Diskusi di Facebook itu Seperti (Bagian 2)

Saya kembali menyambung tulisan sebelumnya tentang diskusi di facebook yang sering kita lakukan. Pada postingan sebelumnya saya bagi kasus dari diskusi tentang artikel literasi. Kali ini yang jadi contoh adalah diskusi orang-orang sekampung di facebook. 
diskusi di facebook itu seperti
Diskusi | Foto: Kaka Ited, Ruteng

Diskusi di Facebook itu Seperti (Bagian 2)

Sesungguhnya saya selalu senang dengan setiap obrolan. Sejak obrolan seru berpindah lokasi dari ruang tatap mata bernama rumah, dapur, garasi, teras, atau warung kopi ke ruang facebook, saya juga ikut pindah ke sana. Mark Zuckerberg telah memberi peluang bagi kita melakukan banyak hal sekaligus sembar berdiskusi.

Bisa sambil nongkrong di toilet, sambil tidur di ketiak istri, atau sambil telentang setengah telanjang di Pantai Pede, Labuan Bajo. Di mana pun berada, kita bisa tetap berdiskusi. Diskusi di facebook itu kadang semesra itu.

Yang tidak mesra barangkali hanya cara kita berdiskusi. Paling tidak itu yang saya rasakan tahun 2016 silam. Kala itu Oktober bersemi *cie cieee, ada dua topik yang ramai dalam diskusi di facebook kami Ata Manggarai. Pertama tentang seni yang telanjang, dan kedua tentang gapura di sebuah tempat yang indah. 
Kasus “seni yang telanjang” adalah ketika seorang seniman memamerkan karyanya berupa sketsa pensil seorang perempuan yang telanjang. Pamerannya dilaksanakan dalam rangkaian kegiatan kesenian sekelompok anak muda dengan tema Menembus Batas. Sekat mana pun yang hendak ditembus ketika itu, gambar ‘telanjang’ itu dipajang di depan kantor Bupati Manggarai, terbuka untuk umur, menembus batas usia. 
Itu tema menarik pertama. Apakah sketsa seperti itu adalah seni? Kalau seni, apakah itu pantas dipamerkan terbuka? Bla bla bla.
Di waktu hampir bersamaan, tema lain meruak. Sebuah gapura dibangun di depan Gereja Katedral Lama (kini bernama Gereja St. Yosef) di Ruteng. Dengan alasan keamanan, pengelola gereja yang sekian lama menjadi ikon kota itu memutuskan membuat gapura. Jika tidak maka halaman gereja akan dipakai oleh para pemabuk atau pengusaha truk besar yang dengan percaya diri memutar balik kendaraan mereka tepat di depan tangga gereja; kadang memarkirnya di sana.

Di satu sisi, bangunan itu adalah landmark kota. Gapura di depannya adalah tambahan yang mengganggu keindahan gereja dari zaman Belanda itu.

Bisa ditebak bukan? Kami terjebak pada agama pro dan agama kontra. Pada perjalanannya, dua agama yang berseberangan ideologi ini masuk ke fase yang buruk yang saya sebut sebagai: Omong orang punya nama. Itu slang lokal untuk gosip barangkali. 
Yang pro dan kontra lalu saling memaki, mengancam, menawarkan permusuhan jangka panjang. Saya baca, lalu diam, lalu segera tahu bahwa dengan atau tidak dengan diskusi di facebook, gambar telanjang itu akan tetap ada dan gapura itu akan tetap dibangun.

Saya sedih. Tetapi mau bagaimana lagi? Masalah utama telah jauh di belakang kita. Di depan kita adalah peluang-peluang usaha mencari pembenaran sendiri serta mengokohkan permusuhan. Permusuhan yang terjadi hanya karena satu topik. Cie cieee!

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Diskusi di facebook ya begitulah… Setelah ini kita akan baper barangkali, atau baku musu, siapa yang bisa menebak? Apakah ada jaminan bahwa kami akan tetap saling sapa di jalan meski berbeda pendapat? Tidak ada. ‘Unggulnya’ kita ya, di situ. Di kemampuan hebat membawa diskusi publik ke ranah pribadi dan terjebak perasaan sendiri di sana. 

Baca juga: Pesan Moral Dongeng Anak, Apakah Ada?

Kalau begitu kan, kisahnya jadi mirip lagu Gigi yang berjudul Facebook. Tetapi kalau di Gigi kisahnya happy ending, di sebagian besar diskusi facebook yang kita bangun, endingnya ya baper itu tadi. Kadang bahkan dibawa ke ranah politik–sebagian agama pro dan kontra juga dibentuk dari ranah itu.

Tulisan ini tentu sama sekali tidak bermaksud membuka kembali lembaran diskusi itu. Karena semua tlah berlalu, sayang, kubukan yang dulu lagi… halaaah kok malah nyanyi? 

Maksud saya, diskusi yang sudah kita selesaikan itu haruslah menjadi pelajaran bahwa tanpa moderasi yang baik serta kemampuan argumentasi yang lumayan dan pendasaran yang kuat, diskusi di facebook tidak akan pernah lebih dari OMONG ORANG PUNYA NAMA

Saya khawatir, setiap diskusi di facebook akan membuat kita enggan memberikan salam damai ketika mengikuti Misa. Di situ kadang saya merasa sedih. 
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya mau tanya: Sudah tahu soal blokir memblokir pertemanan di facebook hanya karena kita beda pendapat pada satu hal sementara di hal lain kita pernah sangat mesra? Sah saja sebenarnya, tetapi yang sah tidak selalu baik bukan?

Oh, iya, misalkan dalam tulisan ini anda menemukan kalimat yang terkesan menghina karena satu kata lupa saya tulis, mohon jangan didemo ya. Transkripnya barangkali kurang teliti. Silakan dimaki-maki saja. 

Resiko jadi pemain media sosial dan penggemar diskusi, kadang begitu. Dan tulisan ini sesungguhnya hadir tanpa pesan moral. Bahwa ini terbaca sebagai saran untuk sesekali melakukan aksi tutup mulut pada diskusi yang tidak baik di facebook, ya, silakan! *smile
Salam
Armin Bell
Ruteng – Flores

4 thoughts on “Diskusi di Facebook itu Seperti (Bagian 2)”

  1. hahaha tda ada yang salah kk, keren malahan, gara gara ini tulisan jadi mau ikut menulis jg, soalnya masih bnyak gosip, adu jadi “Omong orang punya nama” hahaha ya jadi pembaca sj udah cukup hehehe biar dosana si penulis dibagi bagi hehehe piss 🙂 boleh request k kk? bolehlah hehehe (unsur pemaksaan) boleh nggak buatin kamus slank versi manggarai, kaya Gosip=Omong orang punya nama hehehe keren itu hehehe

  2. Halo, Venan. Terima kasih sudah mampir e. Wah, senang kalau Venan mau ikut menulis tentang kita Manggarai hehehe. Soal kamus slank itu juga boleh, kalau Venan mau coba. Nanti kita sunting sama-sama. Saya sendiri terus berusaha mengumpulkan materi yang asyik dan semoga tetap bisa hehehe. Sukses selalu.

Tanggapan Anda?

Scroll to Top
%d bloggers like this: