Passio dalam Cerita: Ciuman Yudas, Kesepian Barabas, dan Perempuan yang Mencintai Yesus

Passio kisah sengsara Yesus Kristus adalah salah satu cerita paling populer di dunia. Barangkali karena alasan itulah kita menemukan ribuan cerita yang dibuat kemudian yang memakai kisah itu sebagai sumber ide.

passio dalam cerita ciuman yudas kesepian barabas dan perempuan yang mencintai yesus
Gereja St. Yosef, Ruteng | Foto: Armin Bell

Passio dalam Cerita: Ciuman Yudas, Kesepian Barabas, dan Perempuan yang Mencintai Yesus

Dalam Kitab Suci, kisah sengsara Yesus Kristus yang dikenal dengan nama Passio dapat ditemukan di empat Injil yakni Matius 26:36-27:56, Markus 14:32-15:41, Lukas 22:39-23:49, dan Yohanes 18:1-19:30.

Empat penginjil memulai seluruh catatan mereka tentang peristiwa itu dalam enam babak, yakni: Getsemani, pengadilan, penyesahan, hukuman mati, jalan salib, dan wafat. Kisah yang pilu dan menakutkan. Tidak hanya bagi yang membacanya tetapi bagi Yesus sendiri.

Lukas melukiskannya dengan: “Ia sangat ketakutan dan makin sungguh-sungguh berdoa. PeluhNya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah” (Luk 22:44); sedangkan Matius mengutip bagian ini: “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya” (Mat 26:38). Babak-babak mengerikan itu mencapai puncaknya di Golgota.

Barangkali hanya kisah ini yang seluruh bagiannya berisi tragedi. Pertemuan dengan Ibu, perempuan-perempuan yang menangis, jatuh dan ditindih palang salib, dipermalukan dengan ditelanjangi di depan umum, dipaku di kayu salib, dan detail kisah lainnya. Empat penginjil melukiskannya dalam cara mereka masing-masing.

Ribuan tahun kemudian, muncul cerita-cerita lain yang mendasarkan kisahnya pada Passio. Para seniman berlomba menawarkan hal-hal lain, bukan sebagai alternatif tetapi barangkali sebagai bentuk penghargaan atas cerita penebusan itu.

Teks kisah sengsara ditempatkan sebagai hipogram–atau sebut saja begitu. Tentang apa itu hipogram, siapa saja yang melakukan studi intertekstualitas pasti mengetahuinya. Namun secara sederhana dapat dijelaskan bahwa hipogram adalah sebutan untuk karya (sastra) yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian.

Masih dalam studi interteks, ditemukan bahwa tujuan penulisan baru bisa untuk menegaskan makna pada hipogram, namun dapat juga menegasikan. Maka menjadi sangat diterimalah bila kemudian (atau pernah) kita menemukan karya-karya yang mengingatkan kita pada kisah sengsara atau passio itu.

Passio sesungguhnya berasal dari bahasa Latin Passio yang berarti suatu perasaan yang sangat kuat serta mendalam. Salah satu pengertiannya dalam bahasa Inggris adalah: passion: a suffering or enduring of imposed or inflicted pain; any suffering or distress (as, a cardiac passion); specifically, the suffering of Christ between the time of the last supper and his death, esp. in the garden upon the cross.

Passio dalam Lukisan Leonardo da Vinci

Novelis Javier Sierra pada tahun 2004 silam meraih penghargaan Premio de Novela Ciudad de Torrevieja Literary Award. Ini diraihnya setelah sukses menulis novel berjudul “La Cena Secreta”. Novel tersebut diterjemahkan ke berbagai bahasa dengan judul Inggris “The Secret Supper”.

Latar novel itu adalah tahun 1500-an, tahun di mana Leonardo da Vinci menyelesaikan beberapa karya besarnya termasuk “The Last Supper” atau Perjamuan Malam Terakhir. Sumber ide lukisan tersebut adalah kisah ketika Yesus makan malam bersama para rasulnya–sekaligus mengumumkan pengetahuannya tentang seseorang akan berkhianat; dapat ditemukan di Matius 26:17-29, Markus 14:12-25, Lukas 22:7-38, dan Yohanes 13:1-38.

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Novel The Secret Supper menempatkan proses kreatif Leonardo da Vinci sebagai pusat cerita, dan terutama usaha seniman besar itu menyembunyikan apa yang disebutnya sebagai “pesan-pesan paling murni dari Yesus Kristus” dalam lukisannya. Lukisan itu dibuat biara Santa Maria delle Grazie.

Javier Sierra dalam novel itu bicara banyak hal, termasuk usaha memecahkan kode, kerahasiaan, ketidakjujuran Gereja Katolik di abad tersebut, dan lain sebagainya, melalui karya paling terkenal dari Leonardo da Vinci.

Ada beberapa hal yang menurut saya sangat menarik–meski hanya dibahas sepintas dalam novel–yakni terbukanya karakter rasul-rasul pada saat-saat menjelang Passio. Salah satunya adalah tentang Yakobus. Dalam teks Kitab Suci, ada dua Yakobus (James) dan salah seorang di antara mereka disebut sebagai saudara Yesus. Deskripsi Yakobus ini (juga dikenal sebagai anak Alfeus dan anak Maria istri Kleopas) dapat dilihat di antaranya dalam Galatia 1:19.

BACA JUGA
Dan Bekerja Sama, Belajar dari Usulan Ruben

Dalam The Secret Supper diceritakan bahwa Yakobus sangat mirip wajahnya dengan Yesus Kristus. Da Vinci menuangkan situasi itu dengan sangat baik dalam lukisan perjamuan malam terakhir. Menurut Leonardo da Vinci, Yakobus yang mirip itulah yang bersama dua rasul lain menemani–tetapi mereka tidur–Yesus berdoa di Getsemani.

Karena ada dua orang berwajah sangat mirip di Getsemani pada malam penangkapan itu, Yudas harus mencium Yesus sebagai tanda agar para serdadu tidak salah tangkap.

Selain bahwa ciuman Yudas itu selanjutnya ditafsir sebagai: orang kepercayaanlah yang paling berpeluang membuatmu jatuh–Yudas dipercaya memegang jabatan penting sebagai pengelola keuangan–sekaligus menjadi tafsir paling populer diterima, peristiwa di Getsemani dalam penuturan Leonardo da Vinci dalam novel La Cena Secreta mau tidak mau terasa masuk akal.

Ketidaktahuan Imam Kepala dan Perilaku Kerumunan

Dalam resepsi personal, narasi kecil yang dimunculkan Javier Sierra melalui Leonardo dalam novelnya dapatlah ditarik-jauh ke ribuan tahun kemudian. Pada beberapa kesempatan menyaksikan aksi massa, kisah-kisah yang mirip kerap muncul; sebagian peserta tidak tahu mengapa atau untuk apa mereka ada di sana.

Gerakan besar kadang dihadiri oleh mereka yang minim informasi (untuk tidak menyebut tidak tahu apa-apa). Bagaimana mereka bisa terlibat dalam aksi tersebut membangun semangat bersama dalam sebuah aksi mungkin dapat ditelaah melalui bacaan-bacaan yang membahas tentang kerumunan; anggota kerumunan tidak memiliki jati diri yang kuat dan karenanya dengan mudah mengembangkan identitas sosial darurat yang mencakup kepentingan kelompok.

Artinya, apa/siapa yang menjadi sasaran gerakan menjadi tidak lagi penting sepanjang sebagian besar (kita anggap) telah memahaminya. Tugas kita adalah membesarkan jumlah (kuantitas) dengan basis argumentasi: semakin banyak yang bersuara, semakin benarlah isu yang diteriakkan.

Melalui narasi ciuman Yudas dalam The Secret Supper kita mengetahui bahwa yang hendak menangkap Yesus ternyata tidak mengenalNya dengan baik. Betapa mudah menggerakkan kerumunan menjadi sekelompok pembenci, berteriak-berteriak, menangkap Yesus, membawanya ke pengadilan.

Atas kesadaran itu barangkali, maka dalam naskah tablo kisah sengsara “Yang Tak Pernah Pergi” (dipentaskan di Gereja Katedral Ruteng hari Jumat, 23 Maret 2018), kerumunan mundur atau membubarkan diri pada perhentian kesembilan ketika Yesus jatuh lagi. Mereka, orang-orang dalam kerumunan itu, terkejut bahwa kebencian mereka pada orang yang tidak mereka kenal ternyata diciptakan oleh orang lain.

Barangkali seperti berita/informasi yang mendadak viral lalu kita ikut menyebarnya tanpa tahu bahwa sekelompok orang merancangnya dengan sistematis dan untuk kesenangan pribadi. Ketika “korban viral” tersudut dan tak mungkin terselamatkan lagi, kita sadar bahwa kita akan menjadi “pembunuh tidak berencana”. Kita lalu mundur.

Tetapi seperti nasib orang Yahudi di mata kita, sekali ikut, peran kita yang paling dikenal dalam satu kisah akan tetap sama: pembunuh. Pada titik ini barangkali kesadaran atas dasar refleksi yang baik menjadi penting.

Kau tidak bisa membenci seseorang hanya karena banyak orang membencinya (juga berlaku sebaliknya; kekaguman). Ini penting agar kerangka argumentasi menjadi lebih kokoh. Kalau tidak? Kita hanya menjadi seseorang dalam kerumunan yang bergerak karena perasaan orang lain, orang-orang yang hanya meniru apa yang mereka lihat tanpa berpikir. 

Akibatnya adalah pada masa berikutnya, ketika aksi bersama itu menjadi polemik, kita gagal mempertahankan gagasan dalam perdebatan. Sebagai mekanisme pertahanan diri, kita lalu menyerang pribadi atau karakter seseorang/pemilik pendapat lain, sesuatu yang dikenal dengan nama argumentum ad hominem.

Narasi Lain tentang Kisah Sengsara Yesus dalam Saksi-saksi Passio

Sebuah buku pernah saya baca. Kumpulan cerpen berjudul Saksi-saksi Passio. Buku tersebut berisi beberapa cerpen terjemahan, diterbitkan oleh Penerbit Nusa Indah Ende. Buku tersebut kini hilang dari koleksi saya sehingga tidak diketahui tahun penerbitannya, penulisnya, dan keterangan-keterangan lainnya.

Saya melakukan pencarian melalui google dan beberapa mesin pencari lain dengan beberapa kata kunci, namun informasi tentang buku tersebut tidak ditemukan. Meski demikian, beberapa cerita dalam buku yang saya baca sekitar tahun 1997 masih saya ingat dengan baik meski tidak judul-judulnya.

BACA JUGA
FF100K Karina - Kuitansi

Saksi-saksi Passio bercerita tentang apa yang terjadi pada tokoh-tokoh di sekitar kisah sengsara Yesus Kristus setelah Yesus disalibkan–buku ini juga menempatkan Passio sebagai hipogram. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, Pilatus dan Kebenaran

Setelah menyerahkan Yesus kepada orang-orang Yahudi, pikiran Pilatus hanya berisi pertanyaan tentang kebenaran. Seperti diketahui, Yesus tidak menjawab Apa itu Kebenaran yang ditanyakannya. Pilatus menyaksikan penyaliban, menulis INRI untuk dipaku di salib Yesus, sebuah bentuk penyesalan yang besar karena telah menghukum seseorang yang tidak dia ketahui kesalahannya.

Sepanjang sisa hidupnya, Pilatus hanya berpikir tentang kebenaran. Dia tidak lagi menjadi orang kepercayaan Roma. Ditemani Claudia, istirnya yang setia, dia mencari jawaban tak sempat disampaikan Yesus. Jiwa Pilatus terganggu.

Diceritakan, Pilatus pergi ke gunung di mana ada danau di sana. Dia ingin melakukan meditasi sebagai bagian dari pencarian tentang kebenaran. Suatu pagi, ditemani Claudia, Pilatus bercermin di danau. Dia mengulang pertanyaannya. Apa itu kebenaran? Tak ada jawaban dan Pilatus akhir terjun (bunuh diri atau ingin mencari jawaban di dasar danau?) ke dalamnya dan meninggal dunia. Pilatus meninggalkan Claudia dan kita semua tanpa sempat memberi jawaban tentang apa sesungguhnya kebenaran itu.

Kedua, Barabas yang Kesepian

Barabas dibebaskan. Dia adalah penjahat paling ditakuti di Yerusalem kala itu. Mengapa seorang penjahat besar dibebaskan, uraian tentang perilaku kerumunan di atas dapat dipakai sebagai pintu masuk pengertian.

Dalam Saksi-saksi Passio, Barabas mengalami kegelisahan hebat pasca pembebasannya. Dia menyaksikan jalan salib dan serentak diserang rasa bersalah. Ada dua alasan. Pertama, seseorang mati menggantikan posisinya, dan kedua, dia tetap dianggap sebagai penjahat. Barabas yang penjahat itu, oleh orang-orang Yahudi tetap dianggap sebagai penjahat.

Dia dibebaskan bukan untuk diterima khalayak tetapi agar Yesus disalibkan. Bisa bayangkan posisinya? Seperti sebuah kebebasan yang semu.

Yang menginginkan kebebasanmu sesungguhnya tidak ingin menghabiskan waktu bersamamu. Bagaimana mungkin kau dapat menikmati kebahagiaan atas kebebasan tanpa lingkungan sosial?

Barabas lalu memutuskan untuk bergabung bersama kubu Yesus. Usai penyaliban, dia mencari rumah para rasul. Di sana berkumpul Bunda Maria, dua belas rasul, dan orang-orang yang mencintai Yesus. Dia menawarkan persahabatan. “Karena Yesus mati untuk kebebasan saya, izinkan saya bergabung bersama kalian.” Begitu kira-kira penyampaian Barabas kepada kelompok itu. Tetapi dia ditolak. Kalau kau tidak dibebaskan, Yesus pasti masih hidup. Barabas yang jahat menjadi Barabas yang kesepian.

Ketiga, Yudas yang Menyesal

Dikisahkan dalam Saksi-saksi Passio tentang Yudas yang adalah bendahara kelompok kecil Yesus. Dia berpeluang menambah 30 keping perak di pundi-pundi organisasi hanya dengan menunjukkan Yesus kepada para Imam Kepala.

Yudas tahu Yesus sangat berkuasa. Dia menyaksikan sendiri beberapa mukjizat yang dibuat pemimpinnya itu. Maka dia menyetujui perjanjiannya dengan orang-orang yang membenci Yesus. Orang-orang Yahudi itu akan dengan mudah dikalahkan, pada saat yang sama keuangan organisasi membaik, karya pewartaan dapat terus dilakukan. Demikian jalan pikiran Yudas.

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Maka dia pergi mencium Yesus di Getsemani dan pulang dengan 30 keping perak. Pada pagi hari Yudas pergi ke rumah Pilatus. Ingin menjemput Yesus dan mengabarkan tentang keberhasilan strateginya mengumpulkan uang organisasi. Tetapi yang didapatinya adalah situasi yang terbalik. Yesus tak berdaya.

Yudas menemui Imam Kepala dan hendak mengembalikan uang yang telah diterimanya dan meminta Yesus dibebaskan. Tetapi kita tahu, itu uang darah. Yudas menyesali perbuatannya sedalam-dalamnya. Dia tak berdaya, memarahi dirinya sendiri, lalu bunuh diri. Yudas yang malang; anak yang ingin pulang tetapi tak menemukan pintu rumah.

Keempat, Simon yang Mendadak Terkenal

Simon dari Kirene tidak mengagumi Yesus. Dia hanya mendengar bahwa seseorang dari Galilea sering dibicarakan orang-orang di sekitarnya. Dia tak punya waktu mengagumi tokoh populer itu. Masalah keluarganya cukup banyak.

Simon sedang dalam perjalanan menuju rumah seorang kaya ketika dia melintas di kerumunan jalan salib. Perjalanannya terhambat dan dia jengkel dengan situasi itu. Dia harus menemui seorang kaya yang pernah memberinya pinjaman uang. Bukan untuk mengembalikan utangnya tetapi untuk meminta waktu agar masa pelunasan diperpanjang.

BACA JUGA
Surat dari Sahabat

Dia harus segera melakukan itu agar bisa melanjutkan perjalanan mencari obat (atau utang baru agar bisa membeli obat) untuk anaknya yang sedang sakit. Perjalanan panjang hari itu terganggu jalan salib. Semakin terganggu ketika dia dipaksa membantu lelaki yang tidak dikaguminya itu memikul salib. Benar-benar hari yang buruk.

Setelah tugas paksaan itu selesai, Simon melanjutkan perjalanan. Dia membayangkan kemarahan yang akan diterimanya dari si orang kaya. Tetapi yang terjadi adalah ketika dia menyentuh pundak si orang kaya dengan tangan kanannya–Simon memikul salib di pundak kanan–orang kaya itu langsung berkata-kata dalam suara lembut agar dia tidak perlu memikirkan pembayaran utangnya.

Simon pulang dengan penuh rasa heran. Bagaimana mungkin dia mendapat maaf hanya dengan menyentuh pundak si orang kaya? Di rumah, demam anaknya semakin tinggi. Simon masuk dan memangku anaknya itu. Kepala anaknya dia baringkan di pundak kanannya. Anak itu sembuh seketika.

Simon serentak mengagumi Yesus. Ketika Yesus dikabarkan telah bangkit dan pengikutnya menjadi bertambah banyak, Simon dengan sedikit sombong mengabarkan bahwa dirinyalah yang membantu Yesus di jalan salib. Dia menjadi terkenal dan dihormati para pengikut Yesus. Simon menikmati situasi itu dan semakin gencar berkampanye bahwa dia adalah sahabat Yesus.

Pada suatu masa, seluruh pengikut Yesus dikejar-kejar penguasa, dibantai, dibakar. Simon mengkerut. Dia dengan gencar bercerita bahwa dia dipaksa memikul salib lelaki itu, dan bahwa dia sama sekali tidak mengaguminya. Tetapi penguasa telanjur mendengar cerita karangannya pasca kebangkitan Yesus. Simon adalah orang yang paling sadis disiksa pada pembantaian itu.

Pintu-pintu yang Ditutup

Kisah-kisah dalam Saksi-saksi Passio barangkali ingin menegaskan bahwa Yesus memang harus mati, dan mati di kayu salib. Orang-orang yang disebut namanya dalam kisah itu adalah ‘yang telah ditulis’; bahwa Yudas harus menjual Yesus, bahwa Pilatus harus mengadiliNya, bahwa Barabas harus dibebaskan, bahwa Simon harus ikut memikul salib. Masih ada beberapa tokoh lain dalam buku itu, tetapi empat tokoh ini adalah yang paling saya ingat.

Bagaimana kemudian para saksi itu menjalani kehidupannya pasca via dolorosa, adalah pelajaran-pelajaran yang tak pernah selesai. Kumpulan cerpen Saksi-saksi Passio ingin meninggalkan beberapa kemungkinan, terutama bahwa tidak ada pihak yang salah dan benar dalam kisah sengsara.

Persoalannya adalah apakah kita membuka pintu bagi mereka yang ingin kembali? Beberapa tokoh dalam buku itu menemukan pintu-pintu yang ditutup dengan alasan yang masuk akal. Hanya saja, kita barangkali lupa, hal tentang Yesus tidak dapat diserap dengan kekuatan akal semata.

Baca juga: Hidup adalah Sebuah Jalan Salib, Tak Perlu Takut

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Masih banyak narasi yang menempatkan Passio sebagai hipogram, teks terdahulu yang menjadi dasar lahirnya teks-teks kemudian. Ada yang mengambil tokoh yang pernah disebut/ada dan ada yang bercerita tentang tokoh/karakter baru.

Saya pernah membaca salah satu cerpen karya Marga T. Dia bercerita tentang seorang perempuan muda yang sangat mengagumi Yesus. Perempuan itu mengikuti jalan salib dari kejauhan, menangis, menderita hatinya, tetapi tak ingin diketahui. Semacam cinta yang rahasia.

Saya lupa judul cerpen itu. Saya baca di Majalah Hidup ketika masih SD. Saya selalu menyukai teks-teks seperti itu. Hari-hari terakhir ini kita mengenal istilah “melawan lupa”, “narasi baru”, dan lain sebagainya. Mungkin memang harus begitu. Agar suatu cerita semakin abadi, sekian banyak cerita harus diciptakan lagi secara merdeka. Apakah itu mengganggu keimanan? Itu soal yang lain sama sekali.

Yesus bangkit mengalahkan maut dan kita menjadi menang atas dosa. Kemudian kita jatuh lagi, tetapi selalu ada pintu yang bisa kita ketuk jika ingin kembali. Ah, Paskah. Terima kasih.

Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores

Bagikan ke:

4 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *