Selain fakta bahwa Covid-19 telah menyebabkan ribuan kematian, wabah corona juga telah membuat banyak sekali orang yang hidup dalam kecemasan sambil jaga jarak.
27 Maret 2020
Saya memutuskan menyembuhkan kecemasan itu dengan menjauh dari media sosial. Social media distancing?
Rasanya, ini adalah masa yang cukup berat dalam hal ‘saya dan tulis-menulis’. Saya ingat, beberapa bulan yang lalu membuat niat agar menulis lebih giat. Saya buka lagi manuskrip yang telah telantar beberapa tahun lamanya. Mulai menambah seribu sampai seribu lima ratus kata sehari. Mula-mula bisa. Saya percaya diri. Lalu mengkerut karena pada hari keempat saya gagal. Saya tinggalkan (lagi) naskah itu dan beralih ke babak yang lain.
Saya kumpulkan cerpen-cerpen yang sudah selesai. Baik yang sudah disiarkan di media-media, maupun yang sudah saya kirim ke para redaktur tapi tak kunjung dapat balasan (tetapi cerpen itu saya anggap sudah selesai). Lumayan banyak. Bisa jadi dua kumpulan cerpen (dari segi jumlah) tetapi setelah dipisah berdasarkan benang merah tertentu, saya harus tambal sulam lagi atau bikin tambahan beberapa cerpen ‘biar dapat benang merahnya’. Bagian terakhir ini adalah yang paling sulit. Untunglah saya sedang bersemangat dan cukup percaya diri sehingga dengan segera mulai melakukannya.
Sialnya, saya tidak berhasil. Menulis cerpen baru berdasarkan keinginan agar ‘benang merah’ cerita sesuai dengan sebagian besar cerpen yang hendak dikumpulkan ke satu antologi itu sulit. Kesulitan yang sama selalu juga saya temui setiap kali ingin turut serta dalam lomba-lomba penulisan yang temanya telah ditentukan panitia. Lalu saya tinggalkan niat itu (semoga untuk sementara) dan mengerjakan hal lain. Yang juga sulit.
Beberapa waktu lalu, Panitia Lomba Cerpen Bertema Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)–diselenggarakan oleh Panti Rehabilitasi Jiwa Renceng Mose dan Bacapetra.co–menghubungi saya. Mereka hendak membukukan beberapa naskah peserta lomba dalam satu buku. Saya bersama beberapa penulis NTT yang lain diminta untuk ‘sumbang cerpen’ agar jumlah cerpennya cukup untuk satu antologi. Saya menyatakan bersedia. Mereka mengeluarkan pengumuman; nama saya ada di sana sebagai ‘penulis tamu’. Artinya, saya harus menyumbang satu cerpen. Bertema ODGJ. Saya sudah bilang kalau menulis dengan tema yang disiapkan orang lain itu sulit, bukan?
Baca juga: Jeff Goins: Penulis Tidak Boleh Puas dengan Karyanya
Memang sulit. Tetapi saya berjuang. Hampir selesai cerpen itu ketika datang situasi besar. Coronavirus Disease (Covid-19) menyerang. Seluruh konsentrasi mendadak ditarik ke sana. Mendadak ditarik, barangkali bukan istilah yang tepat. Sesungguhnya saya, sebagaimana sebagian besar manusia di Indonesia, mau tidak mau akhir-akhir ini, harus mengisi detik demi detik hidup ini dengan percakapan tentang virus corona.
Social atau Physical Distancing, ODP, PDP, APD, Terpapar, Disinfektan, Work from Home, dan beberapa istilah lagi rebut-merebut tempat di kepala saya; menggeser ODGJ, Multiple Personality Disorder, Dissociative Identity Disorder, dan beberapa hal lain yang berhubungan dengan pengumpulan bahan penulisan cerpen.
Seketika saya panik. Asam lambung naik serentak sebab sumber kepanikannya ada dua. Pertama, Covid-19. Kedua, cerpen ODGJ itu akan gagal. Seolah dua sebab itu belum cukup, media-media berlomba-lomba menulis berita yang judulnya bikin panik. “Gawat! Tenaga Kesehatan Tanpa APD Memadai Urus PDP Covid-19”; “Inilah yang Terjadi pada Paru-Paru Perokok Jika Terjangkit Virus Corona”; “Bertambah Lagi Jumlah ODP Covid-19, Warga Minta Tutup Pintu Kedatangan”, dan banyak judul dengan tipe yang mirip.
Judul-judul tadi tidak persis begitu. Tetapi yang saya tangkap, nuansanya begitu. Sebab ketika di-share para netizen, kengerian ditambahkan. Asam lambung saya seperti malas turun. Dan siapa saja yang pernah mengalami ‘naik asam lambung’ ini pasti tahu bahwa situasi begitu akan dengan segera memicu meningkatnya. Saya menjadi lebih mudah panik. Lebih sering jaga jarak.
Baca juga: Information Overload dan Wartawan yang Mati Karena Media Sosial
Suatu malam, setelah selesai membaca satu tautan yang berisi kabar bahwa virus berkembang biak lebih cepat pada kondisi lembab dan gelap, listrik padam. Mati. Gelap total kota kami. Dan Ruteng adalah kota yang selalu basah. Tuhan Yesuuuus. Itu adalah malam paling buruk dalam hidup saya sepanjang bulan Maret tahun 2020 ini. Saya merapal doa. Bapa Kami, Salam Maria, Aku Percaya, sa habok satukaligus. Kadang tertukar-tukar sebab saya cemas sekali; bapakami yang ada di surga, terpujilah engkau di antara wanita yang disalibkan pada masa pontius pilatus…. Aduh! Ampuni saya, Bapa!
Pagi, saya bangun dengan kondisi yang buruk. Mencuci tangan dengan antiseptik, berulang-ulang, padahal saya baru bangun tidur dan tidak bersalaman dengan siapa-siapa sebelumnya sebab saya patuh jaga jarak. Beberapa jam setelahnya saya sadar. Ini buruk. Tidak boleh dibiarkan.
Saya lalu memutuskan merunut asal mula kecemasan berlebih itu. Jarang sarapan; saya segera sarapan. Kurang fit; saya segera minum vitamin. Setelah sarapan tentu saja. Baca berita tentang virus corona; saya segera putuskan hanya baca dari sumber yang tepat dan benar. Saya lakukan semuanya. Hasilnya? Lumayan membaik.
Baca juga: Asal Ikut “Trending Topic”, Jalan Pintas Menuju Puncak Kebebalan Bermartabat
Saya kurangi waktu di media sosial. Cara itu terbukti ampuh sekali. Saya perlahan kembali ke titik yang baik. Kecemasan berangsur mengurang. Saya lanjutkan beberapa pekerjaan menulis (termasuk menulis catatan ini) dan menyelesaikan utang menulis cerpen ODGJ. Sudah selesai cerpen itu. Paling tidak saya pikir demikian. Kini sudah ada di tangan panitia. Mungkin sedang dibaca editor dan saya dengan santai menunggu saran penyuntingannya.
Meski sesekali sedih, saya juga senang bahwa social atau physical distancing benar-benar dipatuhi oleh kawan-kawan saya. Ketika sedang menulis ini, saya sedang merindukan beberapa teman ada di sekitar meja kerja saya, bernyanyi, curhat, berbagi sopi dan rokok sebagaimana biasa. Tetapi tentu saja kami tidak bisa melakukannya sekarang. Semua harus tetap di rumah masing-masing sampai masa sulit ini selesai. Saya berharap, mereka mengisinya dengan hal-hal yang menyenangkan dan mulai mengatur jarak dengan media sosial. Itu baik. Social Media Distancing. Dan mulailah cari sumber berita yang tepat tentang Covid-19.
Tetap sehat. Tetap jaga jarak sosial. Jangan lupa bahwa pandemi ini akan cepat berakhir jika kita sama-sama melaksanakan himbauan tentang protokol kesehatan di masa sulit ini.
–
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell