Om Rafael dan Kisah Toko Sepatu
Kalau ada yang bertanya mengapa tujuan utamanya adalah toko sepatu dan bukan toko pakaian seragam, itu artinya penanya belum pernah menyekolahkan anaknya. Baju seragam itu disiapkan sekolah, hei sodara-sodari. Harganya memang mahal tapi ya, biar seragam, yayasan bergerak. Itu! *smile Tapi ini adalah kisah yang sama sekali lain. Saya sedang senang bikin belok-belok cerita. Dari A ke B, saya kadang harus menampar titik L, kemudian Z, dan lain-lain. Tak beraturan. Biar macam sinetron, halaaah.
Om Rafael mempunyai seekor anjing. Anjing miliknya pernah dengan sukacita menggigit regot–tungkai lutut belakang–saya pada suatu ketika. Saya masih SD dan belum pernah digigit anjing dan tak pernah berani menggigit anjing. Hellooow. Saya berteman dengan Om Rafael, tetapi tidak bersahabat dengan anjingya. Mungkin karena itulah anjing itu menggigit saya dan digigit anjing itu sakit. Tetapi lebih sakit menahan tangis sesungguhnya.
Ketika digigit, saya sudah tahu betapa manisnya pujian. Dan demi sebuah pujian bahwa saya anak yang hebat, saya harus menahan tangis saat itu. Itulah. Selain dari roti, anak kecil juga hidup dari pujian #eh #ApaSih #Abaikan
Bertahun-tahun setelah peristiwa itu saya tinggal di Ruteng. Sudah SMA dan sedang merasa ganteng maksimal. Muder Yuli berhasil saya rayu untuk memberikan uang bulanan tambahan. Alasannya, sandal saya sudah jelek dan saya mau beli yang baru. Ketika itu hujan rintik. Terpukau aku dalam keharuan… (halaaah, kok malah nyanyi? Ayo, ada yang tau ini lagu apa? Sambil sodara-sodari berpikir, saya lanjutkan cerita ya? Ya. Lanjutkan…).
Sedang musim sandal merk topsy di Kota 1000 Gereja ini. Berbekal uang tambahan itu, berangkatlah saya ke toko sepatu, yang secara ajaib juga ternyata menjual sandal. Begitulah. Niat saya sudah bulat. Teman-teman saya bisa pakai merk topsy, maka saya juga harus beli sandal merek daimatu. What? Uang kurang sodara. “Tak dapat topsy, daimatu pun jadi,” kata saya mencari alasan atas kemiskinan itu dengan membuat peribahasa baru.
Di toko sepatu, saya celingak-celinguk di depan rak sepatu. Ini aneh. Padahal kan saya cari sandal, iya to? Saya tampaknya telah keliru memilih etalase, Sodara-sodari. Tidak heran, ada duapuluh menit lamanya saya terlihat oleh penjaga toko sebagai orang yang kebingungan di depan deretan sepatu itu. Penjaga datang.
“Menanti pacar,” jawabku. …Sungguh aneh tapi nyataaaa… — (nah, lo… saya nyanyi lagi, haisss).
Waktu itu saya jawab: “Mau cari sandal Daimatu.” Eh, dianya langsung marah. Suaranya keras sekali. “NANA, TIDAK LIHAT KA? INI RAK SEPATU! SENDAL ITU DI RAK DEPAN! MACAM TIDAK SEKOLAH SAJA!” katanya lalu berlalu, tinggal aku sendiri terpaku menatap langiiit… #eh?
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Saya tersinggung. Saya kan hanya keliru memilih rak sepatu, apa hubungannya sama sekolah? Tapi tidak saya katakan. Uang dari Mama Yuli saya pegang erat-erat lalu berjalan ke luar. Di pintu keluar, seorang penjaga lain yang tidak tahu kasus saya tadi bertanya ramah.
Karena sudah telanjur tersinggung, saya jawab: “Mau beli paku dan linggis, Tanta. Ada?”
Dia bingung lalu menggeleng.
“Kalau skop?” tanya saya lagi lalu pergi, meninggalkannya dalam kebingungan. Dari jauh saya lihat dia bolak-balik melihat ke arahku dan ke dalam toko bergantian, seolah memastikan bahwa dia memang penjaga toko sepatu, bukan toko bangunan. Icek dires!
Saya tidak jadi membeli Daimatu di toko itu karena penjualnya tidak ramah. Uang dari Muder Yuli saya pakai untuk membeli sandal di emperan toko. Penampakannya mirip daimatu, merknya juga mirip: DAIMALU. Sandal itu memang memalukan. Sehari pakai, lemnya sudah ‘goap’, terbuka sendiri tanpa ada yang memberi perintah. Oh. Seminggu kemudian rusak. Aku menangis, seoraaang diriiii. Hatikuuu… (haisss, nyanyi lagi kan…).
Tetapi saya puas. Puas karena tidak jadi membeli sesuatu dari toko yang pelayan a.k.a penjaga tokonya kasar. Penjual ideal adalah yang menjual barang dengan ramah. Kalau tidak ramah dan malah suka marah-marah, jangan jadi penjual, cobalah menjadi bos atau pimpinan. Lebih masuk akal rasanya seorang bos marah-marah. Kalau penjual marah-marah?
Sebagus apa pun jualanmu, tidak akan laku. Ya, tidak akan laku kalau kau suka marah-marah. Dalam strategi pemasaran, penjual yang ramah adalah jaminan terjualnya sebuah produk. Kualitas soal kemudian, yang penting ramah dulu.
Misalnya yang mau dijual adalah visi misi kandidat dalam sebuah perhelatan politik, lakukan dengan ramah, Sodara-sodari. Jangan marah-marah, apalagi sampai menganggap produk lain tida baek. Itu investasi yang buruk bahkan meski sebenarnya produk yang mau kalian jual itu kualitasnya buagusss banget; tetap tidak laku kalau kau yang ditunjuk jadi penjual itu suka marah-marah. Sandal daimatu itu bagus, tetapi saya memilih daimalu saja karena penjual daimalu lebih ramah.
“Sendal so’o e, Nana. Murah. Kalau Ite beli satu pasang, bisa dapat dua. Satu kiri dan satu kanan,” katanya dan saya beli dengan hati senang. Saya benar-benar dapat dua sandal, kiri dan kanan. Bahagia to?
Saya ingat Om Rafael dan anjing miliknya. Om Rafael orang yang ramah. Maka, meski tahu anjingnya galak–seorang teman saya pernah digigit, bukan oleh Om Rafael tetapi oleh anjingnya, ya iyalaaah, helooo–, saya tetap main ke rumahnya. Saya percaya saja waktu Om Rafael bilang, anjingnya sudah tidak galak lagi. Ingat! Ini karena Om Rafael sampaikan dengan ramah. Mainlah saya ke rumah itu dan terjadilah peristiwa menggenaskan itu: anjing Om Rafael menggigit regot saya. Ada paket, bekas luka, yang tidak hilang sampai kini dari regot saya.
Apakah saya dendam pada Om Rafael? Tidak. Saya marah pada anjingnya yang tidak ramah. Tentang mengapa dulu saya main ke rumahnya Om Rafael, saya tidak ingat. Mungkin mau beli sandal, mungkin juga mau tanya visi misi, saya sungguh tidak ingat. Yang pasti, kalau Om Rafael jadi jurkam, pasti banyak yang suka. Dia ramah. Tidak sombong. Rajin sembahyang. Itu saja sudah cukup. Lain tidak.