menjadi master of ceremony atau mc tidak perlu menyerap jutaan cahaya di ruteng

Menjadi Master of Ceremony atau MC yang Tidak Menyerap Jutaan Cahaya dan Selucunya Saja

Master of ceremony atau MC tidak perlu berusaha sangat lucu. Apalagi sampai menyerap seluruh perhatian audiens. Dia hanya jembatan. Panggungnya bukan pentas stand up.


Jumat, 22 Juni 2018 saya bertemu sejumlah anak dan remaja. Sekali lagi mendapat kesempatan berbagi. Dan, sekali lagi di rumah para Suster Karmel di Wae Lengkas, Manggarai. Kesempatan pertama telah saya ceritakan di Menjadi Blogger Tidak Akan Buat Seseorang Mendadak Keren Bagian Keempat.

Perlu waktu setahun untuk dapat kesempatan kedua. Cie cieee… Bulan Juli tahun 2017, yang saya jumpai adalah anak-anak dan remaja GMIT Klasis Flores. Berbagi tentang blog. Kali ini adalah anak-anak SEKAMI se-Keuskupan Ruteng. Berbagi tentang menjadi master of ceremony atau MC atau pranata acara.

Tentang mengapa demikian, barangkali karena penyelenggara kegiatan (Keuskupan Ruteng bekerja sama dengan Wahana Visi Indonesia, Manggarai) melihat bahwa selain senang ngeblog atau menjadi blogger di Ruteng, saya juga senang mencari uang dengan menjadi MC atau protokol atau pembawa acara. Pokoknya begitu.

Saya sebenarnya sudah lebih dari setahun mengurangi pekerjaan sebagai MC di Ruteng. Ada beberapa alasan. Saya merasa tidak cukup lucu sehingga tidak bisa memaksakan diri menjadi MC misalnya di pernikahan. Di Ruteng, MC diharapkan (atau hanya dugaan saya saja?) bisa melucu dalam arti membuat orang tertawa sepanjang pesta.

Selain itu, tingkat kesibukan (baca: kegemaran saya menyibukkan diri) menjadi semakin tinggi. Menjadi blogger, menulis buku cerpen, membuat pementasan, jalan-jalan, menjaga anak, memotong rumput di halaman, mengelola banyak akun medsos, mendengar curhat, jualan kaos dan buku, dan masih banyak lagi. Memaksakan diri mengambil pekerjaan sebagai MC mungkin akan membuat saya menjadi MC yang lebih garing dari sebelumnya. Kota Ruteng juga telah lama kehilangan festival anak band. Padahal ini pekerjaan favorit saya. Menjadi master of ceremony atau MC pada festival musik atau sejenisnya. Kalau toh iven sejenis muncul lagi, puluhan MC muda telah lahir. Saya pasti susah bersaing.

Kira-kira begitu. Maka agak kagok juga rasanya ketika harus berbagi tentang bagaimana sebaiknya menjadi MC atau master of ceremony pada sekelompok anak dan remaja. Ilmunya masih punya, tetapi sudah jarang dipraktikkan. Paling sekali dua. Diajarkan secara khusus kepada pasukan Saeh Go Lino yang mau belajar ngemsi. Semacam freelance consultant.

Tetapi sebagaimana pelatih sepak bola tidak harus pernah menjadi pemain terbaik, mengajarkan cara menjadi MC juga demikian. Atau, seperti juri nyanyi yang tidak harus bersuara bagus, berbagi tentang bagaimana sebaiknya menjadi pembawa acara juga begitu. Atau, seperti konselor keluarga yang tidak bebas masalah keluarga, menuntun orang lain menjadi protokol bisa dari pengalaman orang lain juga, bukan?

BACA JUGA
10 Tipe Manusia yang Muncul Setelah Pesta Demokrasi Bernama Pemilu

Baca juga: Lipooz dan MukaRakat dan Percakapan tentang Perantau Digital

Maka saya berangkat. Ada 28 anak SEKAMI menanti saya dari ratusan peserta Jambore Sekami se-Keuskupan Ruteng itu. “Hanya” 28 yang berminat belajar ngemsi. Selebihnya terbagi di kelas-kelas kecerdasan lain: menulis kreatif, membuat kue, kesehatan umum dan gigi, musik, panggung boneka, dan lain-lain.

Pelatihan Singkat Menjadi Master of Ceremony di Wae Lengkas, Manggarai

Kelas berlangsung menyenangkan. Saya memulai pertemuan dengan berkenalan. Peserta termuda berasal dari kelas lima Sekolah Dasar, yang paling besar akan naik ke kelas tiga SMA. Rentang usia yang jauh membuat kelas agak challenging.

Agar proses berbagi menjadi mudah, metode penggalian dilakukan. Saya bertanya apa yang mereka sukai atau tidak sukai dari seorang master of ceremony atau MC?

Semua anak sepakat bahwa menjadi MC sebaiknya tidak terlampau berlebihan. Penampilan, tutur kata, dan durasi bicara, harus dibuat pas dan tepat. Mereka tidak suka MC yang omong terlalu lama. “Kenapa?” Tanya saya. Mereka sulit merumuskan jawabannya.

Lalu saya bercerita. Seorang MC bisa akan sangat aneh jika tidak menyadari hal-hal berikut ini:

Pertama, MC bukan pusat pertunjukan. Kita mungkin disorot jutaan spotlight ketika tampil, tetapi pusat pentas bukanlah seorang protokol, pembawa acara, atau MC. Pada pesta pernikahan, pengantin adalah pusat semesta gedung atau kemah pesta. Pada konser, musisi/penyanyi adalah pusat semesta lapangan sepak bola.

Kesadaran tentang MC bukan pusat pertunjukan akan membantu kita menentukan sikap, tata bahasa, durasi, dan busana. MC sebaiknya tidak lebih heboh dari pengantin. Master of ceremony yang baik tidak mencuri fokus audiens dari pusat semesta. Tugas utama kita sebagai MC adalah menciptakan peluang agar pusat semesta (pengantin, musisi, dan lain-lain) berhasil memukau (atau membuat audiens yakni bahwa mereka memang memukau).

BACA JUGA
Dureng di Ruteng dan Orang-Orang yang Menyerah

Kedua, sebagai konsekuensi dari (kesadaran atas) poin pertama, seorang master of ceremony atau MC harus menjadi jembatan yang baik. Yup! MC adalah jembatan. Menghubungkan audiens dengan pusat pentas atau semesta tadi. Bahwa sesekali audiens singgah di jembatan, mereka harus disiapkan untuk melanjutkan perjalanan dengan nyaman.

Karenanya, seorang MC tidak bisa bicara terlalu lama. Apalagi kalau lebih lama dari kesempatan audiens menyaksikan pusat pentas. MC omong lima belas menit, penyanyi nyanyi dua lagu yang totalnya hanya sepuluh menit. Itu aneh sekali. Master of ceremony harus mampu bicara secukupnya, lugas, tepat, mengantar.

Ketiga, master of ceremony bukan komika atau pelawak tunggal. Ini pesta nikah dan bukan panggung stand up comedy. Kita MC dan bukan Arie Kriting. Itu dua dunia yang berbeda. Karenanya, lelucon mestilah digunakan dengan tepat dan tidak menjadi seluruh materi.

Seorang MC memakai lelucon untuk ‘sekadar’ menyegarkan suasana, sedangkan stand up comedy-an bertugas membuat orang tertawa. Beda! Pada stand up comedy, orang datang untuk tertawa. Pada resepsi pernikahan, orang datang untuk berbahagia bersama pengantin. Pada konser, orang datang untuk menikmati penampilan para seniman panggung.

Keempat, lelucon yang melecehkan itu tidak lucu. Itu pelecehan. Dan pelecehan bukan untuk ditertawakan. Pelecehan harus ditindak tegas (atau dibalas?). Maka, dalam menyiapkan materi yang ditujukan untuk menyegarkan suasana, hindari lelucon SARA. Atau lelucon jorok. Atau lelucon politik yang akan terbaca sebagai menghina partai atau seorang politisi. Yup! Meski sama-sama hadir di satu pesta atau pertunjukan, audiens pastilah memiliki pandangan politik yang berbeda. Lelucon jorok juga sebaiknya tidak dimainkan. Untuk apa? Agar undangan muntah-muntah? Tampillah selucunya saja.

BACA JUGA
Mengenal Dami N. Toda, Orang Manggarai di Pentas Sastra Indonesia

Masih tentang lelucon, seorang MC atau master of ceremony akan tampak sangat aneh jika setelah menyampaikannya, kemudian berusaha menjelaskan titik lucu leluconnya. Haisss… Kan aneh. Iya, to? Kalau orang tidak tertawa pada kesempatan pertama, berarti kita tidak lucu. Tidak perlu berusaha menjelaskannya sampai mereka tertawa.

Kelima, siapkan script atau naskah ngemsi atau rundown acara. Master of ceremony bekerja dalam durasi. Tanpa rundown atau daftar susunan acara, kita akan omong sesuka hati. Akibatnya kita lupa bahwa sudah waktunya makan. Atau kalau kita tiba-tiba ingat bahwa sudah waktunya makan, kita lupa berdoa. Dan seterusnya.

Daftar susunan acara adalah panduan. Lembar suci seorang master of ceremony. Bahwa pada saat berlangsungnya acara terdapat beberapa perubahan, siapkan pensil. Begitu. Selanjutnya, berbekal panduan tadi, master of ceremony wajib memastikan bahwa seluruh acara dapat berlangsung dengan baik. Pada pentas seni, MC wajib berkoordinasi dengan seksi acara tentang kesiapan para pengisi acara. Pada pesta pernikahan, MC harus tahu bahwa keluarga yang ingin menyumbang lagu telah siap. Jika tidak, acara akan melampaui rencana durasi.

Baca juga: Mengenal Tiga V, Komponen Penting dalam Public Speaking

Seluruh kelas angguk-angguk. Mereka lalu bertugas. Memandu pentas seni hasil kelas kecerdasan anak yang lain. Mereka memulainya dengan berjalan ke kelas-kelas itu. Memastikan kesiapan para pengisi panggung pentas seni. Kemudian mengatur jadwal. Menyusun script. Membagi tugas tampil.

Mereka berhasil menjadi memandu acara dengan baik. Beberapa orang menyiapkan pantun. Lucu. Tetapi hanya sebagai pengantar. Ingat! MC bukan pusat pertunjukan. Tidak perlu menyerap jutaan cahaya. Kita jembatan. Dan jembatan yang baik adalah yang bertugas menyeberangkan orang. Bukankah demikian?

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Tulisan ini pertama kali diunggah tanggal 26 Juni 2018.

Gambar dari Cullen Communications.

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *