Jakarta oh Jakarta, Bagaimana Kau Berubah?

Ini cerita tiga masa tentang Jakarta. Jakarta sebelum Ahok, Jakarta di masa Jokowi-Ahok memimpin, dan Jakarta hari ini, pada masa-masa penting menjelang 15 Februari 2017. Bagaimana kota itu kini? Jakarta oh, Jakarta, bagaimana kau berubah?

jakarta oh jakarta bagaimana kau berubah
Jakarta berubah dari Djakarta

Jakarta oh Jakarta, Bagaimana Kau Berubah?

Hari itu Ngurah Rai panas. Suhu di bandara dilaporkan tigapuluh derajat celcius. Pramugari Aviastar mengumumkan iklim tak sedap itu dengan tersenyum. Mereka dilatih untuk itu dan saya dilatih untuk percaya bahwa saya akan baik-baik saja di segala cuaca. Tigapuluh derajat celcius adalah cuaca biasa. Gimme more! 
Beberapa pemuda dengan pakaian adat Bali di luar terminal mengacungkan kertas putih bertuliskan nama-nama orang yang harus dijemput. Tak ada nama saya di kertas itu, juga dua pastor teman seperjalanan saya. Kami memang tak dijemput siapa-siapa karena Bali bukan tujuan. Kami mau ke Jakarta dan pesawat kami pada rute berikutnya masih beberapa jam lagi. Tas dititipkan dan kami memutuskan menikmati situasi terminal. 
Tujuan pertama adalah mencari segelas kopi karena kami orang Manggarai dan minum kopi adalah nama tengah kami semua. Usai minum kopi–di Ngurah Rai tidak ada kopi Manggarai–kami berjalan santai ke ke terminal luar negeri menghabiskan waktu di sana berpura-pura sebagai calon penumpang Canberra. Ketika pengeras suara menyebut nomor penerbangan dan tujuan Canberra akan segera diberangkatkan, kami bergegas. Tetapi bukan ke ruang tunggu. 
Kami Kembali ke tempat asal, terminal domestik. Beberapa jam kemudian kami telah ada di Jakarta, terombang-ambing beberapa jam lamanya di jalanan Jakarta, dan langsung berkesimpulan: orang-orang di Ibukota adalah orang-orang yang tua di jalan. Ada empat jam lamanya kami berada di dalam mobil antara Soetta dan Matraman. Jakarta oh Jakarta.

Gedung-gedung tinggi memandangku curiga seakan penuh tanya sedang apa di sini, menanti pacar jawabku… halaaah, malah nyanyi lagu Obbie Messakh. Mungkin karena saya sedang ingat istri yang tertinggal jauh di seberang cie cieee

Rasanya, Jakarta langsung membuatku kangen Ruteng kota kami yang damai dan indah dan pelan tetapi bukan karena lalu lintas yang macet. Saya rindu rumah tetapi perjalanan masih panjang, sebuah perjalanan spiritual, dan hari ini telah kenyang pengalaman jasmani: Bali itu yang segelas kopinya sungguh mahal, dan kini Jakarta yang macet dan tidak segar dan macet dan entah ke mana orang-orang itu memacu mobil-mobil mereka.

Mungkinkah mereka adalah orang-orang yang tinggal di jalanan kota ini dan tak punya rumah untuk pulang? 
Saya sibuk dengan pikiran tentang betapa sibuknya kota ini dan betapa banyak orang yang setiap hari selalu mengeluh dan entah berapa banyak manusia yang memakai alasan macet untuk keterlambatan mereka tiba di tempat kerja. Ah Jakarta. Di Ruteng, alasan saya terlambat ke kantor hanya satu: terlambat bangun, enggan meninggalkan selimut, tidak mau disergap dingin.

Tentang Ruteng dapat dibaca di: 10 Plus Satu Hal Paling Diingat Tentang Ruteng
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
BACA JUGA
Mencari Angga

Di Jakarta para sahabat telah menanti dengan agenda tersusun rapi dan tidak mau peduli apakah saya lelah; mereka bahkan tidak bertanya. Baru lima menit di Biara Vincensius Kramat, jemputan datang dan memaksaku meninggalkan mimpi yang sudah saya rencanakan ada di tidur malam ini.

Lalu kami habiskan malam dengan acara ‘panggang-panggang, makan-makan, minum-minum’ di Bekasi. Di rumah seorang teman kecil yang sudah sukses di Jakarta. Saya tiba-tiba menyadari sesuatu malam itu, tentang Jakarta dan pentingnya kemampuan menghibur diri.

Para sahabat yang berkumpul adalah orang-orang sukses di Jakarta yang keras dan mereka harus punya kemampuan menghibur diri jika tak ingin menua begitu saja di jalanan. Berkumpul pada malam Minggu adalah pilihan yang tepat, itu mereka lakukan setiap akhir pekan dan menjadi lebih meriah ketika harus menyambut tamu udik seperti saya. Dan saya bahagia karena mereka telah mampu bersahabat dengan Jakarta seperti saya bersahabat dengan Ruteng kota kecil kami yang asyik. Saya tidak ingin jadi warga Jakarta, kata saya dalam hati.
Tetapi itu dulu. Tahun 2011. Setelahnya, beberapa tahun kemudian saya kembali ke Jakarta. Semua membaik. Jokowi dan Ahok sedang jadi pasangan gubernur dan wakil gubernur DKI. Perlahan mereka menyulap kota itu menjadi lebih menyenangkan, terutama karena kali ini istri tak lagi jauh di seberang. 
Kami berdua menikmati masa-masa indah berburu perlengkapan untuk mulai membangun usaha keluarga, dan menikmat berjalan berdua menyusur trotoar yang tak lagi berlubang, jembatan penyeberangan yang bersih dan kini memakai tangga berjalan, dan kali-kali yang dulu penuh sampah kini menjadi lebih bersih.

“Wajah Jakarta berubah total,” kata istri saya dan saya percaya. Dia lama tinggal di kota itu pada masa-masa Jakarta adalah kota yang selalu banjir, dan menjinjing sepatu adalah kewajibannya jika ingin umur sepatu itu lebih lama.

Mengunjungi Jakarta pada tahun 2014 terasa lebih baik, ya kami, ya kota itu. Saat itu saya berpikir semoga Jokowi dan Ahok tetap memimpin Jakarta biar kota ini menjadi semakin baik. Saya tak ingin mengalami lagi momen-momen menahan napas ketika melintas di dekat kali yang kumuh beberapa tahun sebelumnya. Tetapi Jokowi ternyata punya tugas lain. Menjadi Presiden. Ahok mengambil alih kota. Dan kini berwajah jauh lebih menyenangkan. Jauh. Di atas dugaan. Paling tidak dugaan saya.
Jadi begini. Saya dulu menduga, suatu saat Ibukota negara ini harus dipindahkan ke tempat lain karena Jakarta sepertinya tak akan lagi dapat diselamatkan. Penampilannya adalah yang terburuk dari kota-kota yang pernah saya kunjungi atau tinggali; bagaimana mengubah wajah kota yang demikian? 
Tetapi semesta bekerja dengan cara-cara yang tidak akan pernah dimengerti. Ahok juga demikian. Bekerja dengan cara-cara yang tidak pernah dimengerti. Paling tidak oleh orang-orang yang merasa: apakah yang baik yang akan datang dari seorang minoritas? Dia mengubah wajah Jakarta!
“Ahok itu hebat,” kata Muder Yuliana salah seorang fans Ahok garis keras, “biar mulutnya kasar, tetapi dia berhasil bikin Jakarta jadi lebih baik.” Komentar itu muncul setelah televisi-televisi ramai memberitakan tentang ucapan-ucapannya yang cenderung kasar dan menyinggung banyak pihak, tetapi di saat yang sama juga menampilkan berita tentang wajah kota yang semakin baik. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
BACA JUGA
Harga Manusia Ditentukan Bersama

Jakarta terpecah. Menjelang Pilgub DKI. Bukan pecah tiga sesuai jumlah pasangan calon yang akan bertarung, tetapi pecah dua saja: yang suka Ahok dan yang tidak suka Ahok. Alasannya bisa macam-macam, dan membahas alasan-alasan itu akan membuat kita mau tidak mau harus membuka peluang menyinggung orang. Saya tidak mau membuat orang tersinggung. Untuk apa?

Toh, di negeri ini, seseorang melintas dengan baju yang hampir mirip dengan baju yang kita kenakan saja sudah bisa buat kita tersinggung minta ampun. Mengapa pula menyinggung dengan perkataan ketika yang tidak sengaja dan tidak kita niatkan saya sudah bisa bikin masalah? Ahok mungkin lemahnya di situ; pada kata-kata.

Tetapi saya tiba-tiba ingin menarik lagi perkataan saya dahulu tentang tidak ingin jadi warga Jakarta. Hari ini saya punya KTP DKI biar bisa ke Jakarta, memilih, dan pasti memilih Ahok pada pemilihan gubernur di Ibukota. Alasannya sederhana saja.

Baca juga: Dan Bekerja Sama, Belajar dari Usulan Ruben

Jakarta berubah dan perubahan itu terjadi di masa Ahok memimpin daerah khusus ibukota. Rasanya dia layak memimpin satu periode lagi. Bukan karena dia berjasa dan kita harus memberikannya kesempatan memimpin lagi sebagai bentuk balas jasa. 

Tidak. Kita tidak melakukan itu untuk Ahok. Ahok tidak butuh itu. Meski di berbagai tempat lain kita memilih petahana untuk balas jasa karena telah berbuat baik di periode pertama, kita tidak melakukan itu di Jakarta dan untuk Ahok. Kita memilih petahana yang satu ini karena percaya bahwa dia sudah melampaui dirinya sendiri. Hanya orang-orang yang telah tuntas dengan dirinya yang boleh diberikan kesempatan menjalankan kota. 
Tetapi saya tidak punya KTP DKI. I’m just a fan. Saya hanyalah kipas angin. Saya kipas-kipas saja dari jauh, dari Ruteng, karena berharap jika suatu ke Jakarta lagi, kota itu semakin ramah untuk orang-orang yang seperti saya, yang sulit membedakan arah utara-selatan-timur-barat di kota yang penuh lampu yang bikin silau.

BACA JUGA
FF100K Karina - Kotak Pesan

Kita memerlukan matahari dan sejauh ini hanya Ahok rasanya yang memiliki cahayanya sendiri. Kelak dia akan bercerita dan menjawab pertanyaan kita semua: Jakarta oh Jakarta, Bagaimana Kau Berubah?

Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores

Catatan:
Bagian awal catatan ini ditulis tahun 2011 di Buku Harian setelah saya menikmati perjalanan spiritual bersama Romo Beben dan Romo Dedi untuk sebuah kegiatan menyenangkan di Bogor. Saya menemukannya kembali hari ini dan memutuskan untuk menambahnya dengan cerita tentang Jakarta yang sedang ramai kita bicarakan hari-hari terakhir ini.
Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *