birding birdwatching pengamatan burung pekerjaan apa

Birding, Birdwatching, Pengamatan Burung; Pekerjaan Macam Apa Itu?

Birdwatching atau birding atau pengamatan burung adalah sebuah jenis rekreasi dengan bentuk kegiatan mengamati burung. Rekreasi jenis ini belum banyak kita ketahui. Kenapa?


Oleh: Ucique Jehaun

Sampai tahun 2012 saya pikir profesi khusus pengamat burung hanya ada di Amerika atau Eropa. Pokoknya negara-negara yang sering muncul di acara Wild Life atau National Geographic pada televisi berbayar. Tidak pernah terbesit dalam bayangan saya bahwa warna warni pengetahuan tentang fauna aves ini akan begitu dekat dengan saya. Birder-istilah untuk pengamat burung, menjadi familiar di telinga, I even married to one.

Menurut Wikipedia, pengamatan burung (bahasa Inggris: birdwatching atau birding) adalah sebuah jenis rekreasi dengan bentuk kegiatan mengamati burung . Kegiatan ini dapat dilakukan dengan mengamati burung di alam bebas melalui mata telanjang, menggunakan alat bantu seperti teleskop atau teropong binokular, atau sekadar mendengarkan suara ciutan burung.

Banyak orang yang masih merasa aneh dengan kegiatan mengamati burung di alam liar. Maklum, sebagian orang Indonesia, suka menjadikan burung sebagai peliharaan dalam sangkar, paling banyak saya lihat di Jawa. Bahkan jual beli binatang ini punya tempat khusus yang disebut “pasar burung”. Selain itu kata burung lebih sering diasosiasikan dengan genital pria atau hal-hal yang berbau seksual. Tak anyal saat omong burung mulai sudah pelesetannya macam-macam, apalagi kalau yang omong perempuan. Aduh saya tak bisa bayangkan nasib pengamat burung perempuan kalau datang ke Manggarai.

Saya pernah sekali ikut birding atau birdwatching. Entahlah… Saat itu memang saya hanya mengekor birder kami dari rumah ke hutan di kawasan Golo Lusang, Ruteng dengan sepeda motor. Setelah parkir di pinggiran jalan dekat hutan kami mulai berjalan mengikuti setapak kecil berumput. Saya merasa agak geli, soalnya banyak yang bilang kalau area tersebut sering dipakai buat pojokan oleh pasangan yang ingin berduaan. Padahal saya perginya sama suami. Maklumlah, meski kelahiran 84 wajah kami memang masih 94.

Baca juga: Ngkiong, Kancilan Flores Bersuara Merdu dan Intel yang Tak Suka Pamer

BACA JUGA
Restoran Masa Depan

Setelah beberapa menit memasuki area hutan, kami berhenti dan saya disuruh untuk tidak bersuara. Peralatan dipasang, sebuah tripod kamera dan speaker kompatibel kecil diambil dan sang birder sibuk dengan teropong. Beberapa kali Yovie, nama birder yang adalah suami saya itu, menggumamkan sesuatu. Saat itu saya kesan saya adalah: sangat membosankan. Di mana letak “rekreasi”-nya? Tidak berapa lama kami bertahan dan kemudian pulang. Saya tidak pernah ikut birding alias birdwatching alias pengamatan burung lagi setelahnya.

Birding dan kisah kehidupan bangsa aves sudah jadi hal yang setiap hari dibahas di rumah kami. Kami bahkan punya proyek Kalender Burung- burung Endemik Flores tahun 2021. So many stories are discovered everyday. Jurnal, buku, situs, dan jalinan pertemanan tiba-tiba hadir seperti jaring hologram yang ada di dalam rumah. Istilah-istilah macam birding, birdwatching, inaturalist, endangered, pandemik dan beberapa lainnya kadang saya ucapkan dalam obrolan seolah-olah saya juga seorang birder. Padahal saya awam, penikmat cerita dan kisah mengenai keunikan burung di alam ini. 

Cerita-cerita tentang pengamatan burung dapat dibaca di jagarimba.id

Pengamat Burung (Birder) sebagai Profesi

Pertanyaan yang sering saya dapatkan sebagai istri seorang pengamat burung adalah, “Kut coon hia ngo lelo agu foto burung eta puar?” dengan nada ingin tahu bercampur dengan rasa aneh yang kental; untuk apa dia ke hutan melihat burung dan mengambil gambar burung-burung itu? 

Atau kadang ada yang menyalahartikan kegiatan melihat burung di hutan ini untuk pergi berburu burung dengan pertanyaan: “senapan de run ka’e?” (pakai senapan milik sendiri, kak?). Hal yang sangat kontradiktif–bagaimana mungkin seorang pengamat burung pergi berburu/menembak burung? Saya hanya bisa jawab bahwa itu dilakukannya adalah hobi. Sungguh tak memberikan kepuasan bagi si penanya. Sebab ada juga yang merasa aneh kalau saya bilang profesi suami saya adalah “pengamat burung”. Gelap sekali pasti bagi orang untuk bisa memahami hal ini, apalagi pertaliannya dengan penghasilan (baca: uang). Untuk mempermudah biasanya saya jelaskan kalau foto burung tersebut akan dijual online

BACA JUGA
Saeh Go Lino, 7 Tahun dan Berlipat Ganda

Menjadi pengamat burung bukan sekedar duduk-nonton-foto-upload foto-orang beli-kirim uang-tarik uang dan kemudian beli nasi padang. Tidak semudah itu, Fergusso. Alur yang dilakukan panjang, harus sabar dan intinya benar-benar mencintai dunia alam. Itu pun masih tidak cukup. Harus baca jurnal, melakukan penelitian mandiri, rajin ke lapangan, ikut komunitas pengamat burung, dan aktif untuk melaporkan hasil penemuan. Salah satu aktivitas reguler adalah Asian Waterbird Census (AWC). 

Asian Waterbird Census (AWC) merupakan kegiatan tahunan yang bersifat sukarela yang dilakukan setiap minggu ke-2 dan ke-3 di bulan Januari (lihat tentang AWC di sini). AWC merupakan kegiatan pemantauan burung air yang dikoordinasi oleh Wetlands International dan merupakan salah satu kegiatan bagi upaya konservasi burung air dan habitat lahan basah mereka.

Baca juga: Analisis Cerpen tentang Ngkiong, Nada-Nada yang Rebah

Di Indonesia, birdwatching sudah mulai semarak. Banyak kegiatan, komunitas, dan bahkan wisata khusus untuk para pengamat burung. Di Flores, kegiatan pengamatan secara khusus awalnya muncul karena program wisata.

Kesadaran akan bahaya penembakan liar masih sangat minim, sehingga masih sering ditemukan orang-orang yang melakukan penembakan liar kemudian dengan bangga menggunggah fotonya di media sosial. Alasannya cenderung untuk senang-senang karena kalau untuk dijadikan lauk, toh dagingnya tak seberapa. Padahal burung tersebut hampir punah. Sedikit sekali orang yang menyadari bahwa burung-burung di hutan adalah penyebar biji-bijian yang menumbuhkan pohon-pohon di hutan. Jarang kita, manusia, ingat bahwa keberadaan satwa di sekitar kita sangat penting untuk menunjang kehidupan manusia. Paling sedih kalau ada yang tembak atau tangkap induk burung atau mengambil sarang burung yang ada anak-anak burungnya. Naluri alami sebagai ibu tidak hanya ada pada manusia, tapi juga pada hewan. 

Peralatan Birding/Pengamatan Burung

Saya sendiri masih heran kalau melihat Yovie mulai online window shopping. Lihatnya kamera, teropong, mikrofon (yang bentuknya silinder lengkap dengan bulu-bulu persis seperti alat cat labur tembok), GPS khusus yang terhubung dengan jaringan jurnal penelitian, alat perekam khusus, dan baju kamuflase. Beberapa barang tersebut di rumah kami, tersimpan dalam kotak kontainer khusus.

BACA JUGA
Soal Pengarang NTT dari Perspektif Sejarah dan Sosiologi Sastra

Pernah ada pengamat burung dari Amerika yang datang dengan peralatan dan asesoris yang terasa aneh dan di luar dugaan, misalnya label penomoran yang dibuat khusus yang bisa dililitkan di kaki burung. Bahannya aman dan dibuat khusus. Nah suatu saat burung ini terbang atau bermigrasi dan kebetulan ada pengamat burung lain yang menemukannya, nanti dicatat dan terhubung dengan sistem yang kemudian akan menjadi bahan pemetaan pergerakan burung. Ini adalah salah satu bentuk instrumen penelitian.

Pengamatan Burung sebagai Hobi 

Sekarang saya mulai ikut-ikutan follow akun media sosial yang berkaitan dengan pengamatan burung. Ternyata banyak juga pengamat burung yang sangat amatir dan melakukannya hanya sebagai pengisi waktu senggang. Apalagi saat pandemi. Beberapa artikel berbeda saya temukan dengan kata kunci “birding in my backyard”

Kalau kaitannya dengan hobi, kita seringkali menemukan hal yang unik. Ada seorang pengamat burung, kalau tidak salah dari Amerika, pernah datang dan meminta Yovie untuk memandu selama kegiatannya berlangsung di Flores. Dia mengaku akan mati dengan tenang karena telah melihat langsung seekor burung di Sanonggoang, Manggarai Barat yang telah lama menjadi bucket list dalam hobi pengamatan burungnya. Padahal mengambil foto juga tidak! Hanya melihat dan membuktikan apa yang pernah dia baca mengenai burung tersebut. Ckckck!

Lalu bagaimana saya? Setelah birdwatching pertama yang berkesan membosankan, saya belum pernah melakukannya lagi. Saya lebih senang menikmatinya melalui tulisan di jagarimba.id. Semoga kita semua selalu sehat dan pandemi segera selesai sehingga aktifitas wisata termasuk pengamatan burung bisa hidup kembali. Mari kita jaga alam kita!

Ruteng, Maret 2021

Ucique adalah anggota Klub Buku Petra, Ruteng

Bagikan ke:

4 Comments

  1. Mantap artikelnya Ka Ucik dan Ka Min.Kalau di Jepang mereka punya nyanyian di kereta api pake siulan burung untuk mengurangi stres dan bikin rileks..

  2. Pagi² sambil ngopi dan lihat story K Tanti dan temukan tulisan ini sungguh sebuah keberuntungan. Semakin sedap saja mengawali hari dengan cerita ini. Thanks and keep it up

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *