Kesalahan dasar media massa di negeri ini dapat dengan mudah ditemui. Variatif. Mulai dari yang paling rendah seperti kesalahan pengetikan atau salah ucap, sampai pada pelanggaran kode etik jurnalistik.
Hampir setiap saat kita mendengar pernyataan kekecewaan yang ditujukan pada media massa. Campur tangan politisi pada agenda setting membuat media massa Indonesia kehilangan sentuhan paling dasar bernama vox populi vox dei. Pertanyaan yang tidak kunjung dapat jawaban adalah kepada siapa media massa di negeri ini berpihak?
Tetapi di luar hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan redaksional, saya mencatat beberapa hal yang dapat disimak selengkapnya pada catatan ini:
Tentang Media Massa Indonesia yang Melupakan Empat Fungsi Dasar
Saya adalah penikmat media massa. Karena itu, meski pernah sekian lama bekerja di media massa dan juga tetap menulis untuk media massa, posisi diri sebagai penikmat media massa lebih dominan berperan melahirkan tulisan ini. Sebagai konsumen atau penikmat saya punya hak untuk memperoleh sajian yang baik.
Berawal dari beberapa bacaan tentang empat fungsi utama media massa yakni Informasi, Edukasi, Hiburan, dan Transformasi Nilai-Nilai Sosial, saya kemudian sadar bahwa media massa kita saat ini sedang berada dalam wajah yang tidak menarik. Mengapa? Ada banyak alasan untuk pernyataan ini, tetapi saya coba mengutak-atik alasannya dengan memakai teori empat fungsi media massa sebagai landasan untuk melihat kesalahan dasar media-media kita.
Informasi
Harus diakui, beberapa media massa Indonesia menempatkan fungsi ini pada domain utama mereka. Tetapi benarkah informasinya adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan? Saya ragu. Dalam penyajian pemberitaan, beberapa media massa mengutamakan kecepatan penyajian sehingga melupakan faktor kedalaman. Bahkan kadang karena sangat mengutamakan kecepatan, proses re-check menjadi sedikit (atau dengan sengaja?) dilupakan dan berakibat pada tidak akuratnya berita yang disajikan.
Dalam kasus ini, ada media yang bahkan terpeleset sehingga melakukan kesalahan dasar media massa seperti menyajikan berita yang salah. TV One (salah satu dari sekian banyak media massa Indonesia) pernah menyebar kepanikan di Jogja ketika menyajikan liputan tentang bencana Merapi.
Tentang ini, Kompasianer bernama Unrest Turnmoil menitipkan komentar ini pada sebuah artikel saya di Kompasiana: lha TV wan kan dihujat habis-habisan ma warga Jogja. Masak mbritain awan panas meluncur 20 km, bikin panik semua orang. Padahal yang 20 km itu hujan abu nya, geblek enggak tuh. ada juga tuh reporter Tv wan yang nyebut kalicendol (benernya kali gendol), terus dusun bale rente (yang bener Bale Rante). katroook..
Ya, ada kesalahan informasi yang berdampak pada menyebarnya kepanikan, padahal telah dikenal dalam dunia jurnalistik bahwa berita baru boleh disajikan jika memenuhi ABC Theory atau Accuracy, Balance and Clarity, yang penggabungan ketiganya menghasilkan Credibility (Errol Jonathans, Jurnalisme Pemilu).
Baca juga: Jurnalistik Dasar: Berita (Satu)
Masih soal informasi. Pertanyaan tentang apakah berita yang disajikan benar-benar dibutuhkan masyarakat, adalah sesuatu yang harus didiskusikan berulang. Mengapa? Kerap media massa kita demi keaktualan, malah sangat cepat bergeser dari isu satu ke isu yang lain. Mafia hukum belum kelar langsung ke soal gaji presiden, eh tiba-tiba kerusuhan antar etnik, konflik PSSI lalu bom, diselingi dengan isu reshuffle, lalu dagang sapi, lalu Ibas, lalu Jokowi, lalu siapa lagi?
Benar-benar sangat cepat berganti isu dan tak ada isu yang tuntas dikawal. Di negeri ini berlaku: Jika ada pihak yang merasa terlampau disorot media massa dan berdampak merugikan, segeralah berharap bahwa akan ada kasus besar lain yang mampu melenyapkan perhatian media pada kasus anda. Jika sanggup, buat pengalihan isu.
Percayalah, mereka tidak akan berpikir tentang anda lagi, media akan segera berpindah. Di mana posisi masyarakat? Di rumah, kebingungan dengan perubahan terlampau cepat dan bertanya-tanya, bagaimana nasib berita yang ini? Terus yang itu bagaimana?
Edukasi
Salah satu fungsi utama media massa adalah pendidikan. Artinya, media massa diharapkan ikut mendidik penikmatnya (dalam konteks Indonesia adalah anak bangsa), agar menjadi well educated, di tengah sistem pendidikan kita yang kerap diperdebatkan kesahihannya dalam mendidik generasi.
Maka, dalam situasi ideal, apa yang disajikan media massa adalah sesuatu yang berdampak positif pada masyarakatnya tetapi tentu saja tidak harus mengajarkan mata pelajaran seperti yang dilakukan TPI bertahun-tahun silam.
Idealnya, tayangan-tayangan media menampilkan nuansa yang mendidik. Tetapi bisakah itu terjadi di tengah gempuran sinetron dengan tema konflik yang hanya melahirkan stigma pada kelompok-kelompok tertentu? Seorang janda berusaha menjodohkan anaknya dengan orang kaya agar hidup bisa lebih baik, ibu tiri selalu kejam, ‘perawan tua’ pasti nyinyir.
Yang sedang populer adalah sinetron remaja yang rata-rata berisi seorang siswi anak orang miskin pasti pintar dan disukai cowok kaya, di sekolah tempat si miskin berhasil masuk karena beasiswa dan tidak jelas mengapa beasiswa itu diberikan kepadanya, si miskin pasti menderita sepanjang sinetron akibat ulah beberapa anak cantik yang kaya dan anehnya kok ya si cantik kaya itu begitu tidak percaya dirinya sampai harus menginjak-injak orang miskin?
Itulah yang mau dilanggengkan oleh media massa kita. Belum lagi cerita lain tentang betapa mudahnya tes DNA dilakukan di sinetron. Ckckckck… Dan sepertinya survey selalu menempatkan sinetron sebagai tayangan dengan rating tinggi, sehingga iklan berdatangan. Iklan kita itu waiting list kata Tukul di Bukan Empat Mata, entah apakah waiting list tepat digunakan pada kalimat ini, tetapi kita sering melihatnya di televisi.
Bahwa ada tayangan yang membawa misi ‘mendidik’, jumlahnya tak banyak. Kick Andy bisa anda sebut sebagai contoh. Di mana posisi penikmat media? Di rumah dan terheran-heran. Benarkah ibu tiri selalu kejam dan untuk jadi jenius harus miskin?
Hiburan
Baiklah, televisi kita memang menghibur. Ada jutaan orang yang tertawa dengan aksi Sule dan kawan-kawan di Opera Van Java. Meski lelucon kita masih sarat dengan nuansa pelecehan fisik-misoginis-dan lain-lain, kita terhibur dan televisi melakukan tugas ini dengan baik. Tetapi, fungsi hiburan seharusnya adalah fungsi yang terintegrasi dengan tiga fungsi lainnya. Artinya, tayangan hiburan seharusnya juga membawa misi informasi, pendidikan dan transformasi nilai-nilai sosial.
Saya menduga, generasi penikmat televisi kita sekarang ini akan terbentuk menjadi generasi yang cendrung mentertawakan penderitaan orang lain, padahal penderitaan seharusnya melahirkan keprihatinan dan bukan cemoohan. Dan sukses OVJ di Trans7 berlomba diikuti oleh stasiun televisi dan PH lain untuk menyajikan tayangan ‘menghibur’ dan mengabaikan fungsi hebat mereka yang lain.
Padahal dalam Komunikasi Massa, ada sebuah teori tentang Jarum Hipodermik, yang terjemahan bebasnya adalah setiap pesan yang disampaikan akan menancap di tubuh komunikan. Menancap, meninggalkan bekas. Dan bekas yang mau dihasilkan media massa kita adalah menertawakan kebodohan dan penderitaan orang lain.
Baca juga: Indonesia Negeriku Amnesia
Televisi sedang membantu kita untuk tidak peka dan selalu senang melihat orang lain menderita. Lalu di mana kita? Sedang tertawa menikmati lalu kemudian berpikir, kok bisa ya kita tertawa padahal tidak lucu?
Transformasi Nilai-Nilai Sosial
Ini adalah salah satu fungsi media. Tetap maaf, dengan terpaksa fungsi ini tidak dibahas di sini. Bukan apa-apa. Sepertinya sia-sia berharap bahwa suatu saat media massa kita mewariskan nilai-nilai yang bagus untuk generasi berikutnya ketika ketiga fungsi di atas tidak berjalan baik saat ini.
Maka, media massa kita memang masih terjebak pada paradigma laku atau tidaknya sebuah sajian dan tidak menyibukkan diri pada bagaimana nasib penikmat media setelah tayangan tersebut disajikan. Ini bukan kritik televisi (saja), tetapi semua media massa di Indonesia, mungkin sebaiknya berpikir ulang untuk menjawab fungsi-fungsi dasar media massa tadi.
Penutup Sementara
Saat tulisan ini dibuat, ironi tetap berlangsung. Berbagai kesalahan dasar media massa tetap terjadi, hingga suatu saat kita mungkin akan merasa bahwa itu benar. Sesuatu yang salah, tetapi dilakukan berulang-ulang akan memberinya peluang untuk dianggap benar di suatu masa.
—
25 April 2013
Salam dari Pertokoan Ruteng
Armin Bell
Saya hanya ada satu pertanyaan atas re-fleksi kritis anda. Bahwasannya sebuah keadaan yang amburadul butuh mata dan pikiran yang tajam untuk melihatnya bahwa itu salah atau tidak layak disajikan (dalam konteks media). Lalu apa usul atau saran konkrit anda sehingga ke-amburadul-an media-media terebut tidak berulang? Ataukah cukup sampai di sini, bahwa itu tidak mendidik, tidak menghibur dan tidak?
menarik om, saya juga kadang gerah dengan konten media saat ini,, banyak yg tidak sepenuhnya menjalankan fungsi media massa yg terkandung dlm undang2 yg mengatur ttg pers.”Pertanyaan tentang apakah berita yang disajikan benar-benar dibutuhkan masyarakat, adalah sesuatu yang harus didiskusikan berulang jika media massa Indonesia benar-benar ingin menjawab kebutuhan masyarakat akan berita. Mengapa? Karena, kerap media massa kita demi keaktualan, malah sangat cepat bergeser dari isu satu ke isu yang lain. Mafia hukum belum kelar langsung ke soal gaji presiden, eh tiba-tiba kerusuhan antar etnik, konflik PSSI lalu bom, diselingi dengan isu reshuffle, lalu Dagang Sapi, lalu Ibas, lalu Jokowi, lalu siapa lagi? Benar-benar sangat cepat berganti isu dan tak ada isu yang tuntas dikawal.”dari pernyataan diatas, klo menurutku, seharusnya, idealnya setiap isu yg ada, utamanya yg bersinggungan dengan kasus hukum penyelenggara negara & isu2 korupsi yg mnyangkut hajat hidup org banyak *karena yg dikorupsi adalah uang rakyat* HARUS WAJIB dikawal sampai tuntas, nah menurut om idealnya seperti apa?
betewe aku share boleh ya om?? 😀
Rasa-rasanya ironi itu berlangsung sampai sekarang ya Pak Armin? Kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bisa saja melunturkan idealisme(?)..semoga saya salah..salam perubahan..
Sepakat. Masih belum banyak berubah. Pemilik modal berkuasa penuh atas agenda setting media 🙁
Mantap ini tulisan Om Armin. Saya langsung mengklik, karena langsung bersentuhan dengan kerja saya, sebagai penulis berita, dan kadang-kadang sebagai editor bila ada yang mengirim berita ke meja kami di ucanews.com. Ada banyak faktor di balik litani kesalahan di atas, dari visi misi media, cara kerja redaksi, juga soal konflik kepentingan, baik dari si pemilik media, juga orang di luar itu. Sudah sedikit media yang mempertahankan independensi.
Saya jadi ingat film The Insider. Al Pacino sama Russel Crowe. Film yang bagus, tentang independesi pekerja media dan pemilik media 🙂 Terima kasi sudah mampir. Salam
Terima kasih Om Nato Fernandes sudah berkenan mampir. Usul saran agar situasi yang om sebut amburadul itu tidak terulang sebenarnya sudah ada pada tulisan ini, yakni kesadaran untuk kembali mencermati empat fungsi dasar media massa dan bekerja berdasarkan 'aturan' itu. Yang saya paparkan adalah hal yang sebut kesalahan, maka untuk menjadi 'benar' jangan melakukannya lagi. Begitu kira-kira. Lalu tentang usul saran yang lebih praktis? Saya sangat berharap agar para pekerja media massa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar. Penganugerahan penghargaan Panasonic Gobel ke Daniel Mananta beberapa waktu yang lalu buat saya adalah kesalahan, karena dia bukan presenter yang berbahasa Indonesia dengan baik. Mungkin saya akan membuat tulisan lain untuk itu. Sekali lagi terima kasih sudah mampir. Salam.
Saya setuju. Dalam komunikasi massa, peluang itu ada melalui apa yang mereka sebut agenda setting yang kira-kira berarti: media bisa memiliki agenda khusus yang harus dikawal, dan agenda itu 'diperjuangkan' di tiap konten mereka.'Terima kasih sudah mampir, salam 🙂
Dengan senang hati Aflaha, silakan di-share 🙂
Keren kak.. Tv One Metro Tv kemarin bilang ribuan siswa NTT tidak lulus. Cek di website kementrian pendidikan RI kelulusan NTT 99% hanya 443 yg tdk lulus dr 40ribu peserta.Btw sy jrng nonton tv indonesia karena langganan tv cable. Serial misteri di fox lebih enak ditonton drpada sinetro alay di tv
Hahahaha… apalagi berita politik jelang pilpres: JANGAN PERCAYA :-)Terima kasih Tuhan untuk TV Kabel hehehehehe