analisis cerpen armin bell radiogram fian rofiantinus roger

Anasilis Cerpen Armin Bell – Radiogram

Versi panjang tulisan ini disiarkan pertama kali di portal Flores Sastra. Cerpen “Radiogram” adalah satu dari 16 cerpen dalam kumcer Perjalanan Mencari Ayam.


Pengantar

Di Flores Sastra, artikel ini disiarkan tanggal 21 Februari 2016 dengan judul “Rumah” dalam “Radiogram” Armin Bell. Rofiantinus Roger, biasa disapa Fian Roger, mendasarkan tulisannya pada cerpen Radiogram yang dimuat HU Pos Kupang tanggal 13 Mei 2012, yang kemudian di-repost di blog lama saya tanggal 2 September 2012.

Ketika memutuskan menyiarkan kembali catatan ini di Ranalino.co, beberapa bagian tulisan asli Fian Roger terpaksa disunting, terutama yang membahas jumlah karakter, paragraf, dan informasi tubuh/fisik cerpen. Alasannya, Radiogram telah mengalami beberapa kali penyuntingan sebelum menjadi salah satu cerpen dalam kumpulan cerpen Perjalanan Mencari Ayam. Bacaan Fian atas (sebut saja) pesan dalam cerpen tersebutlah yang akan ditemui dalam catatan ini. Tidak ada penyuntingan untuk bagian tersebut; seluruh bagian berikut ini berasal dari naskah pertama.

“Rumah” dalam “Radiogram” Armin Bell

Oleh: Fian Roger

“Radiogram” menuturkan sosok utama–beragama Islam dan berdarah linea ayah Manggarai–bernama Ahmad Al Riel. Nama yang dikatolisasi menjadi Gabriel, malaikat pengkabar (cf. Dewa Hermes dalam mitologi klasik Yunani). Riel, pria asal Malang Jawa Timur itu, merupakan anak biologis dari pasangan beda agama dan budaya Mikael Sendo (Manggarai) dan Sundari (Blitar). Sundari, perempuan asal Blitar, hidup dan membuka warung pada sebuah kontrakan di Pisang Candi, Malang, Jawa Timur.

Lokalisasi Nama

Cerita ini bermula dari latar pengalaman “travel” Labuan Bajo ke Ruteng setelah menumpang Kapal Tilongkabila yang bersandar di Pelabuhan Pelni Bajo. Armin menyebut Tambatan Philemon sebagai Pelabuhan Pelni, padahal itu merujuk pada tambatan kapal dari dan ke pulau-pulau wisata yang dikelola Balai Taman Nasional Komodo. (Note: Dalam “Perjalanan Mencari Ayam”, bagian tentang nama dermaga telah disunting).

Dalam perjalanan dari Bajo ke Ruteng, Ahmad Al Riel berjumpa dengan pengalaman ber-travel yang merupakan moda angkutan wajar di atas tahun 2000 di Manggarai Raya. Armin membuka dengan fenomenologi kemualan. “Mual dan hampir muntah” karena menemukan pengalaman kelelahan, mabuk perjalanan, dan merasa asing dalam sebuah terra incogita.

Menyebut “travel” merujuk pada kendaraan roda empat berplat kuning dan hitam. Moda angkutan penumpang yang identik dengan merek dagang Avanza yang dalam “Radiogram” seolah-olah menjadi adlibs gratis sekadar ingin menunjukan realisme lokal.

Riel menjumpai sosok Pak Domi yang ketagihan rokok, penumpang perempuan tanpa nama, supir, dan seorang gadis headset cuek yang ternyata penyiar RSPD Suara Manggarai di Ruteng. Pak Domi dan si penyiar radiolah yang membawa sosok Riel pada pusat cerita, sebuah kebetulan khas permainan bahasa (latar, figur, alur, penamaan) cerpen asal Nusa Tenggara Timur. Hermeneutika pengalaman berbicara di radio menjadi jejak yang melahirkan teks “Radiogram.”

Riel diminta ibunya Sundari untuk kembali ke Nuca Lale–kampung halaman yang indah, dingin, penuh tanaman kopi, manusia yang ramah, suka berkumpul dan mendengar lagu Almarhum Broery Marantika–dengan misi eksistensial untuk mencari sang ayah, Mikael Sendo. Riel menemukan kenyataan yang tidak diharapkan. Pengalaman kecemasan dasariah (anguish) meruak ke permukaan.

Saat hendak meminta bantuan RSPD Suara Manggarai untuk mengumumkan pencarian, Riel bersua faktum berbeda. Mikael Sendo, sang ayah biologis, yang sudah berumur empat puluh tahun, disebutkan mati mengenaskan karena perkelahian merebut lahan (capang tana) antara Kampung Golo dan Kampung Bea, pada sebuah “tempat kejadian perkara” di Manggarai.

Trik Arminbox

Teks “Radiogram” menautkan penyebutan beberapa pilihan kata berbau language games (cf. Ludwig Wittgenstein, Tractactus Logico Philosophicus) di antaranya kata bukit dan lembah (golo-bea), turis asing dan pendatang lokal (bule-ata weru, meka), selera tua dan muda (Broery-Sheila on Seven), dan kemunculan fiksi dalam fiksi (Mikael meninggal saat Riel dalam kandungan, Mikael pulang ke Manggarai).

Permainan nama dan konteks bahasa memendar “Armin Box” atau kotak khayal Armin, yang bakal dipahami saat menafsir pengalaman mental penulis yang berusaha masuk dalam konflik sosok utama (Blitar-Malang-Surabaya-Labuan Bajo-Ruteng-Malang), kon-teks penulisan atau teks-teks lain yang menyertai proses kreatif cerita, “sejarah pengaruh” saat cerita ini dikontruksi ke publik pembaca, dan ketersituasian Armin Bell saat menulis “Radiogram.”

Baca juga: Analisis Cerpen Armin Bell – Nada-Nada yang Rebah

Beberapa tautan soal kebertubuhan privat dan sosial muncul di antaranya soal temperamen merusak tanpa permisi (rokok di antara bukan perokok), rambut (lembis-rigit, lurus-keriting), hospitalitas terhadap orang baru, permainan kegemaran dalam komunitas akrab (bola kaki), ketagihan nikotin dan kafein (rokok dan kopi), serta cinta romantis, pernikahan, dan etika kepatuhan.

“Radiogram” juga memunculkan prasangka identitas seperti konflik beda agama dan budaya (Islam-Katolik, Jawa- Flores, Blitar-Manggarai), sikap pada keberbedaan seperti hospitalitas Pak Domi dan perkelahian Mikael Sendo, cs (capang, raha) dalam menentukan keadilan bersama.

Sejarah mengingatkan pembaca pada perkara prasangka identitas dalam semangat zaman di mana polisi-polisi asal Pulau Jawa tidak disukai di Manggarai, pembunuhan tiga orang “Jawa” anonim di depan Kantor Polres Manggarai, pembunuhan ayah pastor Katolik di Kecamatan Satar Mese Barat, serta baku bunuh antara petani di Satarmese dan Lembor.

Pada masa yang sama, gelombang migrasi buruh Orang Manggarai ke Malaysia, Batam, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa untuk mencari penghasilan yang lebih baik semakin menjadi-jadi. Dalam migrasi buruh muncul perkara identitas saat hendak menikah berupa agama dan adat. Tidak jarang pernikahan beda agama dan adat meninggalkan anak tanpa ikatan pernikahan dan tanggung jawab.

Saat yang sama juga identitas katolisitas makin diperkuat di era Paus Benediktus dengan melatinkan kembali liturgi Katolik. Syahdan, penamaan orang lokal (ngasang de Ata, contoh: Gabriel, Dominicus, etc) dengan tradisi Yahudi dan Romawi pun semakin mengalami peleburan horizon (istilah Hans George Gadamer) dengan penghayatan lokalitas.

Konflik kedwiartian antara identitas katolisisme dan adat Manggarai rupanya melekatkan Orang Manggarai pada identitas-identitas lokal seperti penelusuran genealogi keluarga (nunduk, tulur), ritus penyembelihan berdarah, dan penyelesaian konflik dengan parang (capang, raha). “Tulur” sangat penting bagi orang Manggarai terutama untuk urusan pernikahan. Tradisi penelusuran genealogi (nunduk, tulur, turuk empo) berikhtiar mencegah perkawinan yang tidak sah secara adat misalnya incest.

Kasus perkawinan Tungku Cu (perkawinan antara anak perempuan paman dan anak laki-laki saudari) mendapat pengecualian karena dirasionalisasi dalam kebiasaan adat Manggarai (ceki) dan sudah melewati screening genealogis. Penelusuran genetik keturunan seseorang akan mempertemukannya dengan pohon keluarga yang bertaut dengan darah dan susunan keturunan dari linea ayah dan ibu.

Budaya oral Manggarai dalam tahap tertentu menyerah, karena gagal menemukan jejak demi jejak keturunan di masa lampau sampai pada tingkat ketujuh. Sebab, orang Manggarai oral tidak menulis sejarah pohon keluarganya. Nah, Gereja Katolik melalui tutur genealogis menyelamatkan itu melalui apparatus canonici saat penyelidikan kanonik masa persiapan pernikahan.

Kerinduan Berumah

Pencarian keluarga merupakan kebutuhan identitas purba persona yakni keberumahan dalam dunia (home, host). Tubuh, keluarga dekat, komunitas akrab, komunitas adat, agama, dan kota kelahiran merupakan “jejaring teks” atau tekstur yang menjelaskan keakraban persona dengan dunia. Dengan “berumah” persona pun disebut tuan rumah (host) dan memungkinkannya menyambut sesama (hospitalitas).

Persona kerasan makakala ia “berumah” sebab tak seorang pun hanya mau menjadi “parasit lajang” pada ranah liyan. Sakit paling menggelisahkan dari perantau dan orang asing adalah perasaan tak berumah (homeless) dan kerinduan akan rumah (homesick), dan merasa kerasan di dalam rumah (at home). Tak ada tempat yang paling indah selain rumah sendiri (neka hemong kuni agu kalo, neka hemong beo).

Tak ada satu pun persona yang ingin menjadi parasit hingga kematiannya. Jelas, berumah menjadi tampakan purba, prasadar, prakognitif, pranaratif, yang dirindukan persona. Berumah itu pengalaman hermeneutis menjadi tubuh dalam dunia, mengalami cinta orang dekat, dan berjumpa orang lain asing (l’atrui). (Cf. E Levinas, Totality and Infinity, 1969, p. 57).

Baca juga: Cara Mudah Menjadi Seniman di Era Digital

Dalam “Radiogram”, Armin Bell berhasil menenun kerinduan akan rumah dan berumah sebagai pengalaman purba yang estetis. Kode-kode metaforis seperti hawa dingin, kopi, keramahan untuk pendatang baru, suka berkumpul dalam kelompok akrab, rokok, dan kompiang menandai hermeneutika pengalaman keberumahan.

Tegangan Hermeneutis

Sosok dalam cerita yang bulat (kosmis) tidak menarik tanpa masuknya kekacauan dan konflik (khaotis). Tautan perang tanding, kehilangan ayah (fatherless), konflik identitas Jawa-Flores dan Islam-Katolik, menjadi jejak metafora khaotis.

“Radiogram” tidak akan menarik tanpa kekacauan psikologis seperti kegelisahan (anguish), disidentitas, ketakberayahan, kesengsaraan janda, dan kematian orang dekat. Syahdan, rajutan makna menjadi nirarti tanpa pergumulan pengalaman hermeneutis dan hermenutika pengalaman konkret. “Radiogram” menunjukan semangat budaya lisan justru pada saat Marshal McLuhan menafsir dunia sebagai kampung mondial sempit dengan kehadiran internet. “Media itu sendiri adalah pesan,” tuturnya.

Radiogram pada “zaman radio” membuat orang memiliki kemampuan mendengarkan dengan baik dan kolektivitas informasi pun terukur validitasnya. Lalu, tiba-tiba terjadi lompatan ke zaman internet dengan budaya teks-teks virtual-audio visual. Alhasil, kemampuan mendengarkan memburuk dan informasi berterbangan secara liar.

Teknologi pemindah pesan telah mengubah persona dan masyarakat. Sosialitas makin individualis, sementara individu semakin merindukan kesendirian (solitariness). Teks “Radiogram” menggambarkan hermeneutika hidup batiniah dan introspeksi dalam dunia informasi yang dangkal dan liar.

Hermeneutika Pengalaman

Penyair Joko Pinurbo menilai, sastra merupakan ruang untuk menyoal penghayatan hidup dengan melihatnya dari multi sisi sudut pandang. Dan sastra yang makin atomis, fragmentaris, dan tersudut dalam lokalitas geografis menjadi satuan-satuan kecil. Hermeneutika sastra pun menjadi ruang sepi penghargaan terhadap entitas lokal yang terpinggir itu.

Sastra Flores, dan Manggarai khususnya, tidak harus pasrah pada pakem sastra arus utama, misalnya mutlak berbeda gaya saat Seno Gumira Ajidarma bertutur dalam “Cintaku Jauh di Komodo,” (periode 1991-2013) dengan “Radiogram” karya Armin Bell (2012). Parsialitas pendekatan untuk melihat Indonesia sebagai orang Flores dengan menggali metanarasi dan metafiksi lokalitas sangat penting untuk memunculkan korehensi antara narasi dan dunia yang dihayati.

Godaan sastra kini adalah citra atau imaji nyaris menggantikan realitas. Karya sastra pun makin terkomodifikasi untuk laku di-posting pada media arus utama seperti Pos Kupang, Timor Express, Kompasiana, dll. Alhasil, seni sastra kehilangan daya berontak karena menjadi “komoditas koran,” padahal harus ada aura radikal sastra melalui bahasa dan serpihan emosi yang tak harus popular. Cerpen dan puisi dari Flores perlu mengalami fase pembantaian kritis agar terjadi interaksi produktif antara pembaca dan teks dengan melihat kehadiran yang tidak hadir dalam karya-karya itu.

Ini menjadi strategi pembacaan dalam konteks kekinian, sebab bahasa tidak pernah final. Kalau keberbahasaan itu final, maka sastra dan kritik sastra tidak berguna. Itu terjadi dalam komunitas yang melakukan produksi kreatif sekaligus berinteraksi dengan pembaca kritis. Membangun kecurigaan terhadap teks sastra, misalnya melalui “Radiogram”, memunculkan tegangan si penulis sebagai pelaku dari luar (outsider) atau yang hidup dari dalam (insider). Dan pilihan menulis sebagai “orang dalam” lebih tepat.

Membaca sastra merupakan peristiwa hermenutis epifani orang lain sebagai yang “berpikir berbeda” dari pembaca dan melahirkan rajutan makna dalam “ruang antara” kemewaktuan penulis, teks, konteks, dan pembaca. Walau kegiatan ini sepi, namun menyisakan kebahagiaan bagi penikmatnya. (*)

18 April 2018

Fian Roger. Berumah di Lingko Ros, Kampung Ruteng