Jangan terlampau percaya dengan banyaknya dukungan di media sosial. Di sana, dukung mendukung adalah sesuatu yang tidak terlampau diniatkan karena minim risiko.
Di Facebook, beberapa orang agak susah percaya pada pernyataan dukung mendukung, entah via status atau dalam kolom komentar. Saya sendiri bisa jadi adalah salah seorang yang masuk kategori ‘agak susah percaya’ itu sehingga akan sering memberi saran: “jangan percaya” kepada para para pengguna media sosial yang kerap tergoda oleh pesona jempol, komentar, dan share.
Anggap saja saya adalah tipe orang yang belajar dari pengalaman. Om Rafael dan beberapa koleganya di kampung akan bilang: “Belajar dari pengalam e, Nana!” Ya… pengalam. Tanpa ‘an’. Jangan protes karena Om Rafael tidak menerima komplain #eh.
Pengalam apa… eh, maksudnya pengalaman apa gerangan yang membuat saya ragu pada dukungan di Facebook? Begini. Ketika punya rencana bikin taman baca–juga kegiatan mendongeng beberapa saat setelahnya–, saya share ide itu ke teman-teman Facebook. Ratusan like dan puluhan komentar berdatangan.
“Kami dukung, Kes.” “Mantap, Nana. Siap bantu.” “Wah, keren. Mau dong terlibat.” “Cool kakz. Kta dkung. Skses truz, y. Inzprtif.” Banyak komentar lain dalam nuansa yang sama.
Baca juga: Saya, Media Massa, dan Foto Tanpa Caption
Yang sumbang komentar tidak pernah muncul setelahnya. Entah dalam wujud fisik atau buku-buku–sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk rencana membangun taman baca. Yang mau sumbang dongeng juga serupa. Tak tampak batang hidungnya meski rokok telah saya habiskan berbatang-batang. Yang numpang jempol? Kusong melumpong. Sepi.
Mungkin mereka tak sengaja memencet tombol like itu ketika menggeser tetikus atau jari mereka. Mereka yang muncul di ruang terbuka bernama wall atau dinding itu mungkin memang hanya sekedar mampir dan tidak sedang ingin menyemai asa. Jiaaah… bahasanya *lol.
Yang mengejutkan adalah yang mengirim bala bantuan justru mereka yang memilih jalur sepi seperti SMS atau inbox. Mereka mengirim atau datang membawa buku.
Tetapi tentu saja saya tidak boleh mengambil kesimpulan bahwa yang menyatakan dukungan dalam bentuk like atau komentar sebagai orang yang tidak konsisten. Bentuk dukungan toh tidak harus muncul dalam wujud benda-benda. Dia bisa muncul dalam rupa doa-doa. Dan saya tahu, mereka telah berdoa dengan tulus. Buktinya?
Beberapa saat setelah membuat status tersebut, taman baca kami langsung berisi lebih dari seribu judul buku. Kegiatan mendongeng juga berhasil berjalan dan kini telah berusia satu setengah tahun. Maka terima kasih untuk like, komentar, dan doa-doa, ya-ya-ya.
Btw, bagaimana saya tahu bahwa mereka telah berdoa dengan tulus? Tentu saja karena saya sering membaca doa-doa mereka di berbagai akun media sosial. Sampai di sini, saya meralat kalimat pertama saya di postingan ini. Saya percaya pada dukung mendukung-mendukung di Facebook.
Hanya saja, timbul niat untuk berpikir: mungkin seperti doa, jawaban atau realisasi atas pernyataan dukung-mendukung di Facebook, bisa sangat tidak tentu waktu. Tugas kita adalah terus mendukung sesama. Baik juga kalau pola dukungan kita meniru doa: dilakukan dengan baik dan santun, tidak perlu melukai orang lain.
Yang menarik adalah, kesadaran bahwa pernyataan dukung-mendukung di dunia nyata tak semeriah dukungan di media sosial, tak pernah menyurutkan niat kita untuk terus menggalang dukungan via Facebook, Twitter, Instagram, dan kawan-kawannya.
Baca juga: Pergilah ke Sanur dan Mulai Menulis
Mesin-mesin pintar itu tetap saja dipakai sebagai ajang kampanye, halaman mencari dukungan, lembar promosi. Mulai dari gitar bekas, kondom rasa buah, rencana membersihkan kota, figur publik yang akan maju di pentas politik, sampai kaos asli Manggarai, kita promosikan di Facebook, dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Asal taro!
Hasilnya telah bisa ditebak. Di dinding Facebook itu terjaring ratusan hingga ribuan jempol, puluhan hingga ratusan komentar, belasan hingga puluhan share. Di dunia nyata? Kau sungguh beruntung jika baju kaus yang kau pajang di lapak yang harga kontraknya mahal sekali dapat laku satu dalam sehari. Adalah luar biasa jika pada kegiatan membersihkan kota, jumlah yang datang mencapai setengah dari jumlah jempolers.
Di dunia politik? Yang bertambah bisa jadi bukan jumlah pemilih, tetapi jumlah orang yang berkelahi. Bukankah itu alasan yang baik untuk: jangan percaya dukungan di media sosial? Yang di Facebook dengan keras mendukung pembubaran sebuah organisasi garis keras, di dunia nyata barangkali adalah orang yang terkagum-kagum dengan pemimpin mereka yang naik mobil mewah itu. Nah, lo…
Ada yang salah barangkali dengan cara kita menggunakan media sosial. Kenapa di Yaman ribuan orang turun ke jalan beberapa tahun lalu dan berdemo menentang rezim yang zalim sedang Aksi Kamisan di halaman istana hingga saat ini hanya diikuti oleh beberapa orang padahal di Facebook isu tentang menuntaskan kasus orang hilang itu ramai mendapat dukungan?
Tidak tahu jawabannya? Tidak apa-apa. Karena saya tahu. Cie cie cieee.
Kira-kira begini. Kita menggunakan semua akun media sosial untuk kepuasan sendiri. Memberikan komentar di postingan orang lain agar orang itu mampir juga ke status kita dan memberikan komentar serta menitipkan jempol. Dengan demikian kita bisa pamer ke teman-teman kita: “Tahu tidak? Sa pu status tadi ka yang like banyak betul.” Kita tidak pernah bersungguh-sungguh memanfaatkan facebook untuk sesuatu yang baik.
Pernyataan dukungan kita kepada orang lain selalu berarti harapan agar orang itu juga mendukung status kita dengan memberikan jempol. Jadi tak perlu heran jika kemarin kau mengajak kami membersihkan kota lalu kami dukung dengan jempol dan hari ini kami tidak hadir. Kami tidak sengaja. Seperti kami juga tidak sengaja mengintip status orang-orang yang kami taksir. Ya, kami tidak sengaja stalking. Sebut saja kami sebagai stalker tak sengaja haiaaaa.
Saya dan Media Sosial
Pada setiap kelas tentang media sosial di mana beberapa panitia mengundang saya sebagai pembicara dengan alasan yang saya duga adalah karena karena saya kerap membuat status di Facebook, saya selalu bilang bahwa dalam membuat status saya kerap terjebak pada usaha menjaring jempol. Itu yang membuat saya tertinggal sangat jauh, ribuan tahun cahaya barangkali jauhnya, jika dibandingkan dengan mereka yang berhasil menggalang dukungan nyata hanya dengan satu atau dua postingan di Facebook.
Karena itu saya selalu berusaha memikirkan cara agar tidak sekedar populer di Facebook tetapi juga dalam interaksi nyata. Kalau saya bilang saya, bisa berarti kita semua. Dan Facebook bisa dibaca sebagai Twitter, Facebook, Instagram, TikTok, dan lain-lain.
Inilah hasil dari permenungan yang panjang dan tak penting serta menghabiskan bergelas-gelas kopi tanpa rokok. Karena usaha yang tepat selalu datang bersama kopi yang nikmat. Itu! Sudah mirip Om Mario yang itu kan? Anda bisa saja bilang: jangan percaya pada tulisannya Armin. Tetapi sebelumnya, beberapa orang akan like postingan ini di facebook bahkan tanpa membacanya sama sekali. Facebook itu kadang semesra itu.
—
23 Juli 2016
Salam dari Ruteng
Armin Bell
—
Gambar dari djkn.kemenkeu.go.id.