memaknai cinta bersama sergius mencari bacchus norman e pasaribu dimas radjalewa

Memaknai Cinta Bersama ‘Sergius Mencari Bacchus’

Sergius Mencari Bacchus adalah buku kumpulan puisi Norman Erikson Pasaribu. Buku ini masuk dalam daftar pendek Kusala Sastra Katulistiwa Literary Award tahun 2016, pemenang pertama sayembara manuskrip kumpulan puisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2015.


Dalam pembacaan Dimas Radjalewa (anggota Komunitas Sastra KAHE Maumere dan peserta bengkel puisi Majelis Sastra Asia Tenggara MASTERA 2017), Sergius Mencari Bacchus merupakan usaha sukses dalam eksplorasi tematik, dan bukan hanya karena mengusung tema yang jarang dalam puisi Indonesia.

Esai ini pertama kali terbit di Jurnal Sastra Dala ‘Ela Simak terbitan Komunitas KAHE (Sastra Nian Tana) Maumere. Disiarkan di Ranalino.co atas izin penulis. Selamat menikmati!

Memaknai Cinta Bersama ‘Sergius Mencari Bacchus’

Oleh: Dimas Radjalewa

Sergius dan Bacchus adalah dua tokoh yang kisahnya terdapat dalam hagiografi dari abad keempat. Sergius (atau Serge) dan Bacchus adalah tentara Kristen Romawi abad keempat dan dihormati sebagai martir dan orang-orang kudus oleh Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Ortodoks Oriental. Keduanya diperingati setiap tanggal 7 Oktober.

Menurut hagiografi, Sergius dan Bacchus adalah perwira tentara Galerius Maximianus (284-305) yang sangat dihormati hingga keduanya diketahui sebagai orang Kristen. Sergius dan Bacchus ditunjuk untuk posisi terhormat oleh kaisar Maximianus yang tidak tahu bahwa mereka adalah orang Kristen.

Orang-orang yang menaruh iri hati karena hal ini kemudian memberitahu Kaisar Maximianus bahwa dua perwira tentaranya tidak menghormati dewa-dewa Romawi. Hal ini dianggap sebagai kejahatan terhadap negara.

Kaisar ingin meyakinkan dirinya tentang kebenaran tuduhan itu. Ia lalu memerintahkan Sergius dan Bacchus mempersembahkan korban kepada dewa-dewa, tapi mereka menjawab bahwa mereka menghormati satu Tuhan dan menyembah hanya kepada-Nya. Maximianus yang marah memerintahkan agar lambang pangkat militer (ikat pinggang, liontin emas, dan cincin) keduanya dilucuti dan kemudian dipaksa mengenakan pakaian perempuan. Mereka diperintahkan mengelilingi kota dengan rantai besi di leher mereka dan orang-orang mengejek mereka sepanjang jalan.

Keduanya kemudian dikirim ke gubernur bagian timur Suriah, Antiokhus, pembenci fanatik orang-orang Kristen. Antiokhus meminta mereka untuk meninggalkan iman Kristen sehingga dirinya tidak perlu memberikan siksaan kejam bagi anak-anak yang disayanginya itu. Sergius dan Bacchus menjawabnya, “Bagi kami hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” Antiokhus yang marah memerintahkan agar Bacchus dipukuli tanpa ampun sampai mati, sedangkan Sergius dikirim ke kota lain, di mana ia dipenggal dengan pedang.

Dalam teks Martirologi kuno, seperti yang diterjemahkan oleh John Bosswell, ahli sejarah dari Yale University, dari teks berbahasa Latin “Passio antiquior SS.Sergii et Bacchi Graece nunc primum edita” AB 14 (Brussels, 1859), tercatat bahwa hubungan antara Sergius dan Bacchus sangat dekat, bahkan dipercayai adalah sepasang kekasih. Dalam teks berbahasa Yunani digunakan kata ‘erotoi’ (lovers= kekasih) untuk menggambarkan hubungan Sergius dan Bacchus.

Norman Erikson Pasaribu dalam kumpulan puisi Sergius Mencari Bacchus memperkenalkan bahasa baru untuk memahami fenomena homoseksualitas. Di tengah maraknya pro-kontra penerimaan  keberadaan kaum gay dan lesbian serta legalisasi same-sex union di Indonesia, puisi-puisi Norman memperlihatkan kenyataan dan sisi lain dari fenomena homoseksualitas yang selama ini dimengerti sebagai sebuah fenomena “kelainan” atau “penyimpangan” seksual atau juga against the natural law. Puisi-puisi Norman merupakan kisah-kisah tragis yang disampaikan secara ringan.

BACA JUGA
Jeff Goins: Penulis Tak Boleh Puas dengan Karyanya

Dengan mengangkat fenomena homoseksualitas, Sergius Mencari Bacchus merupakan usaha sukses dalam eksplorasi tematik bukan hanya karena mengusung tema yang jarang dalam puisi Indonesia, tetapi lebih karena tema ini digarap dengan sangat baik sebagai sebuah usaha melahirkan bahasa baru yang mungkin selama ini “haram” digunakan dalam kesusasteraan  Indonesia, tetapi justru menjadi kenyataan yang tragis dan juga mengusahakan gerak dinamis dari pandangan-pandangan moral yang selama ini diyakini sebagai tetapan-tetapan baku.

Fenomena homoseksualitas dalam Sergius Mencari Bacchus tidak dipahami tunggal dan terpisah dari kenyataan lain. Homoseksualitas hanyalah salah satu dari sekian banyak jalan untuk memahami makna keberadaan seorang manusia dan juga sebagai sebuah jalan untuk menemukan makna cinta sejati. Dengan demikian, homoseksualitas dipahami sebagai sebuah identitas dan jalan hidup yang dipilih.

Kesadaran akan identitas dan keyakinan akan preferensi seksual yang dipilih ini tidak mungkin diungkapkan secara bebas dalam lingkungan yang justru mengutuk jalan homoseksualitas. Dan tak jarang kenyataan ini menimbulkan luka yang mendalam. Ini misalnya dapat kita jumpai dalam puisi “Erratum” (hlm. 6):

Apa yang ia pikirkan ketika memilih
tubuh ini, di keluarga ini, di mana
seorang lelaki bisa dijodohkan dengan
keponakan ibunya, di mana putra pertama
selalu adalah segala, ketika di sekolah menengah
ia jatuh cinta kepada teman sebelahnya, dan
sisa dari cinta pertama adalah ciuman pertama
saat mereka membolos pelajaran olahraga,
ketika suatu hari, tak lama setelah terbit buku pertamanya,
sambil duduk bersila, dan makan bersama,
ia bilang kepada keluarganya tak akan berakhir
dengan seorang gadis, Toba ataupun Karo,
ketika ia berdiri di pinggir jalan malam itu,
sendirian, mobil-mobil melewatinya,
kata-kata ayahnya menguntitnya:
Jangan kembali lagi, Banci, ketika ia meratap
di bawah tiang listrik, panik saat gerimis pertama
jatuh ke rambutnya, ketika mendapati keganjilan pada teks
hidupnya, dan berharap sebentar lagi Penerbit
mengeluarkan secarik kertas koreksi,
menambahkan baris-baris yang hilang, ketika
mendapati ia adalah segala sekaligus bukan apa-apa,
ketika menyadari sisa cinta pertama
adalah ciuman pertama ketika keluarganya
duduk bersila, makan bersama, bersyukur
karena masih memilih tubuh ini, di keluarga ini

Pertanyaan panjang di atas barangkali bisa disederhanakan: “Mengapa ia menciptakan saya sebagai lelaki yang mencintai lelaki lain dalam sebuah keluarga yang sangat mengutuk hal tersebut?”

Seorang manusia tidak pernah memilih untuk terlahir sebagai laki-laki atau perempuan. Dan manusia yang tidak pernah memilih terlahir sebagai laki-laki atau perempuan itu juga tidak pernah memilih untuk terlahir sebagai laki-laki atau perempuan dengan preferensi seksual seperti apa.

Laki-laki atau perempuan pada saatnya menjadi tetapan dan kelelakian atau keperempuanan secara fisiologis-biologis dapat berada dalam kontrol yang mekanistis. Namun, preferensi seksual adalah gerak dinamis dan acak yang tidak bergantung pada fungsi-fungsi fisiologis-biologis semata dan karenanya tidak dapat berada di bawah kontrol yang ketat dan mekanistis seperti yang dikisahkan dalam puisi “Curriculum Vitae” (hlm.49).

BACA JUGA
Menuju Flores Bebas Rabies (Bagian 3): Minta Maaf, Beta Talalu Sayang

Bagaimana mungkin sepasang pria atau sepasang wanita menemukan cinta sementara seluruh isi kitab suci agama mereka dan undang-undang negara menetapkan bahwa cinta hanya untuk sepasang pria-wanita?

Terhadap pertanyaan ini, Norman memberikan jawaban dengan menunjukkan sisi lain dari same-sex union, yakni meskipun sepasang pria-wanita memang dipercayakan untuk beranak cucu dan memenuhi muka bumi dan KTP hanya mengisi kolom status pernikahan untuk sepasang pria-wanita, tetapi cinta dipercayakan kepada semua orang tanpa kecuali, termasuk sepasang pria atau wanita di tempat yang dianggap paling gelap sekalipun. Cinta bukanlah sesuatu yang bisa dimonopoli oleh kelompok mana pun.

Di sinilah tujuan dari perjalanan untuk menemukan cinta sejati sebagai seorang dengan preferensi homoseks dapat dipahami. Pencarian makna cinta sejati pada akhirnya bukan untuk ditemukan tetapi untuk dialami. Peleburan seluruh diri dan relasi yang terjalin selama ini membuat setiap manusia akhirnya mengalami semesta cinta dan mengerti ada cinta yang sejati.

Cinta akan dialami sebagai bahasa semesta yang mampu dimengerti semua makhluk dan melampaui berbagai tapal batas seperti penampilan fisik, suku, budaya, agama, usia, pandangan politik, maupun jenis kelamin, maka bahasa universal ini dapat juga digunakan oleh sepasang pria untuk menjalin relasi yang jauh lebih intens. Dan karena sifatnya yang universal dan mampu melampaui semua tapal batas dunia (earthly boundary), cinta tidak hanya tumbuh, bersemi lalu berbuah pada sepasang pria-wanita.

Ia juga dapat tumbuh dalam hati sepasang laki-laki atau perempuan kemudian bersemi dan menghasilkan buah. Inilah yang dengan sangat fasih diungkapkan Norman dalam puisi “Tentang Sepasang Lelaki Muda Di Basemen P3 fX Sudirman”:

salah satu teman mereka mengatakan di belakang
bahwa yang mereka rasakan hanyalah hasrat tak lazim belaka,
tetapi mereka berdua telah mengenal diri mereka masing-masing
dan meyakini bahwa rindu yang mereka rasakan memang rindu,
dan cinta di dada mereka adalah cinta yang sama yang menyatukan
Sergius dan Bacchus, dan kesepian yang mereka rasakan ketika terpisah
Tak berbeda dari milik Henry Newman sejak 1870 hingga akhir hayatnya,
Dan bukankah dunia yang terus-menerus keliru mengenal dirinya sendiri?

dan juga dalam bait terakhir puisi “Curriculum Vitae”:

20)
Ia akan menjadi tua. Kau akan menjadi tua. Kalian akan menjadi
tua, dan dipersatukan di hadapan Tuhan yang bercabang tiga-
seperti pohon- yang barangkali memiliki satu anak bernama
Langit. Buah-buah kalian akan memenuhi Bumi ini, sehingga
Kelak ketika seseorang berjalan sendirian dari tiap jendela di tiap
Bangunan di tiap tepi jalan terdengar, “Salam!” “Salam!” “Salam!”

Berbagai potret kenyataan tentang fenomena homoseksualitas yang disajikan Norman dalam Sergius Mencari Bacchus sebetulnya tidak berfokus pada fenomena homoseksualitas semata. Lebih jauh, Norman sebenarnya ingin menunjukkan pada para pembacanya, secara khusus pembaca Indonesia, bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan masyarakat kita. Ketidakberesan ini ditandai dengan kemunculan pertanyaan “Mengapa seseorang tidak bisa berbahagia dengan identitasnya?”

BACA JUGA
Tulis Surat untuk Sahabat, Ivan Nestorman Bicara tentang Pemajuan Kebudayaan di NTT

Pertanyaan ini menjadi amat penting dan dapat dijadikan indikator ketidakberesan suatu kelompok masyarakat karena identitas personal adalah dasar yang tidak bisa diabaikan dari setiap makhluk. Kita boleh memiliki identitas kolektif sebagai bangsa Indonesia, sebagai orang Batak, sebagai anak dari keluarga tertentu, tetapi itu semua dibangun oleh personalitas setiap orang yang tidak bisa diabaikan. Bagaimana mungkin kita merasa kehidupan dalam kelompok masyarakat kita baik-baik saja sementara masih banyak orang merasa tidak berbahagia dengan identitas pribadinya di tengah kolektivitas yang justru asing baginya. Inilah yang kiranya dapat menjadi renungan penting bagi kehidupan kita.

Baca juga: Untuk Bahagia, Kita Hanya Butuh Orang Lain Menderita

Selain itu, keistimewaan Sergius Mencari Bacchus tidak terletak pada eksplorasi estetik dengan bahan dasar kata-kata. Kata-kata ditempatkan bukan untuk menghasilkan pantulan keindahan, tetapi agar saling bertabrakan membentuk bangunan kenyataan dengan bias makna dan keindahan dari dalam (inner beauty) yang belum pernah dijumpai dalam karya-karya lain dengan tema sejenis.

Akibatnya, kisah-kisah yang mungkin biasa bagi kita tiba-tiba mengguncangkan kesadaran dan menyebabkan pergeseran nilai tetapan-tetapan moralitas yang selama ini diyakini sebagai The “one and only” Truth. Bahasa baru yang ditawarkan Norman mencoba mengkomunikasikan sifat dasar cinta, yakni transformatif. Cinta adalah gerak acak yang transformatif.

Dan, perjalanan menuju sumber cinta sejati bukanlah perjalanan untuk memahami, tetapi untuk lebur dalam transformasi yang disebabkan oleh cinta sebagaimana dengan sangat indah diungkapkan dalam puisi “Ia dan Pohon”:

Siang itu ia meminta maaf kepada satu-satunya pohon
di tepi lahan parkir kantornya, yang memayungi mobilnya
dari terik. Ia meminta maaf untuk kakeknya yang adalah
pengusaha kebun sawit, untuk keluarga mereka yang
turun-temurun meyakini seorang tukang kayu sebagai anak tuhan.
Pohon itu meratap, teringat dengan kawannya
yang dicabut dari tanah ketika mereka kanak-kanak,
dengan alasan “terlalu dekat dengan bangunan”. Dari kejauhan
mereka biasa saling tatap dan berkedip, dan berpikir ketika
mereka dewasa kelak dan burung atau kupu-kupu mulai hinggap sebentar
pada cabang serta pucuk mereka, mereka bisa saling menitipkan pesan.
Pohon itu menyesali tak sempatnya ia mengatakan
ia mencintai kawannya itu; ia ingin membawa kawannya itu
ke gereja, dan di depan altar mereka bisa dipersatukan di
hadapan tuhan yang bercabang tiga-seperti pohon-
Dan anak-anak mereka bisa memenuhi lahan parkir itu,
sepetak demi petak, hingga kelak orang-orang lewat
mengira ada hutan di tengah kota. Pria itu pun memeluk pohon itu,
dan pohon itu memeluknya.

(*)

Dimas Radjalewa bergiat di Komunitas Sastra KAHE Maumere.

Hagiografi/ha·gi·o·gra·fi/ n 1 buku atau tulisan yang memuat riwayat hidup dan legenda orang-orang suci; 2 riwayat hidup orang-orang suci.

Gambar dari The Jakarta Post.

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *