Membalas senyum yang ditebar para caleg jelang Pemilu adalah keharusan. Kita kenal mereka. Bisa keluarga, sahabat, bisa juga mantan. Tersenyumlah.
Jika bertemu dengan caleg yang selalu tersenyum, jangan sesekali merasa terganggu. Jangan juga menghubungkan senyumnya itu dengan niatnya menjadi anggota legislatif. Apalagi kalau sampai bikin status yang menghina keramahan serupa itu. Karena belum tentu begitu.
Ada dua soal tentang Anda dari sikap demikian.
Pertama, Anda bermasalah dengan orang yang selalu tersenyum. Ini masalah berat. Harus segera diatasi. Bagaimana mungkin ada orang yang terganggu hanya karena melihat seorang yang lain tersenyum? Bahwa alasannya adalah Anda sedang tidak ingin tersenyum saat itu, tidak berarti bahwa orang lain tidak boleh tersenyum, to? Itu sama saja dengan memaksa seseorang mencintai Anda hanya karena Anda sangat mencintainya. Ho-ho-ho, hidup tak sesederhana itu, Alejandro. Perlu usaha lebih keras lagi agar cinta berujung kemesraan. Mungkin butuh biaya yang mahal sekali. Delapan puluh juta? Bisa!
Bahwa alasan Anda jengkel adalah karena yang tersenyum itu seorang caleg, ini lebih berat lagi. Apakah karena caleg maka seseorang harus selalu terlihat serius memikirkan bangsa dan negara ini? Mikir. Dia berhak tersenyum. Seperti Anda berhak menangis karena tak punya uang delapan puluh juta, atau seperti Paket Dildo berhak membuat kita berusaha keras membaca huruf-huruf bertinta merah pada setiap quote mereka. Begitu.
Kedua, dengan berpikir demikian Anda masuk di golongan orang-orang yang gemar berburuk sangka. Suka curiga. Itu bukan sikap yang baik, kan? Maksud saya, curiga bahwa seorang caleg tersenyum sebagai strategi mendulang suara itu rasanya berlebihan. Bisa jadi dia tersenyum karena wajah Anda tampak lucu. Kan bisa. Iya to?
Iya, sih. Rene Descrates menyarankan agar kita semua memiliki kesangsian metodis karena “…. our sense sometimes deceive us“. Tetapi, berburuk sangka menghubungkan senyum dengan niat seseorang menjadi caleg kok rasanya seumpama jauh panggang dari penggorengan. Dan sama sekali tidak metodis.
Cartesian doubts mengidealkan situasi yang di dalamnya terdapat proses penalaran yang lebih mendalam sebelum mengeluarkan kesimpulan—considering the fact that all the same thoughts we have when we are awake can also come to us when we are asleep, without any of them being true. Bukan tidak mungkin caleg yang Anda lihat sedang tersenyum itu sesungguhnya sedang hendak menangis karena anggaran belanja kampanye yang menipis akibat ditipu tim sukses.
Bertrand Russel dalam bukunya berjudul “Sejarah Filsafat Barat”, mengurai ‘kesangsian metodis’ milik Descrates, menjelaskan bahwa: … mimpi, bagaimanapun juga, seperti para pelukis yang menghadiahi kita salinan dari barang aslinya, paling tidak dalam hal elemennya; kau bisa memimpikan kuda bersayap, hanya karena kau telah melihat kuda dan sayap.
Nah! Bukankah di dunia nyata kita pernah melihat orang yang menangis tetapi wajahnya mirip orang tertawa, juga sebaliknya? Jadi, janganlah terburu-buru mengambil kesimpulan. Lagipula, jika memang dia ramah dan selalu tersenyum karena sedang menjadi caleg, hal itu sama sekali bukan sebuah kesalahan. Malah memang sudah seharusnya demikian.
Baca juga: Membaca Norwegian Wood, Mendengar Dongeng Murakami dan Kritiknya bagi Para Aktivis
Paling tidak ada tiga alasan mengapa seorang wajib ramah dan selalu tersenyum ketika menjadi caleg.
Pertama, kita semua memerlukan anggota legislatif yang ramah. Orang-orang begitulah yang akan dengan senang hati mendengar keluh-kesah kita. Bahwa nanti keluh-kesah itu berujung pada solusi atau hanya sampai di ‘pendengaran’ saja, itu urusan lain. Yang penting dia mau dengar dulu. Sesekali kita butuh orang-orang seperti Eko Patrio yang lucu itu di kursi dewan. Sesekali saja. Biar kita bisa tertawa. Agar dunia tetap terasa menyenangkan.
Kedua, ini masalah ingatan. Peristiwa kebaikan atau kehebatan seorang sebelum dia menjadi caleg yang tersimpan di long-term memory kita harus dibangkitkan lagi. Caleg berkewajiban melakukan itu agar dia dipilih. Bukan karena rajin tersenyum tetapi karena kebaikannya di masa lalu. Artinya, senyum caleg jelang Pemilu ditujukan untuk mengingatkan kita pada rekam jejaknya.
Bukankah ini baik buat kita? Para pemilih akan menggali ingatan jangka panjang mereka tentang seseorang dengan melihat senyumnya beberapa bulan terakhir ini. Kalau track record-nya baik, kita pilih. Kalau buruk, kita bilang: “Ah. Senyum yang palsu!” See? Kita berhasil menggunakan kesangsian metodis melalui keramahan dan senyum caleg jelang Pemilu. Bukan main, Esmeralda. Hebat sekali!
Masih soal ingatan, kita adalah sekumpulan orang dengan short-term memory yang sungguh kuat–dan umumnya adalah yang paling sering kita pelihara. Ini penting sekali bagi para caleg. Agar ketika sampai di TPS nama/fotonya dicoblos, dia wajib tersenyum dan ramah setiap saat.
Ketiga, berhubungan dengan keajaiban 21 hari. Saya pernah dengar tentang ini. Hal-hal apa saja jika secara konsisten dilakukan selama tiga minggu, akan menjadi kebiasaan hidup. Kalau selama 21 hari selalu membaca puisi Fadly Zon, karya puisimu akan serupa itu. Kalau ingin selalu bangun pagi, berlatihlah melakukannya selama 21 hari. Kalau ingin dirindukan, cobalah mengirim pesan secara konsisten pada jam yang sama selama 21 hari. Ehmmm.
Baca juga: Panduan Pedekate Terkini Berdasarkan Pengalaman Para Pendahulu (Bagian 1)
Untuk para caleg, ini penting sekali. Ramah dan selalu tersenyum selama 21 hari berturut-turut, hari-hari kehidupannya berikutnya akan diisi dua hal itu. Dia menjadi pribadi yang ramah dan selalu tersenyum. Termasuk ketika nanti tidak terpilih.
Bayangkan kalau dia tidak konsisten melakukannya. Bukan tidak mungkin, pasca-Pemilu kita akan sering menjumpai orang-orang yang menangisi kekalahannya. Selama tiga minggu kita berjumpa situasi seperti itu, kita akan melihat dunia sebagai sesuatu yang murung. Mau begitu? Tentu tidak.
Karena itu, janganlah menyindir para caleg yang ramah dan selalu tersenyum itu. Dukung mereka. Dibalas saja dengan senyuman terbaik. Mereka membutuhkannya. Agar optimis. Juga agar ketika terpilih mereka akan mengingat kita. Mendengar keluh-kesah kita. Meski mereka tahu bahwa di TPS kita memilih orang-orang yang membayar. Eh?
—
1 Februari 2019
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
—
Gambar dari IDN Times
Tersenyum itu seharusnya mudah, tapi seringkali menjadi sulit. Dan justru kita yang mempersulit karena kepikiran macam-macam dibelakang.Menjadi caleg atau pun menjadi pemilih, seringkali terjebak dalam poros-poros tertentu. Sehingga tersenyum pun menjadi sulit.
Membalas senyum caleg boleh, lah. Yang penting tidak senyum-senyum sendiri, apalagi sampai ketawa-tawa di tengah pasar. Caleg juga ogah dekat-dekat kita.
Itulah. Semoga semua situasi ini segera selesai supaya kita tersenyum biasa saja hahaha
Hahahaha… good point 😀