sebuah telepon pintar kumatikan smartphone ranalino

Sebuah Telepon Pintar, Kumatikan

Telepon pintar selalu menyala di rumah. Selalu. Kapan dia mati?


17 Juli 2020

Judul tulisan ini berutang pada judul buku puisi Dorothea Rosa Herliani, Sebuah Radio, Kumatikan. Ada tujuh fragmen di bawah “judul” itu yakni fragmen ke-2, 9, 21, 22, 23 kepada XG, 24, dan 25, di samping beberapa (sebut saja) bab dalam buku KILL THE RADIO – Sebuah Radio, Kumatikan (Indonesiatera, 2001).

Radio yang dipakai Dorothea barangkali adalah analogi untuk ‘dunia luar’ yang tidak seharusnya menjadi ‘seluruh dunia’ dan hanya boleh menjadi sebagian. Pada titik tertentu, beberapa hal dari dunia luar justru menyesatkan persepsi. Di sini ‘dunia dalam’ menjadi penting. Termasuk menyadari bahwa yang semula dikira sebagai Beethoven ternyata bukan Beethoven, seperti pada fragmen ke-9 berikut ini.

Sebuah Radio, Kumatikan
-fagmen ke 9

kukira tadi beethoven yang mengulurkan tangan
: sepi yang sedih telah beku di engsel pintu, lalu dekap
yang lengkap
aku belum tidur, untuk sebuah kantuk yang berat.
ada kudengar langkahlangkah mendekat,
tapi terlalu lirih untuk kerinduan menunggu.
kamar ini telah jauh dan ngelangut: berapa kilometer
deru mobil–menuju rumah di separo perjalanan jauh.
lalu sepi yang tua–amat tua, menarinari sendiri.
dan ia bukan beethoven.

Jakarta, 1999

Atas semangat yang sama–bahwa semakin banyak orang tua yang menjadikan telepon pintar (smartphone) sebagai titik pusat hidup–judul tulisan ini memakai pola Dorothea di atas. Selanjutnya, smartphone akan lebih sering muncul dalam tulisan ini sebagai pengganti telepon pintar. Meski adalah bahasa asing, namun smartphone jauh lebih populer dalam percakapan kita dibanding telepon pintar.

Baca juga: Jika KPI Tak Mampu, Televisi Tak Mau, Siapkan Sensor Pribadi

Berhubungan dengan judul buku puisi Dorothea tadi, smartphone dapat dibaca sebagai gawai favorit masa kini. Berposisi seimbang dengan radio pada zaman puisi di atas lahir. Sedangkan, dunia dalam pada uraian awal tadi adalah rumah dan segala isinya. Namun, meski meminjam pola dari judul buku puisi yang hebat, tulisan ini sesungguhnya akan tampil biasa-biasa saja. Dalam arti, peristiwa-peristiwa rumahlah yang akan menjadi pusat cerita, rumah kami. Agar memudahkan proses membaca (dan terutama proses saya menyelesaikan catatan ini), alur pikirnya saya bagi tiga bagian, yakni: Anak yang Meniru, Kesepakatan Rumah, Smartphone Sesekali Hidup.

Pertama, Anak yang Meniru

Sudah jamak bahwa anak memiliki kecenderungan meniru yang besar. Peniruan biasanya terjadi pada peristiwa sekitar. Artinya, kebiasaan anak akan terbentuk/dibentuk berdasarkan kejadian yang dialaminya sehari-hari.

Ketika masih berumur dua tahun, Rana, anak kami terluka. Dia menangis hebat melihat darah mengalir dari garis vertikal yang menghubungkan hidung dan bibir itu di cermin. Tangisannya terdengar sampai jauh ke tempat saya dan Mamanya sedang menonton televisi. Saya segera berlari. Kencang. Ke kamar. Rana sedang memandangi wajahnya di cermin. Di tangannya ada alat cukur saya dan bercak darah terlihat jelas di atas warna kuning kulitnya. Saya segera sadar, Rana baru saja “mencukur kumisnya”. Tentu saja Rana tidak punya kumis. Dia anak perempuan kecil yang berumur dua tahun, yang setiap pagi melihat pemandangan Ayahnya membabat kumis di depan cermin.

BACA JUGA
Setelah Membaca Buku Puisi Perdana Felix K. Nesi

Suatu ketika dia bertanya mengapa saya selalu mencukur kumis.

“Supaya Bapa jadi lebih ganteng,” jawab saya.

“Kalau Mama, ganteng juga?” Tanyanya.

“Mama perempuan, Nak. Kalau perempuan itu cantik. Kalau laki-laki, apa tadi?”

“Ganteeeeng,” serunya girang mengetahui kata barunya hari itu.

Tentu saja selain mendapat kata baru, informasi bahwa seseorang mencukur kumis agar terlihat ganteng–yang terekam dalam rekaman anak: jika perempuan melakukannya maka akan cantik, adalah pengetahuan lain yang Rana dapatkan dari percakapan itu. Maka terjadilah peristiwa dia mencoba mencukur kumis.

Baca juga: Lima Lagu Manggarai Terbaik

Pekerjaan pertama saya adalah memeriksa luka di bagian atas bibirnya itu. Hanya sedikit tergores. Tidak berbahaya. Saya bersihkan segera sambil mendengar ‘kalimat-kalimat’ Mamanya tentang kebiasaan saya meletakkan alat cukur di tempat yang bisa dijangkau Rana. Saya meminta maaf pada keduanya. Pada Rana dan pada istri saya. Pengobatan selanjutnya ditangani oleh Mamanya. Tugas saya adalah menjelaskan tentang perempuan umumnya tidak berkumis, dan Rana adalah anak yang cantik.

“Seperti Mama?”

“Iya, Nak. Cantik seperti Mama. Mama tidak pernah cukur kumis, to?”

Kedua, Kesepakatan Rumah

Kali lain, ketika Rana sudah besar, anak kedua kami lahir. Namanya Lino. Lino tumbuh sehat, dan sampai juga di usia dua tahun. Usia di mana anak mencoba apa saja dan meniru apa saja. Rana sudah memiliki sangat banyak informasi, termasuk dari cerita-cerita yang dia peroleh dari koleksi buku-bukunya.

Ini babak baru dalam parenting yang menjadi sedikit lebih sulit karena terjadi kala teknologi informasi berkembang pesat. Kita semua mafhum bahwa pada situasi seperti itu, sebagian besar orang dewasa menghabiskan lebih banyak waktu untuk tersenyum pada layar smartphone.

Saya dan Celestin istri saya juga tiba di masa itu. Bermain girang dengan smartphone dan menjadi lupa bahwa anak belajar dengan meniru. Untunglah pada masa-masa Rana bertumbuh, kami menciptakan kegirangan yang lain: Rana pada buku. Maka dia tidak terlalu mendapat pengaruh dari ‘kelupaan-kelupaan’ kami. Tetapi Lino, anak kami yang kedua, melihat bagaimana kami berlaku terhadap telepon pintar itu.

Sekarang saya ingin berbagi tentang perjuangan kami melawan smartphone. Kami adalah saya dan Celestin. Orang tua Rana dan Lino. Pengalaman Rana dengan alat cukur tentu saja sangat membantu; bahwa sesuatu yang berbahaya bagi anak sebaiknya tidak dilakukan di depan mereka.

Baca juga: Cerita Rana – Rumah Tercinta

Soal smartphone atau telepon pintar itu. Kami menyadari bahwa beberapa pekerjaan kami mau tidak mau membuat kami harus ‘berinteraksi’ dengannya, kami menyepakati skema sebagai berikut:

  1. Jika harus menggunakan smartphone untuk mencari informasi atau berselancar di media sosial dan diprediksi akan memakan waktu yang lama, jangan melakukannya di depan anak-anak;
  2. Jika harus menggunakan smartphone di depan anak maka itu hanya untuk menerima telepon agar anak-anak mengerti bahwa fasilitas itu dipakai untuk berkomunikasi dengan orang di tempat yang jauh;
  3. Jika harus membalas pesan WA (ngobrol di grup untuk sesuatu yang penting) maka sebaiknya didahului dengan menyampaikan informasi dimaksud–seberapa penting itu harus dilakukan segera–kepada anak. “Mama minta maaf e. Mama harus balas ini dulu.” Katakan demikian bahkan kepada anak yang belum banyak mengerti;
  4. Mengakses hiburan via smartphone bersama-sama (youtube for kids);
  5. Mengenalkan manfaat smartphone dengan contoh, misalnya mencari gambar bunga raflesia, atau zebra; hal-hal yang sulit ditemukan di lingkungan sehari-hari. “Oh. Zebra. Yuk, kita lihat di HP Bapa.”
BACA JUGA
Menyelesaikan Hambatan Public Speaking

Apakah kami berhasil melakukannya? Well, pada beberapa situasi barangkali berhasil, tetapi pada situasi lain kadang kami lupa. Maka, anak-anak, akhirnya tergoda untuk melakukan hal yang sama. Pada titik inilah aturan menjadi penting. Mau main HP? Tiga puluh menit, ya. Atau: Setelah makan, ya. Atau batasan-batasan lainnya.

Telepon Pintar Sesekali Hidup

Melarang anak bermain (belajar menggunakan) smartphone jelas sangat tidak disarankan. Bahwa ribuan ulasan menjelaskan bahaya smartphone bagi anak, toh, ada ribuan ulasan lain yang juga menjelaskan tentang manfaatnya. Mereka akan tumbuh dengan fasilitas itu juga, kan? Yang salah, barangkali, kalau smartphone diletakkan pada tingkat tertinggi dalam daftar kebutuhan (menyenangkan diri) anak. Akibatnya, fasilitas itu dipakai sebagai obat penenang ketika anak mulai merengek. Anak-anak diiming-imingi smartphone asal tidak menggangu tidur siang kita. Soal bisa muncul dari sana. Lalu bagaimana?

Baca juga: Membiasakan Anak Bercerita (Satu)

Saya selalu percaya bahwa interaksi anak dengan lingkungannya (teman, pengasuh, buku-buku) adalah bagian terhebat di masa tumbuh kembang mereka. Hanya saja selalu banyak yang merasa kesulitan membuat anak-anak mencintai lingkungannya dan karenanya memilih smartphone sebagai solusi.

Atas dasar itu, dan seiring dengan perkembangan literasi digital, pola pemanfaatan smartphone untuk anak dapat dimodifikasi. Tentu saja langkah awal adalah mengaturnya ke mode aman. Pada saluran youtube, misalnya, telah tersedia fasilitas pengaman bernama restricted mode.

Fasilitas pengamanan lain juga bisa diatur pada gadget secara keseluruhan dengan catatan bahwa orang dewasa (orang tua, kakak, pengasuh) tetap melakukan pengawasan. Menyerahkan sepenuhnya hak memilih konten pada anak barangkali bukan pilihan yang bijak. Banyak penyedia konten yang memiliki kemampuan mengakali mesin pencari agar dapat lolos sensor.

Seorang teman pernah mengingatkan tentang pentingnya membersihkan riwayat pencarian (chache, dll) agar smartphone tetap dalam keadaan nol ketika hendak digunakan pihak lain, terutama anak-anak. Selain itu, modifikasi penggunaan smartphone untuk anak-anak dapat dimulai dengan “membentuk selera”.

BACA JUGA
Menjadi Blogger Tidak Akan Buat Seseorang Mendadak Keren Bagian Kedelapan

Beberapa strategi berikut ini dapat dicoba:

Pertama, orang tua harus senang dengan tayangan yang ingin diberikan/ditunjukkan pada anak. Tampakkan wajah gembira dan seruan sukacita. Misalnya, “Horeee, kita mau nonton teletubies.” Dengan demikian, anak akan berpikir bahwa tayangan tersebut sungguh menggembirakan. Menggunakan alur pikir AIDDA (Attention, Interest, Desire, Decision, Action), pada tahap selanjutnya, anak-anak akan beraksi memilih tayangan teletubies sebagai kegiatan menggembirakan.

Kedua, membuat perjanjian dan disiplin menjaga perjanjian itu. “Kita nonton tiga puluh menit ya.” Anak-anak tentu belum tahu rentang waktu dengan baik. Tetapi orang dewasa pasti tahu. Di menit kedua puluh lima, ingatkan anak-anak. “Nak, tinggal lima menit ya.” Dalam pengalaman, strategi seperti itu akan membuat anak segera memanfaatkan lima menit terakhir mereka dengan maksimal. Di menit ketiga puluh: “DONE!” Lalu ambil smartphone dan simpan. Anak-anak akan merajuk, tetapi juga akan belajar banyak hal dari sikap tegas orang tua.

Ketiga, membawa smartphone ke layar televisi. Maksudnya, sajian youtube, jika dapat, ditayangkan (disambung) di televisi yang diakses bersama. Bukan televisi di kamar anak. Dengan demikian, anak-anak terhindar dari “dunia sendiri” dan belajar menikmati “dunia bersama”. Teknologi modern memungkinkan kita menghubungkan perangkat-perangkat tersebut. Smartphone ke televisi, smartphone ke laptop ke televisi, atau berlangganan internet-tv.

Keempat, menawarkan dunia yang lebih menarik setelah smartphone. Ini berarti bahwa setelah kita berhasil membuat anak-anak melepaskan waktu bermain dengan smartphone, orang tua harus mengajak anak terlibat dalam kegiatan lain yang lebih menyenangkan. Strategi pertama di atas wajib diterapkan. Orang tua menampakkan wajah gembira (bahkan lebih) ketika menawarkan dunia lain itu. “Kita nanti menggambar kuda ya. Horeee… gambar kuda, gambar kuda, kita gambar kuda.” Lakukan dengan melompat-lompat kecil sampai anak benar-benar berpikir bahwa itu lebih menyenangkan daripada menonton Teletubies.

Kelima, menjelaskan dalam bahasa yang sederhana tentang akibat negatif jika terlalu lama berinteraksi dengan smartphone. Pada tahap ini, interaksi dapat dibangun melalui cerita yang menarik. Gunakan contoh, pakai bahasa tubuh yang baik, tidak perlu menghakimi atau menakut-nakuti, memakai metode mendongeng.

Hemat saya, jika lima strategi tersebut ingin diterapkan, soal kita bukan lagi tentang mengkhawatirkan perkembangan anak karena smartphone tetapi tentang seberapa mau kita mendisiplinkan diri sendiri menjalankannya. Karena bagaimanapun, kita tidak bisa menjauhkan anak-anak dari smartphone. Anak-anak akan tumbuh bersama gawai canggih itu–dan yang lainnya yang akan terus lahir. Yang dibutuhkan adalah pengaturan.

Smartphone dapat membantu. Hanya membantu. Bukan seluruh dunia. Karena itu, pada titik-titik yang telah diatur, orang tua harus berani bilang: sebuah telepon pintar, kumatikan!

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *