Menulis Kisah Tentang Mama

Setiap kali ingin menulis tentang Mama, ada sesak. Ada gumpalan aneh yang mematikan kreativitas bahasa. 

menulis kisah tentang mama
Muder Yuliana bersama Rana dan Guru Don Dok. Rana Lino ID
Aneh memang, karena sebenarnya sangat banyak yang ingin saya ceritakan tentang perempuan hebat itu, termasuk kemampuannya meneruskan hobi membaca yang membuat saya akhirnya bisa menulis di blog, forum, koran, majalah sampai akhirnya menerbitkan buku sendiri; Telinga – Sebuah Antologi. 

Siapa Bisa Menulis Kisah Tentang Mama?

Kemampuan menulis, sebut saja demikian, saya dapatkan dari Mama, terutama karena apresiasinya yang luar biasa atas setiap tulisan saya yang sempat beliau baca. Bahkan ketika saya akan kuliah, Mama sempat berniat membelikan saya mesin ketik–ketika komputer belum sesederhana sekarang–hanya agar saya bisa terus menulis. 
Saya menolak niat itu, selain karena ada kesadaran bahwa mesin ketik akan segera old fashion, juga karena akan memberatkan biaya dan saya bisa menulis di buku catatan kuliah atau kertas lainnya. 
Saya memang melakukannya; menulis di buku catatan kuliah kemudian ke rental komputer di Pisang Candi, dan beberapa tulisan yang dimuat di koran di Malang Jawa Timur. Saya kliping lalu dibawa pulang ke Flores saat liburan. Mama bangga, saya senang. 
Ah…! Sampai di sini, dada saya kembali menyesak. Ada haru dan rasa yang aneh, bahasa tak cukup mampu menerjemahkannya dengan sempurna. Maka saya berhenti menulis lalu melihat tulisan lama saya tentang Mama, membacanya lagi dan sekali lagi merasa saya benar: Kisah tentang Mama adalah kisah tentang seorang perempuan yang hebat. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Ruteng, 30 Juni 2011

Pulang Kampung, Bertemu Mama yang Sama

Kemarin saya pulang kampung, ke rumah orang tuaku bersama istri dan anak kami Rana, bayi perempuan lucu berusia setengah tahun. Lebih dari setahun saya tak pulang. Wwaktu yang lama jika mengukur jumlah kilometer yang saya tempuh dari Ruteng ke Paurundang, sebuah kampung kecil di Hamente Rego, Kecamatan Macang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat. Hanya enampuluhan kilometer dengan waktu tempuh empat jam perjalanan. 
Nah, ini letak soalnya. Empat jam untuk 60 kilometer pasti perbandingan yang aneh untuk yang biasa menempuh jarak seperti itu dengan waktu tempuh tak sampai 60 menit. Tapi empat jam bahkan lebih adalah waktu tempuh teraman jika ingin tiba dengan selamat karena kondisi jalan yang rusak parah dan sebagian orang lebih menyebutnya hancur. 
Tetapi bukan kondisi jalan yang parah itu yang membuat saya tak pulang. Bukan pula karena tak kangen. Hanya saja sebagai ‘pemakan gaji’ pada orang lain, saya tak bisa mengatur jadwal liburan sesuka hati. Untunglah, rasa kangen juga kerap terobati karena orang tua saya yang punya jadwal reguler berkunjung sekali sebulan ke tempat kami. Eiiitsss… jangan protes!!! 
Mereka dengan senang hati melakukannya karena tak punya kesibukan yang mengikat, dan mereka kangen, dan bukan terutama padaku sepertinya, tetapi pada Rana, cucu mereka, anak kami. 
Baca juga: Kera Sahabat Ikan

BACA JUGA
Skenario Alternatif untuk Film AADC 2 Remake

Ketika akhirnya datang kesempatan untuk pulang kampung, alasan paling menarik selain membawa anak saya pertama kali melihat kampung Bapaknya adalah rindu rumah. Saya ingin pergi ke tiap sudut rumah mungil mereka, menghirup bau tanah di halaman, menatap atap kamar tanpa plafon, sesekali tersentak mendengar suara tokek yang kadang datang tak tepat waktu. Sensasi yang tak saya rasakan lebih dari setahun.

Seberapa penting? Maaf saya tak bisa menjelaskannya, hanya merasakan dan takjub. Namun yang saya alami adalah jauh lebih hebat dari yang saya harapkan. Rumah kami tetap seperti itu, dan mama tetap seperti itu. 

Semua akan setuju jika ada sahabatnya yang bilang people change, saya juga; tetapi tidak ketika bertemu mama saya di rumahnya. Dia tak berubah. 
Tetap seperti itu… seperti mama yang dahulu, mencintai sepenuh hati dan memperhatikan tiap kebutuhan anak-anaknya. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Saya dan dua kakak saya yang kebetulan berlibur dalam waktu yang sama lengkap dengan seluruh keluarga kami, masih merasakan pengalaman yang sama. Bahwa, kami adalah anak dan Yuliana adalah mama yang paham.

Baca juga: Harga Manusia Ditentukan Bersama

Bahkan setelah kami berumur di atas 30, mama tetap bertanya, “Mau makan apa malam ini?”. Bahkan setelah kami sudah merasakan menjadi orang tua, mama tetap bilang, “Armin, itu batuk itu, sudah minum obat?” Bahkan setelah sekian lama kami bekerja, mama tetap menyiapkan semuanya untuk kami, sama seperti ketika kami kecil. 

Dan saya hanya bisa bilang, betapa hebat dia memutuskan untuk menjadi Mama yang sama sekian lama dengan cinta yang sama. Ah… pulang kampung, bertemu mama yang sama, saya terdiam, hanya bisa mengaguminya, dan semakin. Hati kecilku bilang setelah melihat, dia pun tetap menjadi istri yang sama untuk suaminya, bapa kami yang juga masih menjadi bapa yang sama. Terima kasih.
Salam

Armin Bell

Ruteng Flores
BACA JUGA
Gratitude Box: Beberapa Langkah
Bagikan ke:

6 Comments

  1. Sampai skarang saya masih belum bisa menulis tentang sosok yang satu ini. Ada banyak ide yang terlintas. Tapi semuanya seakan kurang tepat menggambarkan sosok mama. Terimakasih untuk catatan singkatnya kae.

  2. Sebab mama adalah perpustakaan lengkap dengan kosakatanya. Sehingga menulis tentang dirinya, bagai melarutkan garam dapur ke lautan lepas. Ketika saya membaca tulisan Armin. yang tak tahan adalah berkelananya memory ke sudut-sudut Puarundang yang asali itu.

  3. Karena mama adalah yg tetap tinggal, setelah yg lain memutuskan utk pergi. That's why ada yg bilang klo “mama adalah rumah”…berkisah ttg mama sll indah, seindah figurnya.. selamat berkarya trs pak armin, tabe..

  4. Yes. Indeed. Mom is home. Itu sudah. Mama adalah yang tetap tinggal ketika yang lain memutuskan pergi. What a wonderful reflection, im…. Terima kasih sudah mampir.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *