cerita untuk menteri muhadjir tentang guru martha dari mangulewa yeris meka

Cerita untuk Menteri Muhadjir tentang Guru Martha dari Mangulewa

Pernyataan Menteri Muhadjir Effendy menuai protes dari berbagai kalangan di Nusa Tenggara Timur. Meski dalam perjalanannya dua kubu terbentuk atas komentar yang mengandung nuansa meremehkan itu, namun reaksi keras sempat menjadi trending topic di awal cuplikan pernyataan itu muncul di media sosial.


“Saya khawatir yang dijadikan sampel Indonesia adalah siswa dari NTT semua,” kata Muhadjir ketika dimintai komentarnya tentang hasil Programme for International Student Assessment (PISA) yang menempatkan Indonesia ada di posisi paling rendah.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan lalu dituding menimpakan kegagalannya mengelola pendidikan di Indonesia kepada NTT. Daripada memilih berkomentar, Yeris Meka memakai cara lain untuk menanggapi pernyataan kontroversial tersebut. Yeris memilih bercerita.

Cerita untuk Menteri Muhadjir tentang Guru Martha dari Mangulewa

Oleh: Yeris Meka

Guru Martha, guru kelas kecil saya, juga semua guru kelas kecil di sekolah-sekolah lain, pasti mendapat tempat di hati setiap muridnya. Bagaimana tidak, Pak? Kami masuk kelas satu dalam keadaan buta huruf, juga angka.

Sebelum mengenal bangku sekolah dan menyandang predikat murid baru baru, tempat kami bermain adalah padang sabana, menjaga sapi atau kerbau, ke dalam hutan mengumpulkan anggur hutan, di hutan kopi berburu riang-riang, bermain di kali berburu kepiting atau berudu. Itu su macam play group,hanya saja tanpa pembimbing atau pengawasan orang dewasa.

Kecelakaan bermain, luka atau kaki terkilir adalah cerita terakhir yang bisa dibawa pulang. Sampai di rumah, jagoan ini sudah ditunggu setelah berita berbumbu tentang kecelakaan itu mendahului.

“Iserasa! Rodho kama kata na.” Kalimat pembuka yang hampir selalu didengar sebelum mendapat perawatan. Jadi, simpati ala Mama manis yang bilang: “Aduh sayang, kenapa? Sini cepat, mama obati,” adalah ekspresi begitu jauh di alam entah. Ola mema. Jauh pula, Pak Menteri, hidup kanak-kanak kami dari surga bernama apresiasi puja-puji. Padahal semestinya di masa itu kami tumbuh dan menjadi percaya diri. Orang besar saja kadang butuh juga dipuji. Tidak ada yang mau disalahkan, bahkan untuk kesalahannya sendiri. Iya, to?

Dalam keadaan seperti itulah anak ini akhirnya dibawa ke sekolah, supaya tidak ‘bikin pusing kepala’ yang di rumah. Agar tidak bikin pusing kepala! Begitulah, Pak Menteri Muhadjir, anak ini diserahkan untuk selanjutnya diajari guru, biar tidak bikin masalah dan tidak menjadi lebih nakal. Dan, harapan paling jauh bisa berguna bagi bangsa dan negara. Wala Ngeri!

Bukannya itu juga cita-cita masa kecilmu dulu, Pak Muhadjir, sampai akhirnya jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan? Tugas menteri itu ya…, you know what-lah. Tapi yang dibicarakan kemarin itu, jauh panggang dari api. Malah sengaja kau siram air ke dalam api. Bisa padamlah api semangat kami.

BACA JUGA
Jadi Petani, Rabies dan Pagar Betis

Mari saya ceritakan sikit je-lah!

Hari-hari awal di kelas satu bersama Guru Martha, Pak, kami menghafal huruf dan angka. Karena kami tidak lewat taman kanak-kanak, total semua peran dipegang Guru Martha. Diajari menyanyi, berbaris masuk kelas. Kami macam bebek itu, berbaris-baris mengikuti induk. Guru Martha jugalah yang mengenalkan kami pada bangku dan meja belajar.

Dikenalkan? Ya! Biar kami tahu, bahwa bangku itu tempat mendudukan pantat bukan menjejakkan kaki. Bahwa meja adalah tempat meletakkan buku, dan kau tidak boleh berdiri dia atasnya. Tugas ini dilakukannya dengan sabar dan telaten. Padahal kami bisa lebih tertib semisal sudah terlebih dahulu terbiasa di playgroup; Guru Martha tidak perlu sesetengah mati itu menghadapi kami.

Aiii… Playgroup? Itu masih jadi milik anak-anak di kota. Ya, di tempat bapak itu. Anak kota itu statusnya beda kalau punya ijazah TK lalu melanjutkan sekolahnya di kampung ini. Dan, jelas saja berbeda, mereka tidak belajar seperti cara kami.

Pulang sekolah, kami adalah pasukan penggembala kerbau, pencari kayu bakar, juga makanan babi. Timba air di kali sesekali diselingi senang-senang: tangkap katak lalu dibakar, dimakan setelah dioles sedikit garam. Atau, membuat jebakan ayam hutan. Memasak nasi di ruas bambu, berasnya diam-diam dicuri dari rumah. Pokoknya seru hidup kami ini.

Heran juga kami, waktu tahu yang dipelajari di TK itu. Diajari menyanyi, diajari jadi anak yang manis. Main perosotan, gantung-gantung di tiang besi, yang semuanya tersedia di halaman sekolah. Dan, ternyata ada juga jasa kontraktor pada wahana permainan itu. Kau diawasi guru, beliau bertepuk tangan karena kau sampai di tiang akhir pada acara gantung-gantung itu. Kau tersenyum puas dan bangga mati pung.

Tapi itu mah sama saja keles. Waktu kami bermain di hutan, di kali, di alam sana, juga begitu. Kami lebih nekat dan berani. Hanya saja gurumu itu tidak datang untuk sekedar memberi tepuk tangan. Kalau dia di sana, tangannya pasti bengkak, karena harus tepuk tangan seharian. Kapan guru itu datang dan bermain bersama kami di anak kali, di hutan, di alam sana? Kapan? Itu tempat lebih luas, lebih murah dan tidak perlu pake jasa kontraktor pula.

BACA JUGA
Menuju Flores Bebas Rabies (Bagian 2): Mapitara, Ahu Noran Koe ’On?

Sial! Kenapa saya perlu merasa minder waktu itu, gara-gara tidak mecicipi TK seperti mereka? Padahal kita belajar hal yang sama, cuma bedanya kau dapat selembar ijazah juga guru yang anggun dan manis, sedangkan saya tidak.

Baca juga: Menulis Kisah tentang Mama

Ah, saya lupa. Tidak semua orang berpikir gila seperti saya. Masih banyak yang berpikir sekolah itu mestilah punya gedung. Belajar itu mestilah di sekolah.

Jadi, jangan kau heran, Pak Menteri Muhadjir Effendy, kami pasti sedikit minder karena sekolah kami hanya berdinding bebak atau bambu, lantai tanah atap jerami. Tambah kau cakap macam begitu, tambah tenggelamlah kami.

Sumpah, Pak! Mungkin kami juga dicap liar, nakal, atau malah latah dipanggil monyet. Tak apa, kita punya cita-cita yang sama. Ya, setidaknya biar tidak jadi bahan omongan orang, dicap bodoh, tertinggal, dan terbelakang. Atau apalah. Sebab keluar dari label yang melukai perasaan itu prestasi, Pak. Stigma itu lebih kejam dari membunuh.

Saya ceritakan kau sedikit lagi. Biar kita bisa banding-bandinglah.

Kami belajar berenang di kolam belakang kampung. Itu tempat kasi mandi kuda. Kami belajar berenang dengan kuda juga di situ. Kalau nyaris tenggelam dan kami tak segera berusaha ke pinggir kolam, itu artinya mengizinkan lebih banyak air yang entah sudah bercampur kencing dan ta’i kuda berkunjung ke jeroan.

Kalau ditendang kuda di dalam kolam, kami yang salah. Kuda benar. Karena sekalipun kami lebih dahulu berada di situ dan beberapa ekor kuda datang kemudian digiring tuannya dan melebur bersama kami dalam kolam, kami yang harus mengalah. Itu tempat mandi kuda. Bukan buat kami berenang.

BACA JUGA
Menjadi Blogger Tidak Akan Buat Seseorang Mendadak Keren Bagian Kelima

Waktu kau belajar berenang, karet binen sudah dililit  di sekujur tubuh, ditunggui Mama di pinggir kolam dengan segelas jus atau susu hangat. “Ayo sayang, kau bisa. Bisa sedikit lagi. Ayo!” Begitu kau punya Mama berbusa-busa memeberi dukungan. Wala… Macam raja saja kau.

Sekali lagi, Guru Martha guru yang sabar. Sabar sekali. Biar saban bulan gajinya mungkin sering telat. Tapi bukan berarti beliau tidak pernah marah. Ia marah kalau tingkah kami sudah melampaui batas. Misalnya, melempari teman dengan bantalan penghapus, setelah muka teman jadi putih, mata merah dan batuk-batuk, sekelas tertawa. Atau seorang tunjuk jago dengan berlari dari meja ke meja. Itu memang menyebalkan.

Tapi beliau marahnya sebentar saja. Semarah seorang nenek kepada cucunya. Marah-marah sayang. Kadang sekali dirotan.

Tapi pernyataanmu itu, Menteri Muhadjir, mungkin juga membuatnya marah. Saya juga jengkel. Marah tapi sedikit.Ok Pak! Belum nonton Three Idiots? Cobalah sekali dua Pak. Belajar bukan untuk sekolah, apalagi sekedar lomba. Belajar biar kita hidup. Ok Pak. Peace!

13 Desember 2017

Yeris Meka | Dari Mangulewa, tinggal di Kupang. Mengajar anak-anak yang sudah tamat SMA.

Gambar dari Suara Nusantara.

Bagikan ke:

4 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *