aneh. Karena itu jangan dijawab dengan “Sudah minum air aki?”

Tetapi penulis yang saya ikuti diskusinya itu melakukannya. Dia menanyakan pada komentator yang dianggapnya social climber apakah orang itu sudah minum air aki, hanya karena komentator itu menyarankannya untuk minum aqua karena tulisannya terasa kurang greget, seperti orang kekurangan air tubuh dan lantas menjadi mudah marah.

BACA JUGA
Jogja?

Baca juga: Hamka, Cinta Kami Sering Kandas

Saudara-saudari terkasih, air aki adalah larutan elektrolit untuk sel (aki), dibuat dari 220 cm kubik sulfat pekat yang ditambahkan 750 cm kubik air suling samkel diaduk, lalu diencerkan sampai volumenya 1 dm kubik. Itu untuk aki, accu, bukan untuk manusia. Saya menjadi begitu sedih karena penulis yang cukup terkenal itu berlaku kasar.

Rasanya, dia melakukan dua pelanggaran:

Pertama, air aki bukan untuk diminum dan penulis tersebut menunjukkan perlawanan yang memalukan pada hukum alam. Bayangkan jika komentar itu dibaca oleh para penggemarnya dan mereka memutuskan untuk langsung minum air aki. Apa? Mereka tidak akan sebodoh itu? Apakah dapat dijamin? Maksud saya, kalau idolanya seburuk itu berkomentar, apa kabar murid-muridnya yang kencing berlari? Bahaya itu.

Kedua, meski ditujukan untuk orang-orang tertentu saja, setiap postingan kita di Facebook terbuka untuk dibaca siapa saja, terutama jika memang tidak dikunci. Artinya, peluang komentar paling buruk pun begitu terbuka ada di postingan kita. Bagaimana menjawabnya? Menyerang balik dengan cara yang buruk bukan pilihan yang baik apalagi jika kita merasa kita terkenal. Itu akan mengecewakan banyak pihak.

Cobalah dengan sabar menjelaskan. Jika sudah dicoba tetapi tetap tak mengerti, abaikan. Sudah diabaikan tetapi komentatornya ngotot? Ini solusinya: Tekan tahan di komentarnya, akan muncul jendela kecil dengan beberapa pilihan, pilih: delete. Problem solved. Masih ada pilihan lain seperti blokir, tetapi rasanya terlalu kejam. Kecuali jika kita memilih men-delete akun kita sendiri karena merasa telah terlampau kasar pada suatu masa. Itu baik.

Sikap menjawab kasar setiap komentar yang kita anggap salah di status kita itu merugikan. Ya, kita sendiri karena akan dianggap arogan, sombong, dan ya, pemberi komentar yang lalu akan kehilangan arah, pedoman, nafsu, dan menjadi penggerutu. Jalannya diskusi menjadi akan buruk, melelahkan, menambah dosa, menghabiskan kuota hanya untuk menjelaskan perbedaan air mineral dan air sulfat. Rugi!

BACA JUGA
Ketika Tuhan Campur Tangan pada Kisah Pius Lustrilanang

Itu sama ruginya dengan sikap beberapa teman (untuk tidak menyebut diri sendiri) yang dikritik lalu memilih diam di hadapan pemilik kritik untuk kemudian bergosip tentang si pemilik kritik di status orang lain dengan topik yang sama sekali berbeda bahkan cenderung argumentum ad hominem. Itu buruk, Bro.

Yang saya lakukan sekarang dengan postingan ini juga buruk, kok. Saya sadar. Tak baik rasanya bergosip. Hanya saja, Prof. Peter Carey—yang meneliti Diponegoro bertahun-tahun itu—pernah mengingatkan saya dan beberapa teman: “Kebutuhan dasar manusia selain makan dan minum adalah cerita.” Dan salah satu pintu membuka cerita adalah bergosip. Maka jangan heran situs abal-abal yang memuat gosip selalu banjir pengunjung.

Hanya saja, kalau kita bergosip tentang seseorang hanya karena kita tak kuasa mendebat argumentasinya, rasanya kita ada di level yang rendah. Padahal selalu ada pilihan merdeka bernama skip. Seperti ketika kita buka pemutar musik di gawai kita. Satu lagu main dan kita tidak terlampau suka. Skip. Pindah ke lagu berikut. Jangan hapus karena mungkin kita akan butuh mendengarnya pada situasi batin yang lain. Pilihan itu ada di jari-jari kita. Tahu hubungan antara jari-jari dan sesuatu di belakang kepala kita kan? Tinggalkan diskusi itu dan mulailah menulis di buku harian halaaah…

Kepada seorang gadis cantik yang numpang curhat di kamar makan kami, saya katakan itu. Ya, saya katakan agar dia meninggalkan perbincangan yang tidak dia sukai, terutama ketika setiap pendapatnya di perbincangan itu diabaikan. Itu! Ketika kau tidak suka pada sebuah perbincangan, beranilah melakukan skip.

Sebenarnya ada cara lain seperti menawarkan topik baru, tetapi memilih meninggalkan diskusi adalah hal yang tegas meski agak kejam. Dan gadis yang numpang curhat itu memilih meninggalkan kamar makan kami. Oh… kejamnya kau Daria hihihihi. (Bersambung)

8 November 2016

Salam dari Ruteng

Armin Bell

 

Bagikan ke:

2 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *