Cerpen Nada-nada yang Rebah pertama kali disiarkan Floressastra.com. Fian Roger menulis analisis atas cerpen tersebut dan disiarkan di website yang sama.
Pengantar Armin Bell
Salah satu tujuan dibangunnya Blog Ranalino adalah pendokumentasian beberapa tulisan yang pernah saya buat baik di blog lama, maupun yang tersiar di media-media lain. Selain mendokumentasi tulisan sendiri, berbagai komentar-kritik-saran-catatan-dan lainnya yang berhubungan dengan apa yang saya lakukan di ruang publik, juga di-repost di sini. Beberapa contoh sudah ada di blog ini, misalnya tulisan Ucique Klara Jehaun tentang pentas drama panggung Rahasia Pengakuan yang kami buat beberapa tahun silam.
Dalam semangat tersebut, setelah mendapat izin dari Fian Roger, analisisnya atas cerpen “Nada-Nada yang Rebah” disiarkan kembali di sini. Fian Roger adalah Alumnus Fakultas Filsafat di Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, pernah bekerja sebagai jurnalis media cetak di NTT, dan kini aktif menulis untuk idenera.com. Tulisan Fian Roger yang lain juga tersebar di berbagai media cetak dan daring. Selamat menikmati.
Mendengar Ngkiong Le Poco
Oleh: Fian Roger
“Nada-Nada yang Rebah”, sebuah cerita pendek berlatar desa kecil di Manggarai yang diperawani perusahaan tambang. Narasi yang di-posting pada 23 Februari 2016 di “natas bate labar” Flores Sastra ini memancing percakapan soal isu lingkungan dalam sastra.
Armin Bell, si penulis menghadirkan beberapa sosok yakni anak perempuan anonim, ayah dan ibu, seorang ibu ‘solider, dan dua calo tambang. Sementara, beberapa sosok yang tak hadir tapi hadir dalam cerpen di antaranya pemerintah, katolisisme, kapitalisme tambang, komunitas pertanian, dan gerakan pro konservasi untuk burung endemik Flores, Ngkiong (pachaycepala nudigula nudigula).
Dikisahkan, sebuah keluarga petani ugahari yang mendapat dampak langsung kegiatan pertambangan dan eksploitasi hutan. Seorang petani subsisten beralih jadi buruh tambang dan si petani menderita setelah perusahaan tambang pergi karena si keluarga ugahari itu tercabut dari dunia pertanian alamiah karena penyakit yang diwariskan. Tokoh utama anak perempuan yang belajar nada dasar kehidupan Manggarai dari pachaycepala nudigula nudigula, Ngkiong, spesies burung endemik Flores yang hampir punah.
Armin Bell, pengarang cerpen tersebut, saat ini bermukim di Ruteng, Manggarai. Beberapa cerpennya disiarkan di Pos Kupang, Lombok Post, Jurnal Sastra Santarang, Buku Antologi Cerpen Sastrawan NTT, dan lain-lain. Dia juga bergiat di Klub Buku Petra dan Komunitas Saeh Go Lino yang menggagas kegiatan “Sore Cerita – Dongeng untuk Anak”.
Cerpen ini menggunakan beberapa diksi lokal seperti lencar (bambu yang dicacah untuk dinding dan lantai rumah panggung) yang biasa digunakan keluarga ugahari di Manggarai Raya. Nostalgia tentang Ngkiong yang sudah didendangkan musisi Ivan Nestorman membuat nuansanya khas sastra lokal, meski kemudian perlu ada footnotes seperti yang acapkali ditemukan pada cerpen Seno Gumira Ajidarma (cfr. Cintaku Jauh di Komodo).
Inilah tantangan khas ketika menulis sebagai orang dalam dan memiliki ikhtiar untuk mempromosikan diksi Bahasa Lokal kepada publik pembaca. Syahdan, diksi semacam ini menguak kode-kode kebudayaan yang sering kali tidak hadir dalam sastra dari Flores. Kode itu di antaranya, masyarakat Manggarai mempelajari nada dasar kebudayaan Manggarai dari pertanian subsisten. Sebuah kultur pertanian yang berikhtiar mencukupi kebutuhan keluarga kecil, kemudian menjual hasil bumi yang surplus untuk kebutuhan rumah tangga seperti pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan adat.
Nada dasar kehidupan yang dipelajari dari alam itu kemudian memunculkan bahasa ritus (tombo adak), tarian (sae), tata peraturan (ceki), bahasa (tombo, jangkong, jaong), logat, dan kebiasaan sehari-hari masyarakat (wintuk). Dialog ikatan akrab yang humanis sambil menikmati makanan ala kadarnya memunculkan aneka cerita kehidupan, hoax kehidupan (joak), kelucuan yang menggelitik tawa canda (daler, reges), bahkan sastra seperti dongeng klasik (tombo turuk). Hal yang tidak ditemukan generasi siber dalam lingkup dunia infosfer yang melek internet dan gadget. Kegiatan lisan ini menurunkan budaya bicara (tombo), bukan tulisan. Karenanya, tradisi Manggarai itu tepat disebut budaya bicara atau tutur (tombo).
Singkong, kopi, dan bangunan bambu merupakan latar yang menyaksikan kehadiran katolisitas melalui misionaris Katolik yang berkarya di Nusa Lale Misi Katolik hadir dalam kemiskinan dan keugaharian Orang Manggarai yang kemudian mewartakan misi keselamatan Yesus Kristus pada masyarakat pagan yang masih melakukan penyembelihan hewan berdarah kepada “The Unknown”.
Dalam perjalanan waktu katolisitas menjadi jiwa masyarakat Ngkiong, meski di sisi lain mereka masih mempraktikan budaya lokal yang mengagungkan leluhur pejaga bumi dan Yang tak Berhingga dalam ekspresi bahasa dan ritual yang tampak dwiarti.
Baca juga: Piala Pertama Kita yang Patah dan Terlupakan
Katolisitas pun memungkinkan perkembangan peradaban melalui sekolah dan pembangunan karitatif misalnya proyek air minum melalui Pater Waser. Syahdan, katolisitas menjadi kekuatan besar bersama umat, sebuah kekuatan primordial sekaligus politis.
Keterbukaan terhadap katolisitas yang hirarkis menunjukan hospitalitas arkais Orang Manggarai juga kepada Negara. Negara yang hadir melalui aparatus kekuasaan dan pembangunan menyasar kebutuhan masyarakat termasuk menciptakan kebutuhan investasi yang konon mendorong terciptanya lapangan pekerjaan. Misalnya saja kehadiran investasi tambang di beberapa titik di Manggarai Raya. Konflik lahan, peralihan buruh tani ke buruh tambang, kerusakan alam, konflik juridis, bagi-bagi untung dalam transaksi ruang gelap memendar kisahnya dalam serpihan “Nada-Nada yang Rebah.”
Hospitalitas yang terjebak dalam kultur serba terbuka membuat saringan informasi komunitas tersapu dalam godaan investasi tambang yang dibenarkan dalih regulasi oleh pemerintah di tiga Manggarai (Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur). Hospitalitas itu melupakan pesan bahwa, masyarakat pertanian itu “host” di rumah budaya mereka yang bernama Manggarai.
Di sisi lain, politik uang menjadi narasi wajar sabankali pemilihan kepala daerah. Apparatus pemilu pun menganggap ini wajah yang wajar. Toh pilkada itu ajang judi bagi kaum berduit dan pemain kekuasaan. Perputaran kapital masa pilkada meninggalkan serpihan narasi yang terekam dalam masyarakat pertanian miskin di sudut Manggarai.
Kaca mata hitam menjadi metafora kaum borjuis lokal, pemain dan calo kekuasaan, godaan premanisme investasi, dan ada misteri abisal antara kekuasaan dan kemiskinan di Manggarai Raya. Nah, jangan kaget kalau Bupati di Barat Manggarai gemar berkaca mata hitam. Manggarai ini menggoda karena daerah ini kaya. Kekayaan Nusa Lale pun membuat mata silau. Karena itu, kenakanlah riben/kaca mata gelap.
Godaan investasi juga memunculkan konflik kepemilikan lahan (bandingkan dalam kasus Tumbak di Manggarai Timur). Di beberapa tempat, dengan kekuasaan juridis personal warga yang melepas lahan dengan godaan Rupiah dan Dollar kemudian tercerabut dari keberakaran budaya dan alam. Tentu ini menimbulkan masalah sosial lain. Deprivasi di negeri sendiri. Miris kah?
Baca juga: Ancang-Ancang Jangan Terlalu Lama
Kisah di negeri seberang memendar pedih, setelah investasi pergi masalah diwariskan kepada masyarakat terkena dampak di antaranya kerusakan lingkungan, konflik lahan, penyakit kronis, hilangnya spesies-spesies endemik, dan ditinggalkannya pertanian yang sudah sejak lama memberi makan kepada komunitas kultur setempat.
Lagu “Rayuan Pulau Kelapa” terlalu jauh untuk melukiskan kesuburan dan keugaharian masyarakat pertanian Nusa Lale. Ivan Nestorman cs sudah mendendangkannya dalam lagu “Kakor Lalong” yang kala Sail Komodo dinyanyikan di depan presiden dan orang-orang berkuasa di negeri ini.
“Gelang. Gelang o Gelang o, Kakor o Lalong gelang. Kakor lalong nara ge a daku nara. Pola motang koe, ba ruca koen […]”
Lirik lagu yang hadir dari peristiwa hermenutis kedekatan komunitas Manggarai dengan alam. Kini, seperti Ngkiong, lirik lagu itu sekadar memendar nostalgia di tengah masyarakat audio visual yang dikepung opera sabun India dan Eropa, juga generasi siber yang terbelah di antara ponsel dan komputernya (divide et computa).
Cerpen ini kiranya membangkitkan semangat untuk bersastra sebagai orang dalam Flores. Mengapa tidak memulai suatu sastra pedalaman yang fragmentaris khas diksi lokal dengan pendekatan sigularitas pengalaman sebagai yang bermukim di Pulau Bunga ini?
“Ngkiong le Poco,” pernah menjadi metafora malaikat yang bersuara dari rerimbun hutan yang kini tidak ada lagi. Dia terbang di langit biru, mungkin tidak kembali lagi. (*)
–
9 Maret 2017
Fian Roger, meminati filsafat dan sastra lokal, bermukim di Lingko Ros, Komunitas Adat Ruteng Pu’u.