dylan djenadut lino bellarmin kayla pagu rana bellarmin

Kisah (Tidak) Klasik untuk Masa Depan

Tahun 2017 silam, menjelang akhir tahun, beberapa pekan sebelum Rana berulang tahun, kami membuat perjanjian. Perjanjian untuk masa depan.


Ruteng, 22 November 2017

Saya dan Rana membuat perjanjian: Rana mulai belajar mengarang dan kalau karangannya sudah mencapai sepuluh judul, maka akan diunggah sekali seminggu di blog ini. Ini perjanjian yang di bagian awal rasanya hanya akan menguntungkan saya karena berarti bahwa saya akan punya materi tetap lagi untuk diunggah ke blog di saat sedang seret ide.

Tetapi Rana bersemangat, artinya dia juga merasa akan mendapat keuntungan. Barangkali alam bawah sadarnya memberitahu bahwa blog ini akan besar dan dokumentasi karyanya akan bermanfaat di kala dia besar nanti–kalau di zaman itu blog tidak old school seperti nasib koran zaman now. Saya untung sekarang, Rana untung nanti. Fair!

Sejauh ini, lima cerita telah hasilkan. Menurut saya cerita-cerita itu sangat baik–andai naskahnya nanti bertemu ilustrator keren pasti akan jadi buku cerita anak yang bagus–karena Rana masih enam tahun, kelas satu esde dan imajinasinya berkembang dengan baik (IMHO).

Tugas saya dalam proses kreatifnya selama ini adalah membuat pertanyaan yang membantunya menemukan jawaban untuk kemudian dia pakai dalam cerita, serta membetulkan beberapa kosakata yang keliru. Itu saja. Selebihnya saya tidak bikin apa-apa.

Baca juga: Nama adalah Doa, Nama Kami Tidak Dipilih Secara Acak

Termasuk ketika kemarin dia membuat cerita berjudul Petir yang dia awali demikian: Setiap kali hujan, pasti ada petir. Setiap kali aku mendengarnya, aku mulai berpikir, “Apakah itu adalah kemarahan dari Tuhan?” Selanjutnya Petir berkembang ke bagian tentang kemungkinan alasan Tuhan marah, dan ending-nya adalah kesadaran bahwa kita tidak perlu takut petir meski kadang petir bisa menyebabkan kecelakaan.

Apa kabar Lino? Dia sedang sibuk memeragakan gaya Ayah Johny yang membongkar jeruji penjara ketika menyaksikan Johny menyanyi ‘i still standing yeah yeah yeah’ di televisi. Dari semua scene di film “Sing”, Lino menikmati lebih adegan itu. Barangkali dia berencana membuat vlog–juga kalau di zaman dia besar nanti vlog masih diminati–dan komando alam bawah sadarnya mulai muncul perlahan.

Tetapi Lino masih dua tahun dan hobinya dengan cepat berubah, seperti juga hobi seluruh anak yang sedang tumbuh pasti berubah-ubah. Barangkali tidak terlampau adil jika sejak kecil mereka dipaksa menyukai hal-hal tertentu saja. Banyak orang tua melakukannya karena berharap anak-anak mereka tumbuh menjadi ahli. Saya agak kurang sependapat. Menjadi ahli adalah keputusan mereka kelak. Tidak perlu rasanya harus menciptakannya sekarang, apalagi kalau itu akan membuat mereka kehilangan banyak waktu bermain.

Baca juga: Menabur Benih-benih Puisi di Halaman Pondok Baca Tapo Naga

Tugas Bapa dan Mama adalah memberikan semua fasilitas yang baik untuk pertumbuhan mereka; buku, tontonan, tempat kerja untuk anak, dan terutama kehadiran.

Tentang Lino yang baru berusia dua tahun, beberapa bulan lalu, setiap hari, rumah kami adalah lapangan sepak bola. Hari-hari terakhir ini menjadi panggung konser lagu dan dance. Lalu arena pertarungan Hulk dan Thor. Mungkin besok jadi panggung pidato seiring bertambahnya jumlah kosakata lelaki kecil itu. Atau panggung teriak-teriak meminta jajan?

Kita tidak tahu. Yang pasti, dua anak ini selalu berbaring manis kalau sudah ada gejala saya atau mama mereka, Celestin akan ambil buku dan mulai baca cerita. Ini naluriah barangkali. Karena (mengutip Peter Carey) kebutuhan utama manusia setelah makan dan minum adalah cerita.(*)

 

Salam dari Kedutul

Armin Bell

Simak video-video menarik di kanal youtube Blog Ineame

Tulisan ini, yang kini berjudul Kisah (Tidak) Klasik untuk Masa Depan, sebelumnya telah disiarkan di Blog Ineame dengan judul Perjanjian untuk Masa Depan. Beberapa kisah dari blog itu secara perlahan dipindahkan ke ranalino.

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *