Banyak lagu Manggarai ini ditulis berdasarkan relasi yang dalam antara pencipta dengan tanah tempat dia berasal.
Sebelum membahas 5 lagu Manggarai yang mewakili relasi itu, saya ingin kita memiliki kesamaan definisi tentang Lagu Manggarai. Apa itu lagu Manggarai? Agar catatan ini memiliki keluwesan lebih dalam memilih lagu, saya mencoba memakai batasan yang cair.
Lagu Manggarai adalah:
- Lagu yang liriknya menggunakan bahasa Manggarai;
- Lagu tentang Manggarai (orang, alam, soal, dan lain-lain);
- Lagu yang notasi/nadanya bersumber pada lagu-lagu tradisi Manggarai (sanda, mbata, dan lain-lain);
- Lagu-lagu tradisional Manggarai;
- Lagu yang komposisinya menggabungkan empat hal di atas.
Tentu saja batasan tersebut dapat berubah–semakin banyak atau dipadatkan–melalui proses diskusi yang dalam. Saya berharap diskusi demikian dapat terjadi agar dapat menjadi semacam “pagar”, meski sama sekali tidak dimaksudkan untuk membatasi para seniman musik berkarya secara merdeka.
Tentang mengapa batasan menjadi penting, rasanya kita butuh bahasan yang lain, yang lebih rinci, yang lebih lebih lengkap, mungkin tentang mengapa definisi dibutuhkan. Apa pentingnya definisi? Mengapa definisi dibutuhkan? Semoga ada bloger yang lain yang bersedia membahas soal itu.
Catatan ini sesungguhnya tentang alasan saya memilih 5 lagu Manggarai berikut ini sebagai lagu yang bercerita secara jujur tentang Manggarai. Sebut saja ini kekaguman personal. Karena itu, peluang bahwa kita berbeda pendapat (atau bahkan saya sendiri akan berubah di kemudian hari) sangat mungkin terjadi. Kadang bisa begitu.
So, let’s go to those songs in alphabetical order!
Capang Tana karya Paskalis Baut, dipopulerkan oleh Lalong Liba
Lagu ini adalah salah satu lagu terbaik yang memotret satu sudut Manggarai. Bukan sudut yang patut dibanggakan, bahkan diusahakan agar tidak lagi terjadi. Lagu Capang Tana berkisah tentang konflik perebutan tanah di Manggarai. Biasa dikenal dengan istilah perang tanding, di mana dua kubu yang terlibat dalam konflik “berusaha” menyelesaikan masalah mereka dengan cara berperang.
Ya, berperang dalam arti sebenarnya; angkat senjata, saling membunuh. Di beberapa tempat lain di Indonesia, kejadian serupa juga pernah diceritakan. Dengan nama yang berbeda, tentu saja. Di Manggarai, meski kerap diberitakan sebagai perang tanding, capang tana adalah nama lokal untuk peristiwa tersebut. Beberapa kisah paling populer terkait perang tanding, di antaranya Dimpong – Nggawut dan Dalo – Ngkor.
Lagu Capang Tana yang dinyanyikan oleh grup Lalong Liba (Paskalis Baut, dkk) bercerita tentang peristiwa-peristiwa itu, terutama akibat yang timbul dari perang yakni kematian. Saya mendengarnya dalam dua versi, dan versi terakhir, untuk Album Terbaik Lalong Liba, aransemennya dikerjakan oleh Illo Djeer, musisi asal Manggarai yang kini menjadi salah satu personil Krontjong Toegoe. Pada lagu ini Illo memasukkan melodi gitar yang menyayat (apa istilah ini sudah betul?), membuat seluruh cerita menjadi semakin kuat.
Secara kronologis, Capang Tana dimulai dari cerita tentang seorang Ibu yang menangisi suaminya yang meninggal dunia karena perang tanding. Bagian puncak lagu ini (barangkali pola ini menjadi sangat umum di Manggarai) berisi nasihat agar tidak lagi terjadi peristiwa serupa. Tetapi, secara pribadi saya berpendapat bahwa yang bahwa bagian ini bukan yang terbaik (baca: bukan alasan yang membuat Capang Tana ada di daftar lima lagu Manggarai terbaik ini).
Yang membuat lagu ini menjadi hebat adalah pengetahuan penciptanya pada goet-goet Manggarai, serta kepiawaiannya memasukkan goet-goet dalam lagu dengan pemilihan not atau nada yang pas. Asi koe capang tana/ bom teo ngai lanar kid satar/ Asi koe rombo golo/bom toe ngai penong kid bengkok, dan beberapa bagian lagi.
Lirik itu, sebagaimana umumnya goet/puisi dalam bahasa Manggarai, tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa lain dengan ‘kekuatan’ yang sama. Meski demikian, untuk yang tidak mengerti bahasa Manggarai, lagu ini melalui kekuatan melodinya, akan dengan mudah dicintai terutama oleh penggemar lagu-lagu balada.
Lelak Loce Renda karya Felix Edon
Lagu ini adalah salah satu karya paling populer dari pencipta lagu-lagu Manggarai Felix Edon. Lelak Loce Renda (dikenal juga dengan Loce Renda) berisi pelajaran tentang hidup. Sebut saja begitu. Bahwa di balik hasil yang hebat ada proses yang panjang, bahwa di ujung setiap perjalanan kau harus menjadi pribadi yang lebih hebat.
Lirik Lelak Loce Renda juga menggunakan goet (baca: go’et; puisi dalam bahasa Manggarai)–sesuatu yang menjadikan lagu ini kuat. Rentang nada yang dipilih Felix Edon untuk lagu ini sangat lebar, membuatnya tidak bisa dinyanyikan oleh yang kemampuannya pada nada rendah tidak terlampau istimewa (jika kita pernah mendengar versi rekaman komersil pertama).
Meski demikian, sebagai usaha leraian, pada rekaman-rekaman berikutnya–juga ketika dinyanyikan live–bagian nada rendah itu disiasati; dinyanyikan dengan notasi pada oktaf yang lebih tinggi (maafkan penjelasan teknis yang tidak memadai ini). Soal ‘rentang nada’ inilah yang membuat saya merasa lagu ini layak masuk dalam lima lagu Manggarai terbaik, selain fakta bahwa lagu ini masuk dalam the most singing song di Manggarai.
Yang saya maksudkan dengan oktaf-oktaf di atas adalah bagian “one kebe” (dari lirik karong salang lako boto weleng one kebe) yang dalam ingatan masa kecil saya ketika mendengar versi rekaman pertama, dinyanyikan dengan nada rendah. Sekarang, bagian itu lebih sering dinyanyikan pada oktaf di atasnya. Haisss, bagaimana menjelaskan ini agar lebih mudah ditangkap? Hiks…
Di lagu ini, Felix Edon memakai goet-goet paling populer di Manggarai seperti: lalong bakok du lako’m, lalong rombeng koe du kole’m (pesan agar ketika kau pulang, keadaanmu harus jauh lebih baik dari waktu kau pergi); pede dise ende, waheng dise ame (tentang pesan Ibu dan Ayah); dempul wuku, manga dumpu’n (setiap kerja keras pasti menuai hasil).
Lelak loce renda/ toe emong neho lelon/ senget pede dise ende/ agu waheng dise ame/ dempul wuku, manga dumpun// Lalong bakok du lakom/ lalong rombeng koe du kolem/ Mori e, Mori mese/ lelo g ta// karong salang lako/ botong weleng one kebe//
Molas Baju Wara karya Lipooz
Karya yang baik lahir dari empati yang baik. Atas tesis itu, saya harus mengakui bahwa Lipooz melakukannya dengan sangat baik di komposisi ini. Molas Baju Wara bercerita tentang seorang pemuda Ruteng yang mengagumi seorang perempuan berbaju merah.
Tidak bertutur tentang cinta yang cengeng seperti aku jatuh cinta karena karena kau cantik sekali ketika mengenakan baju berwarna merah, Lipooz memilih bercerita tentang Ruteng yang sahaja melalui Molas Baju Wara.
Latarnya adalah Ruteng di tahun 90-an, ketika jalan-jalan masih pakai kaki, pesta muda-mudi, dan para pemuda pemberani yang tidak pakai malu mengungkapkan perasaannya. Lihatlah bagian ini: […] Co peng caran kudut bae liha/ maut teing salam kaut lewat teman diha/ Ae malas tau kat com ngo tombo dungka […]. Yu! Com tombo dungka, omong langsung, tidak pakai perantara, tidak pakai whatsapp. Ini zaman kami! Yes!
Dalam Molas Baju Wara, Lipooz juga berkisah dengan baik tentang relasi ibu-anak.
Saya suka sekali bagian: “Kengko li mama nana to’o ga.. To’o hang leso di nana to’o ga/Dee mama molas ge ho’o aku to’o ga/neka rabo bao toe campe ngo weli gola// Poli hang campe hi mama cuci piring lalu cebong ganti baju/ Nana ngo nia ? Rei di mama, emo det ngo ejor sale kota/Toe beheng mama aku tong kole jam lima.
Dan, Ruteng adalah kota hujan. Di Molas Baju Wara ada cerita itu. Tapi weter daku ali hena le wae eta sa’i gala/ Morii pa’u’n usang mese eta mai awang/ losi’s taung kawan/ hanang koe aku toe ita salang/ usang ho’o calang/ sampe tungkal laku ata pika bawang//
Ini tentu saja tidak terlepas dari bagaimana Lipooz mencintai Ruteng, kota yang di lagu Ruteng is The City–lagu terbaik lainnya tentang Ruteng yang pernah dibuat. Sama seperti Molas Baju Wara, di Ruteng is The City, Lipooz menarasikan hasil rekamannya dengan sangat baik. Tokoh aku dalam lagu ini baru saja tiba di Ruteng dari sebuah perjalanan yang jauh dan menemukan kota ini masih tetap sama: dinginnya malam hari tak menyurutkan niat the locals to have some party, dan seterusnya.
Lipooz adalah rapper asal Ruteng dengan karya-karya yang selalu mendasarkan dirinya pada kisah-kisah sekitar. Molas Baju Wara dan Ruteng is The City adalah salah dua di antara beberapa komposisinya yang kuat, baik rima maupun puisinya, sekaligus menjadi komposisi yang membuka mata banyak pihak bahwa rap bisa dibuat dengan menggunakan bahasa Manggarai, the locals. And, yes, that’s the reason why we have to celebrate his song with some party!
Ngkiong Le Poco karya Ivan Nestorman
Lagu ini bercerita tentang Ngkiong, burung endemik asal Flores yang dikenal dengan nama Kancilan Flores (Pachycephala Nudigula Nadigula). Lagu ini barangkali tidak persis dapat disebut sebagai lagu Manggarai kalau yang dimaksudkan adalah lagu-lagu yang seluruh liriknya dibuat dalam bahasa Manggarai.
Tetapi kalau kita sepakat pada definisi lagu Manggarai yang sudah saya tulis di bagian awal tadi, maka Ngkiong Le Poco termasuk di dalamnya. Liriknya terdiri dari dua bahasa, Manggarai dan Inggris.
Termasuk lagu berlirik “tidak banyak” tapi means a lot. Pertama kali dengar, saya langsung jatuh hati. Saya telah mendengarnya dalam banyak versi, termasuk yang terakhir yang ada di album “Legacy”. Ivan Nestorman sendiri dalam beberapa versi lagu itu, mengganti beberapa bagian lirik, tetapi tetap bercerita tentang Ngkiong.
Mengapa saya menyukai lagu ini? Saya agak sulit merumuskan jawaban pasti. Bisa jadi karena lagu itu ditulis dan dinyanyikan oleh Ivan Nestorman, bisa jadi karena liriknya, tetapi rasanya alasan terbesar adalah karena melodinya. Ada sesuatu dalam not-not yang dipilih oleh seniman bernama lengkap Flavianus Nestor Embun ini yang membuat lagu itu selalu saya dengar.
Beberapa karya yang dipentaskan oleh Komunitas Saeh Go Lino Ruteng terinspirasi Ngkiong Le Poco. Tarian tema kami berjudul “Saeh Go Lino Ge” bahkan memakai lagu ini sebagai dasar cerita. Lagu ini rasanya–meski ini pendapat pribadi–“define Ivan”.
Teus karya Makarius Arus
Makarius Arus adalah salah satu pencipta dan penyanyi lagu-lagu Manggarai yang paling terkenal. Teus adalah salah satu lagunya yang paling populer. Tetapi bukan karena popularitas itu saya menyukai lagu ini.
Teus (juga biasa disebut Nana Teus-o) berisi ratapan seorang perempuan tentang kekasihnya yang meninggal dunia pada sebuah peristiwa kecelakaan. Sebut saja ini lagu balada. Yang membuatnya istimewa adalah karena ratapan itu dinyanyikan oleh seorang pria.
Bagaimana Makarius Arus menempatkan dirinya “sebagai perempuan yang meratap” adalah sesuatu yang luar biasa hebatnya. Saya mengagumi Makarius Arus karena kemampuannya memilih perspektif yang berbeda sekaligus mengekskusinya dengan sangat baik; semoga Makarius beristirahat dalam damai.
Sepanjang yang saya kenal, cukup banyak komposisi yang dibuat Makarius Arus yang berisi balada. Satu yang paling terkenal adalah “Kata”, tentang kesedihan atas sakit yang diderita seorang perempuan bernama Katarina. “Sedi(h) nai dami beti’m-o Kata e Rina aa, eee a… Kata belot nai ge.”
Makarius Arus, balada, dan perempuan adalah salah satu contoh bagaimana karya yang baik lahir dari empati pada situasi riil. Kau tidak bisa menulis tentang sesuatu yang jauh dari jangkauanmu dan berharap karyamu itu menembus era. Karya seni yang baik adalah karya seni yang bercerita dengan jujur. Saya kira begitu.
Akhirnya, sampai di sini dulu perjumpaan kita dalam catatan tentang lagu-lagu Manggarai terbaik. Saya berusaha untuk meneruskannya dalam tema yang lain, sebagai apresiasi atas kerja kesenian yang tak pernah berhenti dari orang-orang Manggarai. Tabe.
—
Salam dari Kedutul
Armin Bell
—
Gambar dari Kompas.com
😀 😀 😀
😍😍😍😍
6. Entap-entap demet”. Lalong liba.
Gagaaa hehehe