bagaimana membedakan kritik dan ungkapan sakit hati bertopeng kritikan armin bell

Membedakan Kritik dan Ungkapan Sakit Hati Bertopeng Kritikan

Jika tulisan ini tidak dibaca hingga kalimat terakhir, kita barangkali akan tetap sulit membedakan mana kritik dan mana ungkapan sakit hati yang dibungkus dengan kalimat: “ini kritik ya…”


Kritik yang kita sampaikan di media sosial dapat dengan mudah digolongkan pada dua kelompok. Pertama, kritik yang disampaikan dengan landasan pengetahuan yang baik tentang soal/hal yang dikritisi, dan kedua, kritik yang disampaikan berdasarkan pengalaman masa lalu seperti: pernah disakiti atau dikecewakan atau keduanya atau perasaan senasib-sepenanggungan dengan narasi kritis dari orang lain atau soal jatah.

Persoalannya adalah batas antara keduanya menjadi samar, terutama jika:

Satu, golongan yang menyampaikan kritik atas dasar pengetahuan yang baik, tidak mampu merumuskan narasi yang baik. Karena terlampau terburu-buru, narasi yang muncul malah terbaca sebagai serangan membabi-buta. Sehingga kerap dianggap: kritik itu muncul karena pengalaman masa lalu, entah dia disakiti atau dikecewakan; dan …

Dua, golongan yang kedua memiliki kemampuan narasi yang baik sehingga lantas dianggap sebagai orang yang sungguh kritis.

Yang jadi korban dari dua situasi ini adalah publik atau (sebut saja) netizen awam. Bukan pada kemampuan memahami persoalan tetapi pada pembagian kelompok secara instan, arus pro dan kontra yang akhir-akhir ini menjadi seumpama tren; apa saja yang dia buat, saya tidak boleh suka. Nah, bagaimana pula ini? Bagaimana membedakan kritik dengan ungkapan sakit hati tadi dengan benar?

Baca juga: Kritik Tak Pernah Sepedas Kripik

Arman Dhani dalam salah satu artikelnya tentang jurnalisme dan berita palsu menulis kalimat yang menarik: “Hal mengerikan lain adalah bagaimana masyarakat saat ini tak lagi membaca berita dengan kritis tapi dengan semangat partisan.” Pada tulisan yang disiarkan Tirto.id tanggal 16 Desember 2016 itu , Arman Dhani menggambarkan bagaimana sebuah tautan berpotensi menjadi polemik hanya dalam sekejap.

BACA JUGA
Kita dan Dewan Juri yang Selalu Salah Memberi Nilai

Tentang bagaimana sebaiknya agar berita palsu tidak tumbuh subur, Dhani mengulang sabda Nezar Patria dari Dewan Pers Indonesia yang menyebut bahwa verifikasi adalah kunci penting yang membangun kredibilitas produk jurnalistik.

Dalam konteks Dewan Pers, yang diharapkan melakukan verifikasi adalah pekerja media dalam mencari dan menyiarkan berita. Sedangkan dalam tulisan ini, verifikasi adalah sesuatu yang harus dikerjakan oleh warganet, agar dapat dengan mudah menebak manakah kritik yang kritis dan manakah status medsos yang ditulis atas dasar sakit hati.

Tetapi soalnya adalah, sebagaimana disampaikan Arman Dhani tadi, kita tidak lagi membaca dengan kritis tetapi dalam semangat partisan. Artinya, gelombang besar dari viralnya kritik-kritik di media sosial, sangat mungkin disebabkan oleh semangat partisan tadi. Asal yang dikritik adalah musuh bersama (atau kita juga pernah mendapatkan nasib/perlakuan yang kita buruk), virallah kritik itu.

Pada bagian berikutnya, kritik yang disampaikan di media sosial yang bersentuhan dengan semangat partisan ini kemudian berubah wajah menjadi hate speech. Hancurlah semangat dialektika, berganti semangat membangun tembok pertahanan diri.

Bagaimana mengatasi (yang tampak seperti) kritik (tetapi) bersemangat partisan tidak menyebar luas?

Pada situasi apa saja, kritik yang diharapkan mampu membawa perubahan adalah yang datang dari kelompok pertama. Mereka yang memahami soal. Di sini, kemampuan merumuskan narasi dengan baik–agar tidak seumpama gayung bersambut dengan semangat partisan–menjadi sangat penting. Tetapi sayang sekali, tidak banyak yang mampu melakukannya. Atau sudah tidak ada?

Baca juga: 10 Situasi Saat Orang Menyampaikan Kritik

Menimbang hal itulah maka kebutuhan/harapan berikutnya kita gantungkan kepada netizen atau warganet yang (merasa) mahabenar. Jika di dinding medsosmu seseorang membuat status berisi kritikan, lakukan verifikasi: pertama terhadap materi kritiknya dan kedua tentang rekam jejak pemilik status.

BACA JUGA
Menjadi Blogger Tidak Akan Buat Seseorang Mendadak Keren Bagian Kesebelas

Tentang yang pertama, verifikasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan bantuan mesin pencari. Gunakan paket data untuk mengumpulkan sumber-sumber informasi yang dibutuhkan sebagai bahan konfirmasi. Berhentilah memberikan komentar dengan modal membaca satu sumber saja. Maksudnya? Jangan membawa semangat partisan ketika hendak memberikan komentar.

Tentang yang kedua, juga berhubungan dengan paket data. Yup. Di jagat maya, ada yang namanya jejak digital. Itu terekam. Di dinding kita. Di Facebook, di Twitter, di Instagram, dan lain sebagainya, status-cuitan-foto kita dari belasan tahun lalu itu tersimpan. Pola penelusurannya juga menjadi semakin mudah. Jika cukup jeli, kau akan dapat melihat titik di mana si pemberi kritik mencurahkan rasa sakit hatinya. Jika lebih jeli lagi, kau akan dengan mudah membaca status-statusnya setelah itu sebagai ungkapan sakit hati yang dibungkus nada-nada (seolah) kritik. Ungkapan sakit hati bertopeng kritikan.

Apa yang harus dilakukan? Jangan segera berkomentar. Verifikasi. Ya. Verifikasi itu penting sekali. Karena jika terjebak pada status kritis yang salah, lalu ikut berkomentar, berkomentar seolah-olah tahu soal padahal kemudian terbaca sebagai hate speech, kita bisa ikut-ikutan kena pasal di UU ITE. Pada saat itu, alasan “Saya kan cuma ikut-ikut saja to” sama sekali tidak berguna.

Baca juga: Media Massa Online dan Soal-Soal di Sekitarnya

So? Omong baik-baik. Jangan asal tembak. Bahkan jika alasannya adalah kita tidak dapat jatah (menteri, proyek, jabatan, ciuman, roti goreng, kompiang tarzan, atau pangkat), kalimat-kalimat dari pemikiran kritis kita harus dirumuskan dengan baik. Untuk itu, baca banyak. Agar serangan kita mematikan. Ingat, tidak ada satu orang yang memenangkan pertempuran dengan berteriak.

Aduh. Catatan ini tentang apa? Mungkin tentang warganet yang terlalu mudah ikut arus. Sampai kapan kritikanmu terbaca sebagai teriakan? Kita pasti pernah mengalami atau melihat seekor anjing menggonggong tuannya sendiri. Biasanya karena belum mendapat makan. Tetapi dia tidak gigit. Setelah mendapat tulang, segera diam.

BACA JUGA
Information Overload dan Wartawan yang Mati karena Media Sosial

Tetapi, orang-orang yang menyampaikan kritik atas landasan pengetahuan yang cukup dan kesadaran yang baik, orang-orang dari kelompok pertama, tidak begitu. Mereka akan selalu bersuara kritis sampai masalah terurai dengan baik. Bukan sampai perut kenyang.

Nah. Akhirnya sampai juga kita di kesimpulan. Bagaimana membedakan kritik dan ungkapan sakit hati bertopeng kritikan? Coba ajak jadi koalisi. Lihat reaksinya. Dia akan diam ketika masalah terselesaikan dengan baik, atau diam ketika perut sudah kenyang. Mudah sekali, bukan? Perkara membedakan kritik dengan ungkapan sakit hati memang seharusnya adalah perkara yang mudah. Tetapi apakah kita mau?

17 September 2018

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Gambar dari Rickezell.com.

Bagikan ke:

8 Comments

  1. Saya tidak pernah bosan membaca setiap tulisan yang dimuat di fb, terimakasih karena banyak hal2 baru yg saya dapatkan dan mencerahkan. Beberapa tulisan ranalino.co saya bagikan d FB saya. Selamat berkarya kk.

  2. Di sekitar saya banyak yang seperti ini: Jika cukup jeli, kau akan dapat melihat titik di mana si pemberi kritik mencurahkan rasa sakit hatinya. Jika lebih jeli lagi, kau akan dengan mudah membaca status-statusnya setelah itu sebagai ungkapan sakit hati yang dibungkus nada-nada (seolah) kritik. Ungkapan sakit hati bertopeng kritikan.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *