Catatan Menuju Flores Bebas Rabies bagian pertama, berisi kisah tentang alasan warga menolak menyerahkan anjing peliharaan mereka divaksin. Ada apa di bagian kedua ini?
Oleh: Yeris Meka
(Bagian sebelumnya: Ok. Lelah ini harus dibebat dulu. Kami mau istirahat. Om Serafim juga mau ke desa sebelah. Masih beberapa kilo lagi. Perjalanannya agak terhambat karena tadi kami ‘membajaknya’. Istirahat dulu. Selengkapnya di sini.)
Semalam Om Serafim sempat cerita. Tentang orang-orang Desa Natakoli. Juga Mapitara pada umumnya. Sependek yang ia tahu. Sejak ia mengabdi, entah sebagai relawan maupun sebagai tenaga honorer dinas peternakan.
Mapitara belum jadi kecamatan sendiri ketika Om Serafim wara-wiri di wilayah ini. Masih dalam wilayah administrasi Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka. Kondisi jalan di Mapitara jangan ditanya. Lebih buruk dari keadaan sekarang. Bila ada pemberitahuan serupa surat resmi ke wilayah ini, harus sudah beberapa minggu sebelumnya disampaikan. Kadang-kadang kalau terlambat, suratnya sampai ketika kegiatan yang dijadwalkan sudah lewat.
Sekarang sudah berubah banyak. Lebih baik. Setiap hari truk kayu masuk, mengangkut penumpang. Lewat Bola. Lewat Waigete juga bisa. Hanya medannya lebih curam dan tidak cukup lebar untuk dilalui truk berbadan lebar. Sepeda motor lebih banyak memilih lewat cabang Waigete. Lebih hemat waktu. Melalui Bola bagus juga hanya selain lebih memutar, juga sedang ada perbaikan jalan. Makan waktu.
Dari Om Serafim pula kami tahu, masyarakat Mapitara sudah menunggu kedatangan tim vaksinator. Menunggu kami ini. Surat sudah sampai di kantor desa seminggu sebelum kami datang. Juga sudah diumumkan gereja. “Yang tidak mau divaksin, kasih mati saja!” Begitu kata Om Serafim mengulang pengumuman yang disampaikan di mimbar gereja. Berita bagus. Flores bebas rabies, semoga!
Baca juga: Di Langa Bajawa, Orang Muda Meramu Masa Depan Desa Wisata
Besoknya. Pagi-pagi sekali, kami sudah siap. Istri kepala desa bahkan sudah sejak lebih pagi lagi. Menyiapkan semua. Sarapan dan kopi. Kami tidak enak merepotkan. Yang empunya rumah juga tidak enak kalau kami bertempur tanpa amunisi. Sarapan pagi itu penting. “Makan dulu. Minum kopi dulu baru jalan!” Kami dicegat ketika baru punya rencana untuk bergegas. Puji Tuhan. Terima kasih, Mama.
Setelahnya kami harus beraksi sejak pagi agar realisasi vaksinasi bisa lebih banyak. Kalau telat, sudah banyak warga yang ke kebun. Anjing-anjingnya juga dibawa. Ini musim jambu mete, monyet-monyet turun gunung, merampok kebun-kebun penduduk. Mau tidak mau warga harus lebih giat menjaga kebun. Di musim begini, jambu mete menjadi komoditi yang diandalkan untuk menyangga ekonomi.
Desa mengerahkan Pamong untuk mendampingi kami. Juga Kepala Dusun. Rupanya hari ini akan berujung baik. Kami membagi tim. Dusun Umatawu, Dusun Wolomotong, Dusun Natakoli, diutus berdua-dua di tiga dusun itu. Lancar.
Di Natakoli warga sudah menunggu di pinggir kiri kanan jalan. Juga anjing-anjing mereka yang hendak divaksin. Tidak susah. Semua lancar. Pamong desa bertindak sebagai penggerak juga penerjemah. Tugas ini penting sekali. Warga, rata-rata lebih fasih berbahasa daerah. Lebih welcome dan luwes dengan pendekatan ini.
Saya berani menyimpulkan, sukses kegiatan vaksinasi sebagian besar bergantung pada peran ini. Ada intervensi pemerintah desa. RT terlibat, dusun terlibat, warga digerakkan. Menjelang siang, sebagian populasi anjing di Natakoli sudah tervaksin. Minus beberapa ekor yang keburu bunting ketika kami datang. Beberapa lagi tak berani ditangani. Galak. Tuannya tidak di rumah. Nobody can handle it, Guys. Believe me!
“Mama (induk, ed) yang bunting, nanti lahir dulu baru vaksin e!” Kami titip pesan itu dan kegiatan berlanjut. Rumah ke rumah. “Ahu noran koe ’on?” Tanya pamong desa yang mendampingi kami. Mendengarnya beberapa warga tergopoh-gopoh. Anjing dibawa. Kami vaksin. Lalu, sisir lagi. “Ahu noran koe ‘on, Mama?” “Anjing ada atau tidak, Mama?”
Menuju Flores Bebas Rabies; Tugas Kami Kecil, Kesadaran Masyarakat Lebih Penting
Apa yang terjadi di Mapitara dan Alok banyak bedanya. Setidaknya menurut saya. Di Alok vaksinator bergerak sendiri, tidak didampingi pegawai kelurahan. Padahal cukup banyak populasi hewan yang berpotensi sebagai penular rabies.
Mapitara di pelosok. Rumah jarang-jarang. Akses informasi dan transportasi tentu tidak selancar di Kecamatan Alok yang masih di sekitaran kota Maumere. Tentang yang terakhir ini, banyak akibatnya. Informasi yang salah, buntutnya panjang.
Baca juga: Jadi Petani, Rabies, dan Pagar Betis
Begini. Pasca-vaksinasi, terjadi kasus. Anjing mati. Pemilik anjing yakin, haqqul yaqin, ini karena cairan vaksin yang disuntikkan. Tersebarlah berita. Dari mulut ke telinga. Dari telinga ke mulut. Belum lagi media sosial. Terus begitu. Tak tertahankan. Vaksin mematikan anjing. Vaksin membunuh anjing. Iklan yang buruk untuk usaha memberantas rabies dari pulau Flores.
Kabar burung terus tersiar. Tanpa klarifikasi, masyarakat percaya. Bisa ditebak setelahnya, ketika petugas vaksinator datang lagi, telah tersedia banyak cara agar petugas tidak betah. Oh, Gusti. “Kami tidak mau vaksin. Nanti anjing kami mati,” kata mereka berapi-api. Petugas lapangan harus berbusa-busa menjelaskan. Tapi siapa peduli? Berita buruk sudah dibiarkan melaju tanpa kekangan. Ini sederhana. Sepele. Tapi, ketidakpercayaan jenis ini jelas punya anak kandung: petugas enggan datang lagi. Kapan Flores bebas rabies?
Tanpa pemeriksaan laboratorium, asumsi bahwa anjing bisa mati karena divaksin, jelas tidak benar. Terlalu dini. Kalaupun mati karena vaksin, justru dapat berarti baik. Ada kemungkinan anjing sudah terpapar virus. Gejalanya saja yang belum muncul. Menunggu gejalanya terbit, sama saja dengan membiarkan api dalam sekam membakar rumah sendiri.
Mapitara, Epang Gawan!
Setelah melewati pagi ini, semua menjadi lebih jelas. Tentang peran dan tugas. Kami para vaksinator, perannya teknis saja. Seupil.
Membebaskan pulau ini dari rabies tidak semata tugas medik dan paramedik veteriner. Peran masyarakat, gereja, dan pemerintah dari tingkat paling kecil mutlak dibutuhkan. Ini misi serius. Membebaskan Flores dari rabies. Flores bebas rabies. Kita membasmi virus rabies, bukan anjingnya. Maka akan cukup terhambat, bila batu sandungan justru datang dari tuan anjing.
Lha, berapa harga seekor anjing dibanding nyawa kalau tiba-tiba-tiba anjing berubah jadi monster gara-gara rabies? Berapa harga yang harus dibayar? APA? COBA HITUNG? “Epang Gawan, Mapitara!” Bana say. (bersambung)
–
3 November 2018
Yeris Meka, dari Mangulewa, tinggal di Kupang, petugas medik veteriner.
–
Gambar dari Republika.co.id.
Kalimat-kalimat pendeknya Yeris tetap mengedepankan detail. Asyik bacanya ��
Nah. Itu dia. Bikin nyaman.