jadi petani bermula dari pertanyaan ibu martha catatan yeris meka blog ranalino

Jadi Petani, Bermula dari Pertanyaan Guru Martha

“Jadi Petani” adalah catatan Yeris Meka tentang petani dan hal-hal menarik di sekitarnya. Catatan ini akan hadir dalam beberapa bagian.


Di bagian pertama ini, Yeris dengan asyik menuturkan anak-anak yang tertawa lebar mendengar teman mereka menjawab “jadi petani” ketika mendapat pertanyaan Guru Martha tentang cita-cita. Yuk, mari simak!

Jadi Petani, Bermula dari Pertanyaan Guru Martha

Oleh: Yeris Meka

Ketika Guru Martha bertanya tentang cita-cita, kami baru beberapa minggu menjadi murid baru sekolah dasar. Ada yang mau jadi guru, polisi, tentara, pastor, juga pegawai negeri. Ada juga yang mau jadi Habibie. Mungkin maksudnya mau mejadi insinyur seperti Habibie, bisa bikin pesawat terbang. Ah! Pokoknya kami yakin sekali menjawab Guru Martha. Ibu guru manggut-manggut, kami bangga minta ampun.

Tapi ketika ada yang cita-citanya mau jadi petani seperti kebanyakan orang tua kami, kami tertawa. Sejadi-jadinya. Itu macam tawa lepas waktu nonton Abdur stand up bawa materi tentang orang Timur itu. Ya, macam itu sudah.

Dalam benak kami yang masih unyu, jadi petani itu semacam jalan hidup. Atau jalan yang terpaksa kau tempuh kalau kau tidak sekolah. Tinggal jaga kampung sampai mati. Tidak bisa merantau. Maka, jadi petani itu tidak perlu masuk daftar pilihan.

Memilih jadi petani sama dengan membuat kita kelihatan agak ketinggalan. Itu macam kalau ada menu makan prasmanan di atas meja, tapi kau masih cari ubi jalar untuk dimakan, setelah kau bakar pakai tangan sendiri. Pokoknya sebelum kenyang musti kerja setengah mati, juga jadi kotor kau punya tangan. Lalu, buat apa kau sekolah kalau kau hanya mau jadi petani yang tidak pakai sepatu mengkilap, atau pakai seragam kalau berangkat kerja pagi hari?

BACA JUGA
Menuju Flores Bebas Rabies (Bagian 2): Mapitara, Ahu Noran Koe ’On?

Itu anak, yang punya cita-cita jadi petani, kami anggap paling aneh sudah pada hari itu. Untung Guru Martha, guru kelas yang caritau kami punya cita-cita itu, buru-buru menenangkan kami semua. Beliau jelaskan sejelas-jelasnya, bahwasanya semua cita-cita itu mulia. Baik adanya. Yang penting itu jadi orang baik dulu, tidak merugikan orang lain. Sepenting itu. Dan lebih penting, ya-itu-tu!

Kami diam. Eh, pura-pura diam. Agak susah untuk menjadi tidak heboh saat kau punya niat untuk menjadi hebat atau dibilang hebat, tapi kau diminta untuk sekedar jadi orang baik saja. Itu sudah.

Seandainya kami tahu bahwa cita-cita yang terdengar hebat pada hari-hari awal masuk sekolah ternyata biasa saja pada jaman now, kami mungkin tidak perlu tertawa kalau ada yang bercita-cita jadi petani. Bahwa semua kerja sama saja. Hanya tempat cari makan. Ok!

Seperti begitulah. Bahwa, menjadi petani itu bukan pilihan yang pintar kalau memang ada pilihan lain. Kalau kami pada akhirnya tidak mau jadi petani bukan pula murni salah kami. Betul itu.

Begini.

Kalau kau tinggal di kampung dengan mayoritas warganya adalah petani, hari-hari pegang pacul jalan kaki masuk kebun, lalu pulang dari kebun; pikul batang pisang, talas, atau apa saja untuk makanan babi, bisa kau bayangkan lelah yang ditampung seharian. Rasanya, malam hanya jadi tempat untuk sembunyi dari penat. Wala! Macam puitis terlalu e… hahaha… Tapi serius ini. Pokoknya jadi petani itu sengsara. Tidak enak. Itu di benak kami dulu ketika masih bocah.

Opa-opa atau oma-oma, lain lagi. Mereka itu empunya warisan yang disebut uma atau kebun, sedang pada tahap menunggu calon menantu (kalau anaknya belum punya pasangan hidup, entah laki atau perempuan). Daftar pertanyaan khusus untuk kandidat mantu sudah hadir begitu saja dalam kepala. Itu macam tahap kalau kau masuk salah satu tempat kerja, pertanyaan-pertanyaan standar semisal, “Bisa mengoperasikan komputer?” Atau “Bisa berbahasa Inggris?” akan menghadang di sesi wawancara.

BACA JUGA
Jadi Petani, Anak Gunung, Sepatu, dan Burung Besi di Langit Kampung

Tidak jauh beda dengan opa atau oma yang berlaku sebagai pemilik aset yang tidak mau asetnya terbengkalai gara-gara calon menantu tidak punya keterampilan pegang pacul. Mereka punya pertanyaan serius yang ditanyakan iseng-iseng. “Bisa pegang pacul ko tidak? Bisa kerja kebun ko tidak?” Ya, semacam itulah. Kalau bisa, besok ke kebun sudah. Kerja! Jangan gombal-gombal anak gadis orang saja macam anak muda jaman now. Kerja! Kerja! Itu! (*)

27 Oktober 2017

Yeris Meka | Alumni SMU Negeri 1 Bajawa dan School of Alam Raya, sekarang tinggal di Kupang.

Ilustrasi: Foto Kaka Ited .

Bagikan ke:

2 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *