Hamka, Cinta Kami Sering Kandas

Saya mendengar tentang Hamka pertama kali dari mulut Guru Don. Ternyata, pada suatu masa dalam hidupnya, ayah saya itu pernah membaca “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”, novel yang ditulis Hamka dan sangat populer. Guru Don menyukainya. 

hamka cinta kami sering kandas
Kapal motor di Bari, Manggarai Barat | Foto: Armin Bell

Hamka, Cinta Kami Sering Kandas

Tutur melayu dalam novel Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck ini memang memberi sedikit kesulitan. Di halaman-halaman awal, ada perjuangan lebih untuk dapat masuk dalam cerita. Tetapi setelahnya, saya sungguh menikmati cara Hamka bercerita, sekaligus di saat yang sama sering “senyam-senyum sendiri” mengingat kesamaan kisah di sana dengan di sekitar saya–untuk tidak menyebut kisah saya sendiri. Barangkali itu adalah salah satu manfaat membaca: mengenal kisah yang sama di sini dan di sana, aeh… 
Catatan ini dibuat setelah kami membahas novel Hamka yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”. Novel Hamka ini sendiri telah dicetak ulang setelah sebelumnya difilmkan. Kami membaca ini sebagai salah satu buku yang dibahas di Petra Book Club, klub buku kami di Ruteng. 
Hamka, penulis dari era 30-an, yang dikenal hingga hari ini. Karya-karyanya menjadi perbincangan terutama karena kemampuannya menembus banyak zaman. Mungkin karena pergumulan di dalam tulisan-tulisannya mengambil tema sejuta umat: Cinta! 
Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Hamka menulis tentang adat pemuda yang jatuh cinta masa itu. Rasanya, waktu puluhan tahun tak banyak mengubah citra demikian. Begini kata Hamka: “Bagi setengah orang dipandangnya, perempuan yang akan jadi istrinya itu laksana gunung tinggi yang payah mendaki, sehingga dia mundur maju hendak menyatakan pinangannya kepada perempuan itu atau kepada keluarganya. Padahal di pihak yang lain perempuan senantiasa pula menunggu.” 
Sampai di sini dulu saya mengutip dan izinkan saya bertanya apakah telah hilang situasi itu dari dunia kita sekarang ini? Rasanya tidak.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Di tengah bertabur status berbunga-bunga di facebook, di twitter, dan macam-macam lainnya, kerap kita bertemu para perempuan yang masih menganggap bahwa menunggu adalah kemestian, memulai adalah tanda penyerahan diri secara murah, dan tak peduli betapa telah sama besarnya cinta dua insan, seorang lelakilah yang mesti melamar. Apakah saya telah salah membuat kesimpulan? 

Jawabannya dapatlah ditelusuri pada masing-masing kepala. Tetapi andai saya benar, maka akibat lanjutan dari peristiwa itu juga telah diramalkan Hamka. “Sehingga lantaran tunggu-menunggu, umur pun berjalan juga, cita-cita habis di tengah-tengah,” tulis Hamka sebagai lanjutan. Saya cenderung menerjemahkan ini seperti kisah penantian akan datangnya Ratu Adil. 

Tunggu-menunggu, tunggu punya tunggu, tak ada kegiatan yang cukup provokatif, tak ada aksi lain selain tunggu-menunggu tadi, bagaimanakah keadilan akan datang?
Wayne Rooney adalah striker favorit saya karena dia tak pernah sabar menunggu. Sebagai sesama striker, saya melihat Rooney melakukan hal yang tidak saya lakukan. Dalam cukup banyak pertandingan, ketika bola lebih banyak ada di daerah pertahanan Manchester United dan seperti tak ada gejala akan tiba di posisi Rooney menunggu–di daerah pertahanan lawan, pemain ini akan turun hingga melewati garis tengah, berjibaku di sana sampai mendapat bola dan mengalirkannya sendiri ke depan. 
Beberapa kali aksi seperti ini berujung gol, baik yang dicetaknya sendiri pun yang diumpankannya kepada kawan. Tak jarang sikap ‘jemput bola’ ini menaikkan posisi United di tabel peringkat. Tentu saja ini luar biasa, sehingga “cita-cita tak habis di tengah-tengah, waktu berjalan ke titik penghabisan”. Bayangkan jika Rooney bersikap seperti seorang perempuan yang menunggu ‘kepastian’ dari kekasihnya. 
Hamka sendiri tampaknya tak cukup puas memberi pelajaran. Dari eranya telah dia bayangkan bahwa pelajaran itu tak kan habis daya dorongnya, kali ini untuk kaum Adam, bahwa para lelaki tak akan banyak berubah tingkat keberaniannya, meski panjang jambangnya telah menyerupai Osama.

BACA JUGA
Gratitude Box: Beberapa Langkah

Tentang ini, dengan lugas Hamka menampilkan hinaan yang tragis: “Tiba-tiba datang orang lain yang tidak banyak perhitungan, tidak banyak pikir, dia meminang lebih dahulu, sehingga maksudnya langsung, dan yang mempunyai cita-cita bermula tinggal menggigit jari.” Mati sudah! 

Bisa dimengerti mengapa ada banyak cerita cinta yang kandas. Paragraf pertama pada bab Meminang di Tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang saya ambil untuk tulisan ini dapatlah diurai begini: A ingin melamar B pacarnya. B menunggu saja. A masih sibuk berpikir tentang rencana itu. B mulai cemas karena telah ada di usia ideal; harus menikah. 
A membuat kalkulasi sistematis menggunakan analisis SWOT sebelum melamar. B mulai terdesak usia dan tuntutan keluarga; bapa mama ingin menimang cucu. A mengambil waktu untuk berpikir lebih tenang. C melihat B. C melamar B. C menikah dengan B dan hidup bahagia. A mencari-cari kursi dan menggigit sandarannya. Paragraf itu selesai. 
Di mana letak kesalahan saya membuat kesimpulan? Rasanya sidang pembaca sekalian akan kesulitan menentukan titik kesalahan itu, terutama ketika kepala tanpa sadar telah sedari tadi mengangguk-angguk tanda setuju. Maka, daripada menjadi semakin rumit, baiklah saya tunjukkan saja letak kesalahan itu. 
Begini. Kesalahan tulisan ini justru pada saya yang berniat mengajak orang cintanya kandas untuk mulai membaca buku. Apa-apaan ini? Bukankah itu berarti waktunya akan semakin lama menghadap ke lembar-lembar kertas dan semakin tua pula umur sang kekasih yang berusaha sabar menanti? Astaga… tulisan apa gerangan ini? 
Baiklah saya teruskan saja. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Begini. Ketika kau jatuh cinta, tak perlulah repot-repot membaca. Jatuh cinta ya, jatuh saja. Bagaimana rasanya jatuh dan di saat yang sama anda harus membaca juga? Repotnya bukan main, belum lagi kalau buku yang kau baca menggunakan tutur Melayu seumpama Tenggelamnya Kapal Van der Wijck ini. 

BACA JUGA
Gratitude Box: Seribu Sehari Cukup
Membaca hanya untuk orang-orang yang senang berpikir sedangkan jatuh cinta tidak membutuhkan pikiran apa pun. Satu-satunya momen di dunia ini di mana otak sebaiknya disimpan di lemari besi adalah ketika kita jatuh cinta. Berusaha menjadi rasional saat jatuh cinta adalah sepenuh-penuhnya kesia-siaan. 
Kalau jatuh cinta itu harus rasional, mengapa ada orang yang dengan penuh percaya diri mengorbankan nyawanya untuk orang yang dia cintai? Itu irasional. Bagaimana dia yakin bahwa dengan kematiannya, orang yang dia cintai akan beroleh kebahagiaan?

Baca juga: Dari Ruteng ke Jogja ke BWCF 2015

Tetapi adat jatuh cinta itu semulia itu. Semulia pengorbanan: tak peduli bagaimana seperti apa wajah konsekuensi di baliknya, atau belati yang bersembunyi di balik saya seketika menghujam-menikam. 

A berpikir melamar B kekasihnya. A langsung melamar B. A tidak berpikir bagaimana nasib mereka kemudian. A merasa dia mampu membahagiakan B. A menikah dengan B. A dan B hidup bahagia, sesekali mereka bertengkar juga tetapi mereka telah hidup bersama. Paragraf ini selesai dalam durasi yang lebih pendek. 
Tetapi Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah sebuah karya sastra. Romo Mangun dalam esainya yang berjudul Integrasi dan Disintegrasi Bangsa dan Sastra menulis: “Wilayah susastra adalah wilayah pengisahan manusia dan atau masyarakat dalam pemaknaannya lewat bahasa ucap maupun tulisan manusia.”

Maka dengan segala kerendahan hati izinkan saya menyimpulkan bahwa satu paragraf dalam novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang saya kutip di sini adalah juga wilayah itu.; wilayah pengisahan manusia. 

Dan manusia adalah satu-satunya makhluk di muka bumi ini yang mampu menunjukkan eksistensinya melalui ‘berpikir’: Saya berpikir maka saya ada, kata seorang filsuf. Demikianlah orang-orang dalam situasi apa pun dia, akan selalu berusaha berpikir, juga ketika jatuh cinta. Apakah itu buruk? Tentu saja tidak. 
Yang buruk mungkin justru ketika untuk mulai berpikir, seseorang tak memulainya dengan membaca. Ada banyak orang di sekitar kita yang berusaha berpikir tentang sesama manusia tetapi toh tidak mengambil banyak waktu untuk ‘membaca’ sesama itu.

BACA JUGA
Kampanye HIV AIDS, Konsep atau Resep?

Baca juga: Ruang Kosong – Cerpen di Antologi Telinga

Jangan heran ketika sesama yang kita pikirkan itu kita bantu, bantuan kita justru adalah sesuatu yang sama sekali tidak mereka harapkan. Mereka mengharapkan pasar, kita memberi mereka markas. Secara bunyi mungkin mirip tetapi secara fungsi tentu saja sejauh langit dan jamban. 

Bahwa jatuh cinta tak harus melibatkan pikiran tentu saja iya. Tetapi mewujudkannya dalam tindakan memerlukan proses berpikir.
C menikah dengan B. A tetap setia di kursi sambil menggigit sandarannya yang sudah habis separuh. B mengenang A pada waktu-waktu tertentu. C tak banyak berpikir. A adalah orang yang cermat. B membandingkan keduanya. Di ujung cerita, B meninggalkan C dan berlari mencari A. Paragraf ini selesai semestinya. 
Meski pun bagaimana, membaca tetap saja penting terutama ketika kita semua berniat melakukan sesuatu yang baik, atau niat baik (cinta) kita akan kandas. Modal jatuh cinta saja tidak cukup rasanya untuk dunia seluas ini. Dalam novel Hamka itu, Hayati membaca surat-surat Zainuddin. Karenanya dia lalu mengerti perasaan lelaki itu dan tahu bagaimana membalasnya hingga ketika kapal Van der Wijck itu tenggelam di Tuban.
Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores
Bagikan ke:

2 Comments

  1. Saya dengar pertama kali judul buku ini dr guru bhs indonesia kls 1 smp… blm pernah baca bukunya tp sdh nonton film dg judul yg sama.. kecewa dg filmnya… yg pernah baca bukunya mungkin lebih kecewa…hehehehe…

  2. Ya… bukunya bagus sekali dan filmnya jelek sekali. Beberapa waktu setelah film tersebut dirilis, bukunya langsung dicetak ulang. Semoga bisa segera membacanya. Tabe.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *