lawless jakarta menendang gofar tidak ada tangan besar

Lawless Jakarta Menendang Gofar; Tak Ada Lagi Tangan Besar Lindungi Pelaku Pelecehan

Ada apa dengan Lawless Jakarta menendang Gofar Hilman? Bagaimana hubungan keduanya pascakasus (yang ramai disebut sebagai) kasus pelecehan seksual?


3 Agustus 2021

Gofar Hilman adalah satu dari beberapa orang terkenal, yang namanya jadi lebih ramai dibicarakan oleh orang-orang dari seluruh kalangan karena kasus pelecehan seksual. Maksudnya, pembicaranya datang dari lingkaran , bukan dari lingkaran yang telah mafhum tentang kiprah mereka. Saya termasuk orang dari lingkaran lain itu; tidak punya sedikit pengertian pun tentang siapa Gofar sebelumnya–juga tentang Lawless Jakarta yang akan turut dibahas di dalam tulisan ini.

Tetapi tentu saja tidak adil jika saya lantas bilang bahwa Gofar Hilman menjadi lebih terkenal karena pelecehan seksual. Barangkali benar, tetapi tidak sepenuhnya benar. Tetapi yang pasti benar adalah  saya jadi atau tahu tentang penyiar radio cum youtuber cum aktor cum pembaca acara ini dari sana. Dari percakapan yang ramai di internet. Dari percakapan yang lalu membelah ‘mahabenar netizen‘ ke dua kubu besar, pro- dan kontra-, dengan irisan kecil bernama orang-orang bijaksana di tengahnya.

Hmmm… Orang-orang bijaksana itu adalah mereka yang tidak bisa memilih kubu pada situasi pelecehan seksual dengan alasan bahwa mereka adalah umat Bang Napi dari tayangan televisi di masa lalu yang selalu bilang “kejahatan bukan hanya karena ada niat tetapi juga karena ada peluang”.

Entah karena usia mereka telah menua–sebab Bang Napi sudah lama pensiun–dan karenanya lantas merasa harus bijak (padahal sama sekali tidak bijak) atau karena isi kepala mereka sedang lelah saja, mereka mereduksi ungkapan legendaris Bang Napi itu sebagai: seorang perempuan yang ke tempat hiburan dan hendak bertemu idolanya adalah peluang. Sehingga, pelecehan yang sempat ramai dibicarakan itu tidak terjadi karena niat semata-mata niat (kebiasaan) si Gofar ini. Kelompok dalam irisan ini tentu saja menjadi kelompok paling tidak menarik dalam percakapan tentang pelecehan seksual. Asli! Ada yang mengaku sebagai korban, Kakaaak. Bagaimana kalian itu? Eh, tapi kenapa saya malah bahas kelompok tidak menarik ini? Haissssh …

BACA JUGA
Anda Kritik Karya Saya, Karya Anda Sudah Bagus?

Balik ke hal ‘menjadi lebih terkenal’ saja tah

Baca juga: Agnez Mo Begitu, Kita Begini, Tidak Sama

Begini. Beberapa tahun silam, ada penyair terkenal (di lingkaran penggemar sastra) yang juga ada di situasi seperti ini. Saya kenal karya-karyanya sebab saya kira saya adalah bagian dari lingkaran itu. Orang-orang dari luar lingkaran dengan segera mengenal (atau jadi tahu?) tentang si penyair gara-gara percakapan tentang dugaan pelecehan seksual yang dilakukannya. Lalu kasus itu raib. Dugaan sebab menguapnya percakapan tentang hal itu: si penyair ada di komunitas yang disegani dan berbagai narasi perlawanan (sebut saja begitu) dilakukan oleh orang-orang dari komunitas itu. Akibatnya? Ya …, begitu itu.

Makanya ketika tahu bahwa Gofar Hilman adalah bagian dari sesuatu yang besar bernama Lawless Jakarta, saya segera menduga kasus si Gofar ini akan berujung mirip dengan kasus si penyair, apalagi Gofar adalah seorang penyiar, halaaah… Dalam hal ini, saya tentu saja menikmati pro-kontra netizen, tetapi juga kerap mengira-ngira bahwa selain berguna menghabiskan paket data, silang pendapat di twitter tidak banyak berguna.

Kita boleh baku hantam tetapi ujung sebuah kasus besar selalu ada di tangan besar yang ada di belakang orang-orang terkenal: tangan besar yang menyelamatkan orang-orang bersalah, tangan besar yang berkuasa membuat silent jeritan korban dan kita semua yang mendukungnya hanya dalam sekali tepukan, tangan besar untuk pelaku pelecehan seksual.

Namun, dugaan saya, sebagaimana umumya nasib dugaan, ternyata salah–menjadi momen yang aneh sebab saya justru senang bahwa dugaan saya salah. Rare moment! Biasanya saya sedih kalau dugaan saya soal ‘angka keluar di Sydney dan Singapura’ itu salah (dan saya telah berkali-kali sedih karenanya).

BACA JUGA
Membedakan Kritik dan Ungkapan Sakit Hati Bertopeng Kritikan

Ya! Dalam kasus Lawless Jakarta menendang Gofar, saya senang bahwa dugaan saya salah. Lawless Jakarta, dengan jejaring dan penggemar yang banyak, justru tidak ada di sisi orang yang disebut sebagai pelaku pelecehan seksual. Mereka (mengutip judul-judul berita clickbait) menendang-mendepak-mengkhianati(?)-menjadi hujan sehari setelah kemarau setahun-memunggungi-menghapus Gofar dari lingkaran mereka. Melalui pengumuman resmi. Dengan alasan yang jelas dan membahagiakan: BERDIRI BERSAMA KORBAN. Padahal, Gofar telah sangat identik dengan tangan besar ini. Wah …

Baca juga: Surat Keberatan Atas Surat Keberatan Hendra Eiger

Ada beberapa hal baik dari keputusan Lawless Jakarta ini.

Pertama, netizen pro-Gofar lantas perlahan mengecilkan suara sebab peluang opini mereka menang segera dihentikan oleh langkah tak biasa Lawless. “Hei, itu jahat dan kami tidak menyukainya. Gofar bukan bagian dari kami lagi!” Kira-kira begitu Lawless Jakarta berteriak dan yang semula merasa akan didukung tangan besar segera melipir. Kau jadi ingat komunitas sastra yang tadi saya ceritakan tadi? Hmmm …! 

Kedua, setiap orang terkenal yang merasa bahwa telah terdapat tangan besar yang selalu siap menyelamatkannya, akan segera memikirkan kemungkinan menjadi Gofar Hilman berikutnya: kesalahanmu–yang nyata-nyata melawan dunia–akan berubah menjadi hujan sehari untuk setahun kemaraumu. Betewe, tentang peribahasa ini, rasanya aneh bahwa hujan adalah sesuatu yang buruk. Kau tiba-tiba ingat Sapardi (semoga beristirahat dalam damai) dan hujan dari puisinya yang begitu menenangkan. Semoga keputusan Lawless Jakarta ini membesarkan keberanian korban-korban pelecehan seksual lainnya untuk bicara.

Ketiga, jumlah orang-orang yang merasa bijaksana sebab berada di irisan antara pro- dan kontra- (semoga) segera berkurang sebab pelecehan seksual adalah senyata-nyatanya kejahatan. Mereka haruslah sadar bahwa Lawless Jakarta berpotensi tidak populer dengan keputusan menendang Gofar salah seorang pentolannya, tetapi tetap mengambil risiko itu.

BACA JUGA
Hadapi Corona, Jaga Jarak (Media) Sosial

Keputusan sebesar itu hanya akan dapat dilakukan oleh orang, sekekompok orang, atau institusi yang sadar bahwa sikap netral sama sekali tidak dibenarkan pada situasi ada korban. Ada yang terluka, ada yang akan lebih panjang lukanya setelah speak-up: kau berdiri bersama korban.

Kau ingat budak seks pada zaman penguasaan Jepang di Indonesia yang memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menemukan suara mereka. Pertanyaan (maaf) bodohmu tentang kenapa baru sekarang bicara padahal peristiwa itu terjadi tahun 2018 dan Gofar Hilman sedang mabuk tentu terasa lebih layak kau telan lagi. Anggap saja tadi kau muntah tak sengaja dan hendak menyembunyikannya; sedikit jijik banyak untungnya.

Baca juga: Baku Olok Soal Demonstrasi Omnibus Law, Di Situ Kadang Sa Merasa Sedih

Ada hal yang akan jauh lebih baik lagi.

Selain bahwa langkah Lawless Jakarta menendang Gofar Hilman ini akan ditiru oleh banyak perusahaan, organisasi, atau kelompok arisan, tentu akan lebih dahsyat rasanya jika setelah memunggungi Gofar Hilman, Lawless Jakarta membantu korban segera pulih, bagaimana pun caranya, dan bersama seluruh kepopulerannya ada di barisan paling depan berkampanye melawan pelecehan seksual. Barangkali ini adalah kesadaran baru. Barangkali dulu Lawless Jakarta tidak begitu. Barangkali!

Yang pasti, kau harus ingat bahwa pelecehan seksual tidak pernah terjadi karena korban menyiapkan dirinya sebagai peluang. Kau punya niat itu yang jadi penyebabnya, bakbi!

Lalu apa pesan moralnya? Barangkali ini. Jika kau terkenal sebagai orang hebat di komunitasmu oleh karena ‘kejagoanmu’ dalam petualangan seksual, belum tentu kau jadi terkenal dan hebat di mata orang lain yang melihatmu sebagai pelecehan seksual. Begitu, Far. So long and farewell!

— 

3 Agustus 2021

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *